Zunnun Al-Misri

(Mesir, 180 H/796 M–246 H/860 M)

Zunnun al-Misri adalah sufi pertama yang banyak menonjolkan konsep makrifat dalam ajaran tasawufnya. Nama lengkapnya adalah Abu al-Faid Sauban bin Ibrahim al-Misri.

Walaupun sebelumnya paham makrifat sudah dikenal di kalangan sufi, Zunnunlah yang sebenarnya lebih menekankan paham ini dalam tasawuf. Riwayat hidupnya tidak banyak diketahui kecuali bahwa Zunnun banyak melakukan perjalanan ke berbagai wilayah.

Daerah yang pernah dikunjunginya antara lain adalah Damascus, Baghdad, Mekah, Madinah, Suriah, Libanon, dan Antiochia. Di samping seorang sufi yang ahli di bidang tasawuf, ia juga ahli di bidang filsafat, kimia, dan tulisan hieroglif (tulisan dan abjad Mesir Kuno).

Suatu ketika Zunnun menumpang sebuah kapal saudagar kaya. Tiba-tiba saudagar itu kehilangan sebuah permata yang sangat berharga. Zunnun dituduh mencurinya. Karena itu, Zunnun disiksa dan dianiaya serta dipaksa untuk mengembalikan permata itu. Dalam keadaan tersiksa dan teraniaya, Zunnun menengadahkan kepalanya ke langit sambil berseru, “Wahai Tuhan, Engkaulah Yang Maha Tahu.”

Mendadak muncullah ribuan ekor ikan nun ke permukaan air mendekati kapal sambil membawa permata di mulut masing-masing. Zunnun lalu mengambil sebuah permata dan menyerahkannya kepada saudagar tadi. Sejak peristiwa aneh itu, ia digelari “Zunnun”, artinya “yang empunya ikan nun”.

Zunnun menggolongkan tasawuf ke dalam ilmu batin yang hanya dapat dipahami kalangan tertentu yang tingkatan ibadahnya sudah tinggi (orang khawas. Karena itu, menurut Zunnun ada perbedaan antara tobat orang awam dan tobat orang khawas. Orang awam bertobat dari dosa, sedang orang khawas bertobat dari lalai (gaflah).

Selanjutnya, yang disebut sufi menurut Zunnun, seperti yang diungkapkan seorang sufi, as-Sulami, dalam bukunya tabaqat as-sufiyah (Tingkatan Sufi), adalah orang yang menjelaskan yang hak jika berbicara, dan memutuskan segala hubungan dengan yang lain selain Tuhan jika diam.

Dikisahkan bahwa suatu ketika Zunnun menyuruh seorang pemuda yang suka mengejek golongan sufi agar menggadaikan cincin permatanya ke pasar dengan harga satu dinar. Ternyata, di pasar tak seorangpun yang bersedia membayar satu dinar untuk cincin itu.

Si pemuda menyampaikan hal itu kepada Zunnun. Ia lalu menyuruh pemuda tadi pergi ke ahli permata untuk menaksir harganya. Ahli permata menyebut harganya seribu dinar. Akhirnya, Zunnun berkata kepada pemuda itu,

“Pengetahuanmu tentang sufi sama dengan pengetahuan orang-orang di pasar itu tentang harga cincin permata ini. Engkau sesungguhnya tidak mengetahui siapa sufi itu sebenarnya.”

Zunnun sering memperlihatkan sikap dan perilaku yang aneh sehingga mengundang kecurigaan terhadap dirinya. Ia pernah dituduh melakukan bid’ah, lalu ditangkap dan dibawa ke Baghdad untuk diadili di hadapan Khalifah al-Mutawakkil (khalifah Abbasiyah, memerintah 232 H/847 M–247 H/861 M).

Sebagai hukumannya, ia dimasukkan ke dalam penjara. Selama 40 hari dalam penjara, saudara perempuannya setiap hari mengirimkan sepotong roti. Setelah dibebaskan, di kamarnya didapati 40 potong roti yang masih utuh.

Menurut Abu Bakar al-Kalabazi (w. 380 H/990 M) dalam bukunya at-Ta‘aruf li Madzahib Ahl at-Taœawwuf (Pengenalan terhadap Mazhab Ahli Tasawuf), Zunnun telah sampai pada tingkat makrifat, yaitu maqam atau tingkat (station) tertinggi dalam tasawuf, setelah melewati station tobat, zuhud, fakir, sabar, tawakal, rida, dan cinta atau mahabah.

Makrifat adalah mengetahui Tuhan dengan hati sanubari. Dalam buku itu disebutkan bahwa suatu hari Zunnun ditanya tentang bagaimana makrifat itu diperoleh. Zunnun menjawab, “’Araftu rabbi bi rabbi walau la rabbi lama ‘araftu rabbi” (Aku mengetahui Tuhan karena Tuhan, dan sekiranya tidak karena Tuhan, aku tidak akan mengetahui Tuhan). Kata-kata Zunnun ini sangat populer dalam ilmu tasawuf.

Menurut Abu Qasim Abdul Karim al-Qusyairi, Zunnun mengakui bahwa makrifat yang diperolehnya bukan semata-mata hasil usahanya sebagai sufi, melainkan lebih merupakan anugerah yang dilimpahkan Tuhan bagi dirinya.

Makrifat tidak dapat diperoleh melalui pemikiran dan penalaran akal, tetapi bergantung pada kehendak dan rahmat Tuhan. Makrifat adalah pemberian Tuhan kepada sufi yang sanggup menerimanya.

Zunnun membagi makrifat ke dalam tiga tingkatan:
(1) tingkat awam, yaitu mengetahui Tuhan melalui ucapan syahadat,
(2) tingkat ulama, yaitu mengetahui Tuhan berdasarkan logika dan penalaran akal, dan
(3) tingkat sufi, yaitu mengetahui Tuhan melalui hati sanubari.

Makrifat yang sesungguhnya adalah makrifat dalam tingkatan sufi, sedangkan makrifat pada tingkat awam dan tingkat ulama lebih tepat disebut ilmu. Zunnun membedakan antara ilmu dan makrifat.

Menurut Zunnun, ciri-ciri orang arif atau orang yang telah sampai kepada makrifat adalah:
(1) cahaya makrifatnya yang berupa ketakwaan tidak pernah padam dalam dirinya,
(2) tidak meyakini hakikat kebenaran suatu ilmu yang menghapuskan atau membatalkan zahirnya, dan
(3) nikmat yang dianugerahkan Tuhan kepadanya tidak membuatnya lupa dan melanggar aturan Tuhan.

Selanjutnya ia menjelaskan bahwa akhlak orang sufi tidak ubahnya dengan akhlak Tuhan. Ia baik dan lemah lembut serta senantiasa berusaha agar seluruh sikap dan perilakunya mencerminkan sifat-sifat Tuhan.

Selain makrifat, Zunnun juga mengungkapkan pengalamannya mengenai al-khauf (rasa takut akan murka Allah SWT). Menurutnya, apabila keyakinan seseorang benar, benar pulalah rasa takut atau khaufnya.

Dalam syairnya ia mengatakan, “Al-Khauf rakib al-‘amal wa ar-raja‘ syafi‘ al-muhif” (Khauf [takut] itu penjaga amal sedangkan raja’ [harap] adalah penolong bencana).

Pengalamannya dalam mahabah (cinta kepada Allah SWT) terlihat dari ucapannya sebagai berikut:

“Aku memanggil-Mu di hadapan orang lain dengan sebutan ‘wahai Tuhanku (Ya Ilahi)’, tetapi manakala aku sendirian aku memanggil-Mu dengan panggilan ‘wahai kekasihku (Ya habibi).’”

Baginya, Tuhan adalah zat yang harus dicintai, bukan ditakuti. Zunnun lebih takut berpisah dari Tuhan, kekasihnya, daripada masuk neraka. Ketakutannya kepada neraka sama kecilnya dengan setitik air dibuang ke dalam samudera. Ketika Zunnun ditanya tentang mahabah, ia menjawab,

“Mahabah ialah mencintai segala yang dicintai Tuhan dan membenci segala yang dibenci Tuhan; mengerjakan kebajikan secara utuh dan sempurna dan menjauhi segala yang membuat kita berpaling dari Tuhan; tidak takut kecaman orang, bersikap lembut kepada orang mukmin, sebaliknya keras dan tegas terhadap orang kafir, dan mengikuti jejak Rasulullah dalam segala hal.”

Daftar Pustaka

Brill, E.J. Sufism: An Account of The Mystics of Islam. London: Urwin Brothers Ltd., 1973.
al-Kalabazi, Abu Bakar Muhammad. at-Ta‘arruf li Madzhab Ahl at-Tasawwuf. Cairo: Maktabah al-Kulliyah al-Azhariyah, 1979.
al-Qusyairi, Abu al-Qasim Abdul Karim. ar-Risalah al-Qusyairiyyah. Cairo: Mustafa al-Babi al-Halabi, 1959.
at-Taftazani, Abu al-Wafa’ al-Ganimi. Sufi dari Zaman ke Zaman, terj. Ahmad Rofi’ Usmani. Bandung: Pustaka, 1985.

Musdah Mulia