Al-Qur’an adalah kalam Allah SWT yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW melalui Malaikat Jibril dengan lafal dan maknanya (QS.26:192–195). Al-Qur’an sebagai kitab Allah merupakan sumber utama ajaran Islam dan berfungsi sebagai pedoman umat manusia untuk mencapai kebahagiaan di dunia dan akhirat.
Kata al-qur’an berasal dari kata kerja qara’a yang berarti membaca dan bentuk masdar (kata dasar)-nya adalah qur’an yang berarti bacaan.
Al-Qur’an dengan makna bacaan dinyatakan oleh Allah SWT dalam beberapa ayat, antara lain dalam surah al-Qiyamah (75) ayat 16–18, al-Baqarah (2) ayat 185, al-Hijr (15) ayat 87, Taha (20) ayat 2, an-Naml (27) ayat 6, al-Ahqaf (46) ayat 29, al-Waqi‘ah (56) ayat 77, al-Hasyr (59) ayat 21, al-Insan (76) ayat 23, dan al-Isra’ (17) ayat 88.
Al-Qur’an mempunyai beberapa nama, di antaranya adalah al-Kitab atau Kitab Allah (QS.2:2 dan QS.6:114), al-Furqan yang berarti pembeda antara yang benar dan yang batil (QS.25:1), adz-dzikr yang berarti peringatan (QS.15:9), dan at-Tanzil yang berarti diturunkan (QS.26:192).
Selain itu nama Al-Qur’an ialah al-Huda (petunjuk), ar-Rahmah (kasih), al-Majid (mulia), al-Mubarak (pembawa berkah), dan an-Nadzir (pemberi peringatan). Imam as-Suyuti dalam bukunya al-Itqan fi ‘Ulum Al-Qur’an (Tentang Ilmu-Ilmu Al-Qur’an) juga menyebut beberapa nama, yaitu al-Mubin (penjelas), al-Karim (yang mulia), al-Kalam (firman Tuhan), dan an-Nur (cahaya).
Ulama berbeda pendapat tentang hakikat Al-Qur’an. Imam al-Ghazali dalam kitab al-Mustasfa min ‘Ilm al-Ushul (suatu kitab yang membahas masalah usul fikih) menjelaskan bahwa hakikat Al-Qur’an adalah kalam yang berdiri pada Zat Allah SWT, yaitu salah satu sifat di antara sifat-sifat Allah SWT yang kadim (tidak bermula).
Menurut mutakalimin (ahli teologi Islam), hakikat Al-Qur’an ialah makna yang berdiri pada Zat Allah SWT. Adapun menurut golongan Muktazilah, hakikat Al-Qur’an adalah huruf-huruf dan suara yang diciptakan Allah SWT yang setelah berwujud lalu hilang dan lenyap.
Dengan pendapat ini kaum Muktazilah memandang Al-Qur’an sebagai makhluk (ciptaan) Allah SWT. Karena itu, Al-Qur’an bersifat baru, tidak kadim.
Isi Al-Qur’an
Al-Qur’an mempunyai 114 surah (urutannya sebagaimana ditetapkan Rasulullah SAW) yang tidak sama panjang dan pendeknya. Surah yang terpendek terdiri atas tiga ayat dan yang terpanjang terdiri atas 286 ayat.
Semua surah, kecuali surah kesembilan (at-Taubah) dimulai dengan kalimat Bismi Allah ar-Rahman ar-Rahim (dengan nama Allah yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang). Setiap surah mempunyai nama yang diambil dari kata yang terdapat di permulaan surah (seperti Yasin [36] dan Taha [20]) atau diambil dari kata yang menjadi tema pembicaraan di dalam surah yang bersangkutan (seperti Ali ‘Imran [3], al-Baqarah [2], dan an-Nisa’ [4]).
Menurut perhitungan ulama Kufah, seperti Abu Abdurrahman as-Salmi, Al-Qur’an terdiri dari 6.236 ayat. Menurut as-Suyuti, terdiri atas 6.000 ayat lebih. Al-Alusi dalam kitab tafsirnya Ruh al-Ma‘ani fi Tafsir Al-Qur’an al-‘Azim wa as-Sab‘ al-Matsani (Semangat Makna dalam Tafsir Al-Qur’an yang Agung dan al-Fatihah) menyebutkan bahwa jumlah ayat Al-Qur’an sekitar 6.616 ayat.
Perbedaan jumlah ayat ini disebabkan oleh adanya perbedaan pandangan di antara mereka tentang kalimat basmalah pada awal surah dan fawatih as-suwar (kata-kata pembuka surah), seperti Yasin, Alif Lam Mim, dan Ha Mim. Ada yang menggolongkan kata-kata pembuka tersebut sebagai ayat dan ada pula yang tidak menggolongkannya sebagai ayat.
Untuk memudahkan pembacaan dan penghafalan, ulama membagi Al-Qur’an ke dalam 30 juz (bagian) yang sama panjang dan dalam 60 hizb (nama hizb ditulis di sebelah pinggirnya). Setiap hizb dibagi lagi menjadi empat dengan tanda-tanda ar-rub‘ (seperempat), an-nisf (seperdua), dan ats-tsulatsah (tiga perempat).
Selanjutnya Al-Qur’an dibagi pula ke dalam 554 ruku‘ (bagian yang terdiri atas beberapa ayat).
Setiap satu ruku‘ ditandai dengan huruf ‘ain di sebelah pinggirnya. Surah yang panjang berisi beberapa ruku‘, sedangkan surah yang pendek hanya berisi satu ruku‘. Tanda pertengahan Al-Qur’an (nisf Al-Qur’an) terdapat pada surah al-Kahfi (18) ayat 19 pada lafal walyatalaththaf (hendaklah ia berlaku lemah lembut).
Sejarah Al-Qur’an
Sebagai wahyu (QS.4:163), surah dan ayat Al-Qur’an diturunkan Allah SWT secara bertahap kepada Nabi Muhammad SAW selama kurang lebih dua puluh tiga tahun masa kenabiannya. Hikmah diturunkannya Al-Qur’an secara berangsurangsur ini antara lain adalah:
(1) untuk meneguhkan hati Rasulullah SAW dengan cara mengingatkannya terus-menerus
(2) lebih mudah dimengerti dan diamalkan oleh pengikut Rasulullah SAW,
(3) di antara ayat-ayat itu ada yang merupakan jawaban atau penjelasan dari suatu pertanyaan atau masalah yang diajukan kepada Rasulullah SAW sesuai dengan keperluan,
(4) hukum-hukum Allah SWT yang terkandung di dalamnya mudah diterapkan secara bertahap, dan
(5) memudahkan penghafalan ayat Al-Qur’an.
Ayat yang pertama diturunkan adalah lima ayat pertama dari surah al-‘Alaq (96). Ayat-ayat tersebut turun ketika Nabi SAW sedang berkhalwat (menyendiri) di Gua Hira, sebuah gua yang terletak di pegunungan sekitar kota Mekah, pada malam 17 Ramadan (6 Agustus 610). Kala itu usia Nabi SAW sekitar 40 tahun.
Pada malam itu Nabi SAW melihat Malaikat Jibril datang kepadanya sambil berkata, “Iqra’ (bacalah).” Lalu Nabi SAW menjawab, “Ma ana bi qari’ (saya tidak dapat membaca).” Mendengar jawaban Nabi SAW, Malaikat Jibril lalu memeluk tubuh Nabi SAW dengan sangat erat, lalu melepaskan pelukannya dan kembali menyuruh Nabi SAW membaca.
Namun setelah dilakukan sampai tiga kali dan Nabi SAW tetap saja memberikan jawaban yang sama, Malaikat Jibril membacakan wahyu yang dibawanya.
Tidak berapa lama setelah peristiwa itu, turunlah wahyu kedua, yaitu surah al-Muddatstsir (74) ayat 1 sampai dengan ayat 10. Isinya menyeru Nabi SAW agar menyampaikan dakwah Islam kepada manusia.
Turunnya kedua surah tersebut didasarkan pada hadis riwayat Bukhari, Muslim, al-Hakim, dan al-Baihaqi dari Aisyah binti Abu Bakar. Setelah kedua surah itu, penurunan wahyu terhenti beberapa tahun. Menurut Ibnu Ishaq (w. 768), penulis buku as-Sirah (riwayat Nabi Muhammad SAW), wahyu tidak turun selama kurang lebih tiga tahun.
Nabi SAW merasa sangat gelisah dan sedih. Nabi SAW menjadi tenang setelah turun surah ad-duha (93). Sesudah itu barulah ayat-ayat lain diturunkan secara bertahap menurut kejadian-kejadian yang memerlukannya dan tidak pernah lagi terputus sampai wahyu yang terakhir.
Pada umumnya ulama menetapkan bahwa hari penghabisan turunnya Al-Qur’an ialah hari Jumat, 9 Zulhijah 10 atau 16 Maret 632. Usia Nabi SAW ketika itu lebih kurang 63 tahun. Beberapa bulan sesudah ayat terakhir (QS.5:3) ini turun, Nabi SAW pun wafat (8 Juni 632).
Ulama sepakat bahwa wahyu terakhir diturunkan ketika Nabi SAW wukuf di padang Arafah untuk menunaikan ibadah haji yang kemudian terkenal dengan sebutan haji wadak (haji penghabisan). Mengenai ayat terakhir yang diwahyukan kepada Nabi SAW, ada dua pendapat ulama.
Menurut riwayat an-Nasa’i dan Ikrimah, Ibnu Abbas menyatakan bahwa wahyu terakhir ialah surah al-Baqarah (2) ayat 281. Adapun menurut jumhur ulama adalah surah al-Ma’idah (5) ayat 3.
Umumnya ulama berpendapat bahwa Al-Qur’an diturunkan dari Lauh Mahfuz (catatan mengenai ketentuan yang telah ditetapkan Allah SWT) ke dunia. Akan tetapi mereka berbeda pendapat tentang cara menurunkannya dari Lauh Mahfuz.
Pendapat pertama yang dikemukakan Ibnu Hajar al-Asqalani mengatakan bahwa Al-Qur’an itu diturunkan sekaligus ke langit dunia pada malam al-qadr (kemuliaan), lengkap dari ayat pertama sampai ayat terakhir. Ayat-ayat ini kemudian diwahyukan secara berangsur-angsur kepada Nabi SAW selama 23 tahun.
Menurut pendapat kedua yang dikemukakan Fakhruddin ar-Razi, Al-Qur’an diturunkan ke langit dunia dalam 23 kali malam al-qadr. Ayat-ayat yang diturunkan dalam setiap malam al-qadr ialah ayat-ayat yang hendak diturunkan pada tahun itu secara berangsurangsur kepada Nabi SAW.
Adapun pendapat ketiga yang dikemukakan asy-Sya‘bi (tokoh tradisionalisme) mengatakan bahwa Al-Qur’an diturunkan hanya bagian permulaannya saja pada malam al-qadr. Yang lain kemudian diturunkan sesudah itu secara bertahap dalam berbagai waktu. Menurut ulama, pendapat pertama merupakan pendapat yang lebih kuat.
Al-Qur’an diturunkan kepada Nabi SAW melalui berbagai cara, antara lain adalah sebagai berikut.
(1) Malaikat Jibril “memasukkan” wahyu itu ke dalam hati Nabi SAW tanpa memperlihatkan wujudnya. Nabi SAW tiba-tiba saja merasakan wahyu itu telah berada di dalam hatinya. Mengenai hal ini, Nabi SAW mengatakan: “Rohulkudus mewahyukan ke dalam kalbuku.”
(2) Malaikat Jibril menampakkan dirinya kepada Nabi SAW sebagai seorang laki-laki dan mengucapkan kata-kata di hadapannya, sehingga Nabi SAW cepat mengetahui dan menghafal ayat-ayat yang disampaikannya.
(3) Wahyu turun kepada Nabi SAW seperti bunyi gemerincing lonceng. Menurut Nabi SAW, cara inilah yang paling berat dirasakan sehingga Nabi SAW mencucurkan keringat, meskipun wahyu itu turun di musim yang sangat dingin. Apabila Nabi SAW sedang mengendarai unta, ketika itu untanya terpaksa berhenti dan duduk karena merasa amat berat.
(4) Malaikat Jibril turun membawa wahyu dengan menampakkan wujudnya yang asli, seperti dinyatakan dalam surah an-Najm (53) ayat 13 dan 14.
Setiap kali menerima wahyu, Nabi SAW lalu menghafalkannya (QS.75:16–19). Hafalan Nabi SAW ini selalu dikontrol oleh Malaikat Jibril. Setelah itu Nabi SAW segera mengumpulkan sahabat-sahabatnya untuk menyampaikan wahyu yang baru diterimanya. Nabi SAW pun menyuruh para sahabat untuk menghafalkan wahyu yang diterimanya.
Di samping itu, Nabi SAW juga menyuruh sahabat-sahabatnya yang pandai menulis untuk menuliskan ayat-ayat yang diturunkan. Ketika di Madinah, Nabi SAW memiliki beberapa orang juru tulis, di antaranya yang terkenal ialah Zaid bin Sabit. Masa turunnya Al-Qur’an dibagi ke dalam dua periode.
(1) Periode Mekah, yaitu masa Nabi SAW bermukim di Mekah (610–622), mulai dari turunnya wahyu pertama sampai Nabi SAW melakukan hijrah ke Madinah; disebut pula periode sebelum hijrah. Ayat-ayat yang diturunkan selama masa itu dinamakan ayat-ayat Makkiyyah, yang berjumlah 4.726 ayat dan meliputi 89 surah.
(2) Periode Madinah, yaitu masa setelah Nabi SAW hijrah ke Madinah (622–632), sejak Nabi SAW hijrah sampai turunnya wahyu penghabisan; disebut pula periode hijrah. Ayat-ayat yang diturunkan dalam periode ini dinamakan ayat-ayat Madaniyyah. Ayat-ayat Madaniyyah berjumlah 1.510 ayat dan mencakup 25 surah.
Ciri-ciri ayat Makkiyyah di antaranya adalah ayatnya pendek-pendek, dimulai dengan perkataan ya ayyuha an-nas (wahai manusia), kebanyakan mengandung pembahasan masalah tauhid, iman kepada Allah SWT, hal ihwal surga dan neraka, dan masalah-masalah yang menyangkut kehidupan ukhrawi (akhirat).
Adapun ciri-ciri ayat Madaniyyah antara lain ialah ayatnya panjang-panjang (thiwal), diawali dengan perkataan ya ayyuha al-ladzina amanu (wahai orang-orang yang beriman/percaya), kebanyakan berisi hukum-hukum yang jelas, dan banyak membicarakan orang yang berhijrah (kaum Muhajirin), kaum Ansar, dan kaum munafik serta ahlulkitab.
Kodifikasi Al-Qur’an
Kodifikasi atau pengumpulan Al-Qur’an telah dimulai sejak zaman Rasulullah SAW, bahkan telah dimulai sejak masa-masa awal turunnya Al-Qur’an. Sebagaimana diketahui, Al-Qur’an diwahyukan secara berangsur-angsur.
Setiap kali menerima wahyu, Nabi SAW lalu membacakannya di hadapan para sahabat karena ia memang diperintahkan untuk mengajarkan Al-Qur’an kepada mereka (QS.16:44).
Di samping menyuruh sahabat menghafalkan ayat-ayat yang diajarkannya, Nabi SAW juga memerintahkan sahabat yang pandai menulis untuk menuliskannya di atas pelepah kurma, lempengan batu, dan kepingan tulang.
Dalam pada itu, para sahabat pun sangat bersungguh-sungguh dalam menghafalkan atau mempelajari Al-Qur’an. Sahabat yang pandai menulis juga sangat berhati-hati menuliskan ayat. Hal ini didorong oleh keyakinan mereka bahwa Al-Qur’an adalah firman Allah SWT yang harus dijadikan pedoman hidup, sehingga perlu dijaga dengan baik.
Setelah ayat-ayat yang diturunkan cukup satu surah, Nabi SAW memberi nama surah tersebut untuk membedakannya dari surah yang lain. Nabi SAW juga memberi petunjuk tentang urutan penempatan surah di dalam Al-Qur’an.
Penyusunan ayat-ayat dan penempatannya di dalam susunan Al-Qur’an juga dilakukan berdasarkan petunjuk Nabi SAW. Cara pengumpulan Al-Qur’an yang dilakukan di masa Nabi SAW tersebut berlangsung sampai Al-Qur’an sempurna di-turunkan dalam masa kurang lebih 23 tahun.
Untuk menjaga kemurnian Al-Qur’an, dalam hadis yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim, setiap tahun Malaikat Jibril datang kepada Nabi SAW untuk memeriksa bacaannya. Bahkan pada tahun wafat Nabi SAW, Malaikat Jibril datang dua kali.
Malaikat Jibril mengontrol bacaan Nabi SAW dengan cara menyuruhnya mengulangi bacaan ayat-ayat yang telah diwahyukan. Kemudian Nabi SAW sendiri juga melakukan hal yang sama, yaitu mengontrol bacaan sahabat-sahabatnya sehingga dengan demikian terpeliharalah Al-Qur’an dari kesalahan dan kekeliruan.
Pada masa Rasulullah SAW, sudah banyak sahabat (baik dari kalangan Muhajirin maupun Ansar) yang menghafal beberapa puluh surah. Bahkan banyak juga yang telah menghafal setengah Al-Qur’an dan seluruh isinya dengan lancar.
Di antara yang menghafal seluruhnya ialah Abu Bakar as-Siddiq, Umar bin Khattab, Usman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Talhah, Sa‘ad, Huzaifah, Abu Hurairah, Abdullah bin Mas‘ud, Abdullah bin Umar bin Khattab, Abdullah bin Abbas, Amr bin As, Mu‘awiyah bin Abu Sufyan, Abdullah bin Zubair, Aisyah binti Abu Bakar, Hafsah binti Umar, Ummu Salamah, Ubay bin Ka‘b, Mu‘az bin Jabal, Zaid bin Sabit, Abu Darda, dan Anas bin Malik.
Adapun sahabat-sahabat yang menjadi juru tulis wahyu antara lain adalah: Abu Bakar as-Siddiq, Umar bin Khattab, Usman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Amir bin Fuhairah, Zaid bin Sabit, Ubay bin Ka‘b, Mu‘awiyah bin Abu Sufyan, Zubair bin Awwam, Khalid bin Walid, dan Amr bin As.
Tulisan ayat-ayat Al-Qur’an yang ditulis oleh mereka disimpan di rumah Rasulullah SAW. Mereka pun masing-masing menulis untuk disimpan sendiri. Walaupun demikian, tulisan-tulisan itu belum dikumpulkan dalam satu mushaf (kumpulan lembaran yang terjilid), melainkan masih berserakan.
Setelah Rasulullah SAW wafat dan Abu Bakar dipilih menjadi khalifah, tulisan-tulisan Al-Qur’an yang berserakan pada pelepah-pelepah kurma, tulang-tulang binatang, dan batu-batu tetap disimpan di rumah Rasulullah SAW sampai terjadinya Perang Yamamah yang merenggut korban kurang lebih tujuh puluh sahabat penghafal Al-Qur’an (huffaz).
Karena banyak sahabat penghafal Al-Qur’an gugur sebagai syuhada, timbul kekhawatiran di kalangan sahabat akan terjadinya perang lagi dan punahnya sahabat-sahabat penghafal Al-Qur’an yang pada akhirnya akan menyebabkan hilangnya Al-Qur’an.
Umar bin Khattab lalu menyarankan kepada Khalifah Abu Bakar agar menghimpun surah-surah dan ayat-ayat yang masih berserakan itu ke dalam satu mushaf.
Pada mulanya Abu Bakar berat menerima usulan Umar karena pekerjaan seperti itu belum pernah dikerjakan Rasulullah SAW. Setelah Umar meyakinkan Abu Bakar bahwa pekerjaan kodifikasi/pengumpulan Al-Qur’an sematamata untuk memelihara kelestarian Al-Qur’an, barulah ia menyetujuinya.
Abu Bakar lalu memerintahkan Zaid bin Sabit untuk memimpin tugas kodifikasi ini dengan dibantu Ubay bin Ka‘b, Ali bin Abi Thalib, Usman bin Affan, dan beberapa sahabat qurra’ (pembaca-pembaca) lainnya.
Meskipun Zaid bin Sabit seorang penghafal Al-Qur’an dan banyak menuliskan ayat-ayat di masa Nabi SAW, ia tetap sangat berhati-hati dalam melakukan pengumpula ayat-ayat Al-Qur’an itu.
Di dalam usaha kodifikasi ini, Zaid bin Sabit berpegang pada tulisan-tulisan yang tersimpan di rumah Rasulullah SAW, hafalan dari sahabat, dan naskah-naskah yang ditulis para sahabat untuk mereka sendiri. Zaid bin Sabit menghimpun surah-surah dan ayat-ayat Al-Qur’an sesuai dengan petunjuk Rasulullah SAW sebelum wafat dan menulisnya di atas lembaran-lembaran kertas yang disebut suhuf-suhuf.
Suhuf-Suhuf itu lalu disusun menjadi satu mushaf dan kemudian diserahkan kepada Abu Bakar. Mushaf ini tetap disimpan Abu Bakar sampai ia wafat. Ketika Umar menjabat khalifah, mushaf itu pun berada dalam pengawasannya. Setelah Umar wafat, mushaf ini disimpan di rumah Hafsah, putrinya yang juga adalah istri Rasulullah SAW.
Pada masa Khalifah Usman bin Affan, timbul perbedaan pendapat di kalangan umat Islam mengenai soal qiraah (cara membaca Al-Qur’an). Perbedaan pendapat ini mulanya disebabkan sikap Rasulullah SAW yang memberi kelonggaran kepada kabilah-kabilah Arab yang ada pada masa itu untuk membaca dan melafalkan Al-Qur’an menurut lahjah (dialek) mereka masing-masing.
Kelonggaran ini diberikan Nabi SAW dengan maksud agar mereka mudah menghafal Al-Qur’an. Akan tetapi dalam perkembangan Islam kemudian, terutama setelah bangsa-bangsa yang memeluk Islam semakin beragam sebagai akibat dari bertambah luasnya daerah Islam, cara membaca Al-Qur’an pun menjadi semakin bervariasi sesuai dengan dialek masing-masing.
Hal inilah yang menimbulkan perselisihan masalah qiraah. Masing-masing kabilah menganggap dialeknyalah yang benar, sedangkan dialek lainnya salah.
Sahabat yang mula-mula menanggapi secara serius adanya pertikaian dalam masalah qiraah ialah Huzaifah bin Yaman. Huzaifah lalu mengusulkan kepada Khalifah Usman agar menetapkan aturan penyeragaman bacaan Al-Qur’an dengan membuat mushaf Al-Qur’an standar yang kelak akan dijadikan pegangan bagi seluruh umat Islam di berbagai wilayah.
Alasan yang dikemukakan Huzaifah ialah untuk menghindari terjadinya perselisihan di kalangan umat Islam karena perbedaan bacaan Al-Qur’an mereka, seperti yang terjadi pada umat Yahudi dan Kristen yang berselisih mengenai Alkitab.
Menanggapi usul Huzaifah, Usman lalu membentuk suatu lajnah (panitia) yang terdiri atas Zaid bin Sabit sebagai ketua dan anggota-anggotanya adalah Abdullah bin Zubair, Sa‘id bin As, dan Abdurrahman bin Haris. Kemudian Usman meminjam mushaf Al-Qur’an yang disimpan di rumah Hafsah dan memberikannya kepada panitia yang telah terbentuk.
Tugas utama lajnah ialah menyalin mushaf itu ke beberapa naskah sambil menyeragamkan dialek yang digunakan, yaitu dialek Quraisy (Al-Qur’an diturunkan melalui dialek Quraisy). Setelah tugas panitia selesai, Usman mengembalikan mushaf yang telah disalin itu kepada Hafsah.
Al-Qur’an yang telah disalin dengan dialek yang seragam di masa Usman itulah yang disebut mushaf Usmani. Semuanya berjumlah lima buah. Satu mushaf disimpan di Madinah, yang kemudian dikenal dengan mushaf al-Imam.
Empat lainnya dikirim ke Mekah, Suriah, Basrah, dan Kufah untuk disalin dan diperbanyak. Selanjutnya Usman memerintahkan agar mengumpulkan semua tulisan Al-Qur’an selain dari mushaf Usmani untuk dimusnahkan dan hanya boleh menyalin dan memperbanyak tulisan Al-Qur’an dari mushaf yang resmi, yaitu mushaf Usmani.
Usaha kodifikasi Al-Qur’an di masa Usman membawa beberapa keuntungan, antara lain sebagai berikut.
(1) Menyatukan umat Islam yang berselisih dalam masalah qiraah.
(2) Menyeragamkan dialek bacaan Al-Qur’an.
(3) Menyatukan tertib susunan surah-surah menurut tertib urut seperti dalam mushaf-mushaf yang dijumpai sekarang.
Dalam perkembangan selanjutnya, mushaf yang dikirimkan Usman ke berbagai propinsi Islam itu mendapat sambutan yang positif di kalangan umat Islam. Mereka menyalin dan memperbanyak mushaf itu dengan sangat hati-hati.
Diriwayatkan bahwa Abdul Aziz bin Marwan (gubernur Mesir) setelah menulis mushafnya, menyuruh orang lain untuk memeriksanya sambil menjanjikan bahwa siapa pun yang dapat menemukan suatu kesalahan dalam tulisannya akan diberi hadiah berupa seekor kuda dan tiga puluh dinar.
Kewaspadaan kaum muslimin terhadap setiap penulisan Al-Qur’an ini tetap berlanjut dari masa ke masa. Penyalinan mushaf Usmani juga bertambah pesat dilakukan kaum muslimin.
Adapun tulisan-tulisan Al-Qur’an yang pernah dibuat di masa sahabat berangsur-angsur hilang dari masyarakat. Dengan demikian umat Islam pada masa sekarang ini hanya mengenal satu jenis mushaf, yaitu mushaf Usmani.
Penulisan dan Pencetakan Al-Qur’an.
Walaupun Rasulullah SAW secara pribadi tidak pernah menulis Al-Qur’an karena Nabi SAW tidak pandai membaca dan menulis, tetapi ia sangat kuat mendorong sahabat-sahabatnya untuk belajar baca-tulis.
Para tawanan Perang Badar yang pandai menulis oleh Rasulullah SAW diminta untuk mengajar para sahabat sebagai tebusan bagi kemerdekaan diri mereka. Selain itu, juga telah ada beberapa sahabat yang pandai baca-tulis jauh sebelum mereka masuk Islam.
Sahabat-sahabat yang telah pandai baca-tulis inilah yang aktif menuliskan wahyu untuk Rasulullah SAW. Setiap kali Rasulullah SAW menerima wahyu, para penulis itu pun segera dipanggil untuk menulis dan mencatatnya di samping sahabat-sahabat yang menghafalnya.
Setelah hijrah ke Madinah, Nabi SAW memilik juru tulis khusus. Menurut M. Azmi (ahli sejarah) dalam bukunya Kitab an-Nabi ada sejumlah 48 sahabat penulis Al-Qur’an. Di antara mereka yang paling terkenal ialah Zaid bin Sabit.
Sebelum Rasulullah SAW wafat, Al-Qur’an secara keseluruhan telah rampung penulisannya dengan urutan surah dan ayat berdasarkan petunjuk Rasulullah SAW sendiri. Penulisannya di masa itu masih menggunakan alat yang sangat sederhana, seperti pelepah kurma, lempengan batu dan kepingan tulang, sehingga sulit untuk dihimpun dalam satu kumpulan.
Di masa Abu Bakar as-Siddiq diadakan penulisan ulang Al-Qur’an dengan memakai lembaran-lembaran kertas atau Suhuf. Lembaran-lembaran atau Suhuf yang bertuliskan ayat-ayat Al-Qur’an itu kemudian diikat dengan benang sehingga membentuk satu mushaf.
Sampai kepada bentuk mushaf Usmani, tulisan Al-Qur’an tetap memakai huruf kufi (huruf-huruf yang berbentuk garis lurus tanpa titik dan baris). Namun, hal ini tidak mempengaruhi pembacaan Al-Qur’an karena umumnya sahabat adalah orang yang fasih dalam bahasa Arab, bahkan kebanyakan mereka menghafal Al-Qur’an dengan lancar.
Akan tetapi setelah semakin banyak orang non-Arab memeluk Islam, timbul kesulitan besar dalam membaca tulisan Al-Qur’an. Kalaupun ada yang bisa membacanya, pembacaannya banyak mengandung kesalahan dan kekeliruan akibat tidak adanya tanda-tanda baca yang memadai. Apabila keadaan ini dibiarkan berlarut-larut, dikhawatirkan akan timbul kekacauan di kalangan umat Islam.
Menanggapi keadaan ini Abu al-Aswad ad-Duwali, salah seorang pemuka tabiin di zaman Mu‘awiyah bin Abu Sufyan, mengambil inisiatif untuk memberi tanda-tanda dalam Al-Qur’an dengan tinta yang berlainan warnanya dengan tulisan Al-Qur’an.
Tanda-tanda itu berupa titik. Titik yang diletakkan di atas huruf menandakan baris fatah (bunyi a), titik di bawah menandakan baris kasrah (bunyi i), titik sebelah kiri menandakan baris damah (bunyi u), dan titik dua menandakan tanwin (bunyi nun mati).
Namun karena tanda-tanda baca ini hanya diberikan pada huruf terakhi dari suatu kata maka penempatan tanda-tanda baca itu belum banyak menolong bagi orang awam.
Usaha perbaikan tulisan Al-Qur’an selanjutnya dilakukan Nasir bin Asim dan Yahya bin Ya’mur di masa Khalifah Abdul Malik bin Marwan. Keduanya menambahkan tanda-tanda untuk huruf-huruf yang bertitik dengan tinta yang sama dengan tulisan Al-Qur’an.
Hal ini dimaksudkan untuk membedakan antara titik Abu al-Aswad ad-Duwali dan titik yang baru ini. Titik Abu al-Aswad ad-Duwali adalah untuk tanda baca dan titik yang dibuat Nasir bin Asim adalah titik yang menandakan huruf.
Dengan adanya titik huruf ini mudahlah dibedakan huruf-huruf ba’, ta’, Tsa’, dan ya dalam pembacaan. Cara penulisan semacam ini tetap berlaku pada masa Bani Umayah sampai pada permulaan Dinasti Abbasiyah, bahkan tetap dipakai di Spanyol sampai pertengahan abad ke-4 H.
Namun kemudian ternyata bahwa cara penulisan seperti itu masih menimbulkan kesulitan juga bagi para pembaca Al-Qur’an karena terlalu banyak titik sehingga hampir-hampir tidak dapat dibedakan mana titik baris dan mana titik huruf.
Lalu Khalil bin Ahmad bin Amr bin Tamim al-Farihidi al-Azdi mengubah sistem baris yang dibuat Abu al-Aswad ad-Duwali, yaitu mengganti titik dengan huruf alif kecil di atas huruf (′)sebagai tanda fatah (bunyi a), huruf ya kecil di bawah huruf (⁄) sebagai tanda kasrah (bunyi i), dan huruf wa kecil (wa, dalam huruf hijaiyah) di atas huruf sebagai tanda damah (bunyi u).
Selain itu ia menggunakan kepala huruf sin (ω ) untuk tanda syaddah (Konspnan ganda) kepala huruf ha (Ha, dalam huruf Hijaiyah) untuk sukun (baris mati), dan kepala ‘ain (µ) untuk hamzah. Khalil juga membuat tanda mad (˜), yaitu tanda bahwa huruf itu harus dibaca panjang. Kemudian, tanda ini dipermudah, dipotong, dan ditambah sehingga menjadi bentuk yang ada sekarang ini.
Pada masa Khalifah al-Ma’mun, para ahli qiraah menambahkan lagi berbagai tanda di dalam tulisan Al-Qur’an, seperti membuat tanda-tanda ayat, tanda-tanda wakaf (berhenti membaca) serta tanda-tanda ibtida (memulai membaca), dan mnerangkan identitas surah di awal setiap surah, seperti nama surah, tempat turunnya, dan jumlah ayatnya.
Tanda-tanda lain yang dibubuhkan pada tulisan Al-Qur’an adalah tanda pemisah antara satu juz dan juz lainnya, berupa kata juz’ dan diikuti dengan penomorannya (misalnya juz’ 3), dan tanda hizb untuk membedakan antara satu hizb dan hizb lainnya (misalnya hizb 3). Tiap-tiap tanda kemudian dibagi ke dalam empat bagian.
Perempat pertama dari hizb memakai tanda ar-rub‘, perempat kedua memakai tanda nisf, dan perempat ketiga memakai tanda ats-tsultsah. Di samping itu dibubuhkan pula tanda-tanda lain yang semuanya dimaksudkan untuk memudahkan pembacaan dan penghafalan Al-Qur’an.
Sebelum ditemukan mesin cetak, Al-Qur’an disalin dan diperbanyak dari mushaf Usmani dengan cara tulisan tangan. Keadaan ini berlangsung sampai abad ke-16, ketika Eropa menemukan mesin cetak yang dapat digerakkan (dipisah-pisahkan). Al-Qur’an pertama kali dicetak di Hamburg (Jerman) pada 1694.
Naskah tersebut sepenuhnya dilengkapi dengan tanda baca. Adanya mesin cetak ini mempermudah umat Islam memperbanyak mushaf Al-Qur’an. Mushaf Al-Qur’an yang pertama dicetak oleh kalangan Islam sendiri ialah mushaf edisi Malay Usman yang dicetak 1787 dan diterbitkan di St. Petersburg, Rusia. Lalu diikuti oleh percetakan lainnya, seperti di Kazan 1828, Persia (Iran) 1838, dan Istanbul 1877.
Pada 1858, seorang orientalis Jerman, Fluegel, menerbitkan Al-Qur’an yang dilengkapi dengan pedoman yang amat bermanfaat. Terbitan Al-Qur’an itu dikenal dengan edisi Fluegel yang banyak digunakan oleh para orientalis dari berbagai generasi. Akan tetapi, edisi Fluegel ini ternyata mengandung cacat besar, yaitu sistem penomoran ayatnya tidak sesuai dengan sistem yang digunakan dalam mushaf standar (mushaf Usmani).
Mulai awal abad ke-20, pencetakan Al-Qur’an dilakukan di dunia Islam sendiri. Pelaksanaannya mendapat pengawasan ketat dari para ulama untuk menghindari timbulnya kesalahan cetak.
Cetakan Al-Qur’an yang banyak dipergunakan di dunia Islam dewasa ini adalah cetakan edisi Mesir yang juga dikenal dengan edisi Raja Fuad karena dialah yang memprakarsainya. Edisi ini ditulis berdasarkan qiraah Nasir bin Asim yang diriwayatkan oleh Hafs dan diterbitkan pertama kali di Cairo 1344 H/1925 M.
Selanjutnya, pada 1947 untuk pertama kali Al-Qur’an dicetak dengan teknik cetak ofset yang canggih dan dengan memakai huruf-huruf yang indah. Pencetakan itu dilakukan di Turki atas prakarsa seorang ahli kaligrafi Turki terkemuka, Sa’id Nursi.
Kemudian sejak tahun 1976 Al-Qur’an dicetak dalam berbagai ukuran dan jumlah oleh percetakan yang dikelola oleh pengikut Sa’id Nursi di Berlin (Jerman). Sekarang kita dapat menjumpai berbagai bentuk dan ukuran Al-Qur’an dari tulisan yang bentuknya sederhana sampai tulisan yang indah.
Di Indonesia khususnya, setiap usaha pencetakan dan penerbitan Al-Qur’an harus mendapat persetujuan dari pemerintah melalui Departemen Agama Republik Indonesia. Ini dimaksudkan untuk memudahkan pengontrolan dan pemeriksaan terhadap setiap Al-Qur’an yang terbit dan beredar di Indonesia.
Pemerintah melalui Departemen Agama membentuk suatu lembaga khusus bernama Lajnah Pentashih Mushaf Al-Qur’an yang tugasnya antara lain mengoreksi dan mentashihkan setiap terbitan Al-Qur’an. Dengan demikian, Al-Qur’an terjaga dari segala bentuk kekeliruan dan kesalahan.
Al-Qur’an Sebagai Mukjizat.
Mukjizat, menurut Imam as-Suyuti dalam bukunya al-Itqan fi ‘Ulum Al-Qur’an (Buku Lengkap Mengenai Ilmu Al-Qur’an), adalah sesuatu di luar kebiasaan yang disertai dengan adanya tantangan. Menurut Dr. Muhammad Quraish Shihab (dosen Pasca Sarjana IAIN Jakarta dan ahli tafsir di Indonesia), sesuatu dinamakan mukjizat apabila memenuhi empat unsur, yaitu:
(1) suatu hal yang ada di luar kebiasaan,
(2) tampak pada diri seorang nabi,
(3) disertai dengan adanya tantangan, dan
(4) sesuatu yang tidak sanggup ditantang orang.
Al-Qur’an sebagai mukjizat merupakan tantangan bagi orang Arab setelah mereka memberikan persepsi yang keliru terhadap Al-Qur’an, untuk membuktikan siapa yang benar di antara mereka. Ulama sepakat bahwa Al-Qur’an itu merupakan mukjizat Nabi SAW yang paling besar. Mukjizat Al-Qur’an dapat dilihat dari dua segi, yaitu dari segi bahasa dan dari segi kandungan isi.
Dari segi bahasa, ulama sepakat bahwa Al-Qur’an memiliki uslub (gaya bahasa) yang tinggi, fasahah (ungkapan kata yang jelas), dan balagah (kefasihan lidah) yang dapat mempengaruhi jiwa pembacanya dan pendengarnya yang mempunyai rasa bahasa Arab yang tinggi. Abu Bakar Muhammad al-Baqillani (ahli fikih) menyebutkan bahwa sesungguhnya Al-Qur’an itu sangat indah susunan kata-katanya dan sangat unik serta istimewa susunannya.
Syekh Muhammad Rasyid Rida berpendapat bahwa salah satu bukti ketinggian uslub Al-Qur’an ialah bahwa seluruh maksud Al-Qur’an itu bercampur baur dan terpencar dalam banyak surah, baik yang pendek maupun yang panjang, dengan munasabah (hubungan atau kaitan) yang berbeda-beda sehingga menjadi ‘ibarah (ungkapan) yang sempurna dan menyenangkan hati. Mukjizat Al-Qur’an dari segi bahasa ini hanya dapat dihayati oleh mereka yang mengetahui dan mendalami bahasa Arab.
Kemukjizatan Al-Qur’an dari segi bahasa telah diakui ahli sastra Arab, baik di masa Nabi SAW maupun masa sesudahn ya. Selanjutnya Muhammad Abduh mengemukakan bahwa Al-Qur’an diturunkan pada suatu masa yang terkenal dengan banyaknya ahli syair dan ahli pidato Arab. Akan tetapi, sejarah membuktikan bahwa tidak seorang pun di antara sastrawan Arab itu yang mampu membuat suatu gubahan yang seindah gubahan Al-Qur’an.
Dari segi kandungan isi, mukjizat Al-Qur’an dapat dilihat dari tiga aspek.
(1) Merupakan isyarat ilmiah. Al-Qur’an banyak berisi informasi ilmu pengetahuan walaupun hanya dalam bentuk isyarat ilmiah, seperti informasi mengenai ilmu pengetahuan alam. Antara lain dikatakan bahwa bumi dan langit sebenarnya merupakan suatu yang padu dan setelah terpisah dijadikan segala sesuatu yang hidup (QS.21:30), bahwa seluruh kehidupan berasal dari air (QS.21:30), dan bahwa alam semesta terbentuk dari gumpalan gas (ad-dukhan) (QS.41:11).
(2) Merupakan sumber hukum. Al-Qur’an telah memberikan andil yang kuat dalam pertumbuhan hukum, bahkan Al-Qur’an tetap merupakan produk hukum yang ideal hingga masa kini. Para ahli usul fikih membagi nas-nas Al-Qur’an dari segi dalalah (penunjukan pada makna ayat)-nya atas dua bagian.
(a) Qath‘i ad-dalalah ialah nas yang maknanya sudah jelas sehingga tidak memerlukan takwil. Misalnya, surah an-Nur (24) ayat 2, “Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali.” Dalalah ayat ini jelas dan tidak dapat ditakwilkan atau dipahami menurut arti lain.
(b) zanni ad-dalalah ialah nas yang menunjuk pada arti yang masih dapat ditakwilkan atau dipahami dengan makna lain, misalnya surah al-Ma’idah (5) ayat 38, “Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”
Akan tetapi, kata “dipotong” mengandung arti lebih dari satu, bisa berarti dipotong dari anggota tubuhnya atau dipotong perbuatannya.
(3) Menerangkan suatu ‘ibrah (teladan) dan kabar gaib, baik yang terjadi pada masa lalu, sekarang maupun yang akan datang. Al-Qur’an banyak mengandung berita tentang hal-hal yang gaib, seperti surga, neraka, hari kiamat, dan hari perhitungan.
Al-Qur’an juga banyak mengungkapkan kisah para nabi dan umat masa lampau, seperti kisah Fir’aun, kisah kaum Ad dan Samud, kisah Nabi Yusuf AS, dan Nabi Ibrahim AS. Al-Qur’an banyak pula menyinggung masalah-masalah yang belum terjadi di masanya, seperti kemenangan bangsa Romawi (QS.30:1–3).
Mukjizat Al-Qur’an, baik ditinjau dari segi bahasa maupun kandungan isi, dimaksudkan untuk mengalahkan atau melemahkan orang-orang yang meragukan kebenarannya sebagai wahyu Allah SWT.
Al-Qur’an sendiri berisi tantangan-tantangan terhadap orang yang meragukan atau mengingkari kebenarannya, seperti dinyatakan dalam surah at-Tur (52) ayat 34, al-Isra’ (17) ayat 88, Hud (11) ayat 13, dan Yusuf (12) ayat 39. Sejarah membuktikan bahwa tidak seorang pun yang mampu menjawab tantangan tersebut. Oleh sebab itu, semakin terbukti bahwa Al-Qur’an itu sesungguhnya adalah mukjizat.
Kandungan Al-Qur’an.
Dari sekitar 6.236 ayat yang ada da-lam Al-Qur’an, 4.726 ayat adalah ayat Makkiyyah. Selebihnya (1.510 ayat) adalah ayat Madaniyyah. Apabila dilihat dari segi kandungan isinya, ayat-ayat Makkiyyah, yang merupakan tiga perempat dari isi Al-Qur’an, pada umumnya mengandung keterangan dan penjelasan tentang keimanan, perbuatan baik dan jahat, pahala bagi orang yang beriman dan beramal saleh, siksaan bagi orang yang kafir dan durhaka, kisah para rasul dan nabi, cerita-cerita dari umat terdahulu, dan berbagai perumpamaan untuk dijadikan teladan dan ibarat.
Adapun ayat-ayat Madaniyyah pada umumnya menjelaskan hal-hal yang erat hubungannya dengan hidup kemasyarakatan atau masalah-masalah muamalah, antara lain hukum yang berkenaan dengan perkawinan, waris, perjanjian, dan perang.
Secara keseluruhan, isi Al-Qur’an dapat diklasifikasikan ke dalam tiga pembahasan pokok, yaitu:
|(1) pembahasan mengenai prinsip akidah (keimanan),
(2) pembahasan yang menyangkut prinsip ibadah, dan
(3) pembahasan yang berkenaan dengan prinsip syariat.
Kandungan Al-Qur’an yang membahas prinsip akidah (keimanan) adalah sebagai berikut:
(1) iman kepada Allah SWT dengan segala sifat-sifat-Nya (antara lain QS.2:116, 117, 155, dan 163; QS.3:2, 5, 6, dan 18; QS.4:48, 49, dan 116, QS.5:17, 72, dan 77; QS.6:21, 24, 56, 80, 81, 94, 100, 103, 106 dan 108; QS.9:28; dan QS.10:18, 28, 36, 66, 67, 69, dan 70),
(2) iman kepada malaikat (antara lain QS.2:98 dan 177, QS.3:80, QS.34:41,42, QS.21:26–28, QS.37:150, QS.53:27,28, QS.43:19– 22, QS.17:40, QS.20:116 dan 117, dan QS.38:71–85),
(3) iman kepada kitab-kitab-Nya (antara lain QS.2:78, 113, 121, dan 159; QS.3:113–114; QS.13:38; QS.29:46; dan QS.35:25),
(4) iman kepada rasul-rasul-Nya (antara lain QS.2:87; QS.3:172–173; QS.4:13–14, 165; QS.5:32; QS.6:48; QS.7:35, 94–96, dan 98–100; QS.10:13, 14, dan 74),
(5) iman kepada adanya akhirat (antara lain QS.2:210, QS.3:83 dan 109, QS.10:56, QS.11:123, QS.22:48, QS.24:64, QS.30:11), dan
(6) iman kepada kada dan kadar (antara lain QS.7:178–179, QS.16:36, dan QS.32:13).
Kata “Allah” disebutkan di dalam Al-Qur’an sebanyak 2.799 kali, dimulai dan diakhiri dengan penjelasan tentang keesaan-Nya. Kata Rabb yang berarti Pemilik, Pendidik, dan Pemelihara disebutkan sebanyak 967 kali. Sifat Allah SWT yang banyak disebutkan adalah sifat Rahman (Maha Pemurah) dan Rahim (Maha Penyayang). Keduanya disebut sebanyak 560 kali.
Sifat Gafir (Maha Pengampun) disebutkan sebanyak 233 kali. Kandungan Al-Qur’an yang membahas prinsip ibadah antara lain menjelaskan kewajiban salat (antara lain QS.2:37 43, 45, dan 46; QS.8:3; QS.14:31; QS.20:132; QS.22:34, 35, dan 41; QS.31:4–5; dan QS.32:15–16), zakat (antara lain QS.2:177 dan 215, QS.3:92 dan 134, QS.9:60, QS.25:67, QS.30:39, dan QS.34:39), puasa dalam bulan Ramadan (antara lain QS.2:183–185 dan 187), dan haji (antara lain QS.22:27 dan 29; QS.2:196–200, dan 203; QS.5:1–2 dan 94–96).
Adapun kandungan Al-Qur’an yang mengungkapkan prinsip syariat meliputi pembicaraan tentang manusia (antara lain QS.2:30, QS.6:98, QS.15:26, QS.18:37, QS.22:5, dan QS.23:12–14).
Tentang Masyarakat (antara lain QS.10:19, 47, 49; QS.2:84–85; dan QS.60:8–9), sosial (antara lain QS.8:41, QS.58:13, QS.9:29, QS.42:36 dan 38, dan QS.33:6), ekonomi (antara lain QS.2:198, QS.4:29, QS.62:10–11, dan QS.83:1–3), musyawarah (antara lain QS.3:159 dan QS.42:38), sejarah (antara lain QS.21:95–97, QS.18:83–98, QS.30:2–4, dan QS.105:1– 5).
Hukum-hukum, antara lain hukum perkawinan (antara lain QS.2:221, QS.4:22–24, QS.5:5, QS.24:32, dan QS.60:10 dan 11), hukum waris (antara lain QS.2:180; QS.4:7–12, dan 176; QS.5:106), hukum perjanjian (antara lain QS.2:279, 280, dan 282; QS.8:56–57; dan QS.9:4), hukum pidana (antara lain QS.2:178; QS.4:92–93; QS.5:38; QS.10:27; QS.17:33; dan QS.42:40), hukum perang (antara lain QS.2:190–193; QS.8:39 dan 41; QS.9:5, 29, dan 123; dan QS.22:39–40), dan hukum antarbangsa (antara lain QS.49:13).
Dari keseluruhan isi Al-Qur’an terlihat bahwa Al-Qur’an memberikan porsi yang besar pada hal-hal yang berkenaan dengan sejarah, yang meliputi kisah para rasul dan nabi serta umat di masa lampau. Adapun ayat-ayat yang mengandung ketentuan-ketentuan hukum hanya sedikit sekali.
Menurut beberapa ulama, di antaranya Abdul Wahhab Khallaf (guru besar hukum Islam Universitas Cairo), ayat-ayat yang mengandung ketentuan-ketentuan hukum mengenai iman, ibadah, dan hidup bermasyarakat ada sekitar 500 ayat atau kurang lebih delapan persen dari isi Al-Qur’an. Ayat-ayat mengenai ibadah berjumlah sekitar 140.
Ayat-ayat mengenai hidup bermasyarakat berjumlah 228 yang terdiri dari: (1) 70 ayat tentang hidup kekeluargaan, perkawinan, perceraian, hak waris, dan sebagainya; (2) 70 ayat tentang perdagangan, jual beli, sewa-menyewa, pinjam-meminjam, gadai, perseroan, kontrak, dan sebagainya; (3) 30 ayat tentang masalah pidana; (4) 25 ayat yang menyangkut hubungan orang Islam dengan non-Islam; (5) 13 ayat mengenai masalah pengadilan; (6) 10 ayat mengulas hubungan orang kaya dengan orang miskin; dan (7) 10 ayat tentang masalah kenegaraan.
Ilmu-Ilmu Al-Qur’an.
Menurut Imam as-Suyuti, yang di-maksud dengan ilmu Al-Qur’an adalah ilmu yang membahas keadaan Al-Qur’an dari segi nuzul (turunnya), sanad, lafal, makna yang berkaitan dengan lafal, makna yang berkenaan dengan hukum, dan sebagainya.
Adapun menurut Syekh al-Magrabi (ahli tafsir), ilmu Al-Qur’an adalah ilmu yang menjelaskan seluk-beluk Al-Qur’an, yang meliputi tafsir, takwil, sebab turun ayat, nasikh dan mansukh (ayat-ayat yang menghapuskan dan yang dihapuskan), persesuaian ayat dengan ayat sebelumnya atau sesudahnya, uslub (gaya bahasa)-nya, macam-macam qiraah (bacaan), dan hal-hal yang berkaitan dengan itu.
Di dalam kitab al-Itqan fi ‘Ulum Al-Qur’an karangan Imam as-Suyuti disebutkan ada delapan puluh macam ilmu Al-Qur’an, tetapi yang terpenting di antaranya:
(1) Ilmu Mawathin an-Nuzul, yaitu ilmu yang membahas tempat-tempat turunnya ayat. Misalnya, ayat-ayat yang diturunkan di kala Nabi SAW tidak bepergian (hadhar), yang disebut hadhariyyah; ayat-ayat yang diturunkan tatkala Nabi SAW sedang bepergian, yang disebut safariyyah; dan ayat-ayat yang diturunkan tatkala Nabi SAW sedang berada di pembaringan, yang dinamakan firasiyyah.
(2) Ilmu Auqat an-Nuzul, yaitu ilmu yang membicarakan waktu turunnya ayat. Misalnya, ayat yang diturunkan di siang hari disebut nahariyyah, ayat yang diturunkan pada malam hari disebut lailiyyah, ayat yang diturunkan di musim panas disebut saifiyyah, dan ayat yang diturunkan di musim dingin disebut syita’iyyah.
(3) Ilmu Tawarikh an-Nuzul, yaitu ilmu yang menerangkan sejarah turunnya ayat (kapan mulai diturunkan, kapan berakhir, ayat-ayat yang pertama dan terakhir diturunkan serta tertib turunnya).
(4) Ilmu Asbab an-Nuzul, yaitu ilmu yang mengungkapkan sebab-sebab turunnya ayat dan hal-hal yang berkenaan dengan itu. Di antara sejumlah buku, yang terkenal dalam ilmu ini adalah Lubab an-Nuzul yang ditulis oleh as-Suyuti dan Asbab an-Nuzul oleh Ibnu Ahmad al-Wahidi.
(5) Ilmu Qiraah, yaitu ilmu yang membahas berbagai bacaan (qiraah) yang telah diterima dari Nabi SAW dan menjelaskan sanad serta riwayat penerimaannya dari Nabi SAW. Dalam hal ini diungkapkan qiraah yang sahih dan yang tidak sahih. Buku yang membicarakan masalah ilmu qiraah antara lain an-Nasyr fi al-Qira’at al-‘Asyr karangan Ibnu al-Jazari.
(6) Ilmu Tajwid, yaitu ilmu yang menerangkan tata cara membaca Al-Qur’an yang benar dan hal-hal yang berhubungan dengannya, seperti tempat-tempat ibtida (permulaan) dan tempat-tempat wakaf (berhenti).
(7) Ilmu Garib Al-Qur’an, yaitu ilmu yang menjelaskan makna kata yang ganjil, yang tidak umum digunakan dalam pergaulan sehari-hari, dan makna kata yang halus yang bernilai sastra tinggi. Buku yang membahas masalah ini antara lain al-Itqan fi ‘Ulum Al-Qur’an, Lugat al-Qaba’il, dan al-Mufradat.
(8) Ilmu Bada‘i Al-Qur’an, yaitu ilmu yang menjelaskan keindahan susunan bahasa Al-Qur’an dan ketinggian balaghahnya. Buku yang membahas masalah ini antara lain Khasa’is at-Ta‘bir Al-Qur’ani (Keistimewaan Ungkapan Al-Qur’an dan Ketinggian Balaghahnya) oleh Abdul Azim Ibrahim Muhammad al-Mat’ani (pakar bahasa Arab Mesir).
(9) Ilmu I‘jaz Al-Qur’an yaitu ilmu yang menguraikan segi-segi kemukjizatan Al-Qur’an. Di antara buku yang membahas persoalan ini ialah I‘jaz Al-Qur’an oleh al-Baqillani dan Al-Qur’an wa I‘jazuhu al-‘Ilmi oleh Muhammad Isma‘il Ibrahim.
(10) Ilmu I‘rab Al-Qur’an, yaitu ilmu yang menguraikan fungsi dan posisi kata dalam susunan kalimat Al-Qur’an. Buku yang membahas masalah ini antara lain Imla’ ar-Rahman oleh Abdul Baqa al-Uqbari.
(11) Ilmu al-Wujuh wa an-Naza’ir, yaitu ilmu yang menguraikan berbagai makna dari lafal Al-Qur’an sesuai dengan konteksnya. Buku yang membahas masalah ini antara lain Musytarak al-Aqran oleh as-Suyuti.
(12) Ilmu an-Nasikh dan al-Mansukh, yaitu ilmu yang menerangkan jenis-jenis ayat yang dipandang nasikh dan mansukh serta hal-hal yang berhubungan erat dengan masalah itu. Ilmu ini dapat didalami melalui buku-buku an-Nasikh wa al-Mansukh oleh Abu Ja‘far an-Nahhas dan al-Itqan fi ‘Ulum Al-Qur’an oleh as-Suyuti.
(13) Ilmu Ma‘rifah al-Muhkam wa al-Mutasyabih, yaitu ilmu yang menerangkan ayat-ayat yang muhkam (yang sudah pasti ketentuan hukumnya) dan mutasyabih (yang belum
pasti ketentuan hukumnya). Buku terkenal yang membahas masalah ini adalah al-Manzumah as-Sakhawiyyah oleh Imam as-Sakhawi.
(14) Ilmu Tanasub Ayat Al-Qur’an, yaitu ilmu yang menjelaskan hubungan antara satu ayat dan ayat lainnya atau antara satu surah dan surah lainnya. Buku yang khusus mengulas masalah ini antara lain Nizam ad-Durar oleh Ibrahim al-Biqa‘i.
(15) Ilmu Jidal Al-Qur’an, yaitu ilmu yang membahas berbagai tantangan yang telah dihadapkan Al-Qur’an kepada kaum musyrikin dan cara-cara yang digunakan Al-Qur’an untuk mematahkan argumen orang yang mengingkari kebenaran yang ada dalam Al-Qur’an sebagai wahyu Allah SWT.
(16) Ilmu Amtsal Al-Qur’an, yaitu ilmu yang mengungkapkan berbagai bentuk perumpamaan dalam Al-Qur’an dan maksud serta gaya perumpamaannya. Ilmu ini dapat dipelajari secara mendalam melalui buku Amtsal Al-Qur’an yang disusun Imam al-Mawardi.
(17) Ilmu Aqsam Al-Qur’an, yaitu ilmu yang menjelaskan sumpah-sumpah Allah SWT dalam Al-Qur’an dan berbagai makna yang terkandung dalam sumpah-sumpah itu. Pembahasan yang mendalam tentang hal ini terdapat pada buku at-Tibyan oleh Ibnu Qayyim al-Jauziyah.
(18) Ilmu Adab Tilawah Al-Qur’an, yaitu ilmu yang khusus membicarakan tata krama dalam membaca Al-Qur’an dan hal-hal yang berkenaan dengan itu. Buku yang membahas ilmu Adab Tilawah Al-Qur’an ini antara lain at-Tibyan oleh an-Nawawi.
Keutamaan Membaca Al-Qur’an. Membaca Al-Qur’an di dalam ajaran Islam dinilai sebagai ibadah. Orang yang membacanya dijanjikan pahala di sisi Allah SWT. Banyak hadis Nabi SAW yang menerangkan keutamaan membaca Al-Qur’an, antara lain hadis yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim,
“Ada dua golongan manusia yang sungguh-sungguh orang dengki kepadanya, yaitu orang yang diberi oleh Allah Al-Qur’an lalu dibacanya siang malam dan orang yang dianugerahi Allah kekayaan harta lalu kekayaannya itu digunakannya untuk sesuatu yang diridai Allah.”
Hadis lain yang juga diriwayatkan Bukhari dan Muslim menjelaskan bahwa Rasulullah SAW mengibaratkan keutamaan dan ketinggian derajat orang yang membaca Al-Qur’an laksana bunga urrujjah, baunya harum dan rasanya amat lezat.
Di dalam hadis lain yang diriwayatkan al-Baihaqi dari Anas bin Malik RA dinyatakan bahwa Rasulullah SAW memerintahkan untuk memberi nur (cahaya) rumahtangga dengan salat dan membaca Al-Qur’an.
Hadis yang diriwayatkan Daruqutni dari Anas RA menerangkan bahwa Rasulullah SAW memerintahkan kaum muslimin agar memperbanyak membaca Al-Qur’an di dalam rumah, karena di rumah yang penghuninya tidak pernah membaca Al-Qur’an akan dijumpai banyak kejahatan di dalamnya dan penghuninya akan selalu merasa cemas dan susah.
Adapun pahala orang yang membaca Al-Qur’an itu berbeda-beda. Menurut Ali bin Abi Thalib, pahala orang yang membaca Al-Qur’an di dalam salat adalah 50 kebajikan untuk tiap-tiap huruf yang diucapkannya.
Pahala orang yang membaca Al-Qur’an di luar salat, tetapi dalam keadaan berwudu, adalah 25 kebajikan untuk setiap huruf yang dibacanya, dan 10 kebajikan untuk setiap huruf yang dibacanya bagi orang yang membaca Al-Qur’an di luar salat tanpa wudu.
Pahala tidak hanya diberikan kepada orang yang membaca Al-Qur’an. Bagi orang yang mendengar pun disediakan pahala oleh Allah SWT, bahkan sebagian ulama berpendapat bahwa pahala yang diterima orang yang membaca Al-Qur’an sama dengan pahala orang yang mendengarkannya.
Mengenai perintah mendengarkan bacaan Al-Qur’an disebutkan dalam surah al-A‘raf (7) ayat 204, “Dan apabila dibacakan Al-Qur’an, maka dengarkanlah baik-baik dan perhatikanlah dengan tenang, agar kamu mendapat rahmat.”
Sikap seseorang ketika mendengarkan bacaan Al-Qur’an dapat menunjukkan kualitas keimanan orang tersebut, sebagaimana digambarkan dalam surah al-Anfal (8) ayat 2, “Dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, ber-tambahlah iman mereka (karenanya) dan kepada Tuhanlah mereka bertawakal.”
Selain hadis yang menerangkan keutamaan membaca dan mendengarkan bacaan Al-Qur’an, juga banyak hadis yang menjelaskan pentingnya belajar dan mengajarkan Al-Qur’an. Belajar dan mengajarkan Al-Qur’an dipandang sebagai suatu kewajiban dalam Islam. Hal ini tergambar dalam hadis Nabi SAW yang diriwayatkan Ibnu Abbas yang menyatakan bahwa Rasulullah SAW bersabda,
“Barangsiapa yang mempelajari Al-Qur’an dan mengamalkan isinya, Allah akan memeliharanya dari kesesatan dan akan dijauhkan pada hari kiamat dari siksa yang berat.”
Yang dimaksud dengan belajar Al-Qur’an ialah belajar membaca sampai lancar dengan ucapan yang fasih sesuai dengan kaidah-kaidah qiraah (bacaan) dan tajwid, belajar memahami makna yang terkandung di dalam Al-Qur’an, dan belajar menghafalkan Al-Qur’an di luar kepala.
Mengajarkan Al-Qur’an kepada anak-anak juga merupakan suatu kewajiban. Rasulullah SAW pernah menyatakan bahwa tidak ada suatu keuntungan bagi seseorang yang telah menjadikan anaknya pandai membaca Al-Qur’an, kecuali pada hari kiamat nanti akan diberikan kepadanya suatu mahkota dari dalam surga (HR. Ibnu Majah).
Kebolehan Menyentuh Mushaf Al-Qur’an. Ulama sepakat bahwa kebolehan menyentuh mushaf Al-Qur’an hanya ditujukan kepada orang/hamba yang disucikan saja, sedangkan hamba-hamba yang tidak disucikan tidak diperbolehkan. Hal ini didasarkan atas keterangan Al-Qur’an surah al-Waqi‘ah (56) ayat 77–80,
“Sesungguhnya Al-Qur’an ini adalah bacaan yang sangat mulia, pada kitab yang terpelihara (Lauh Mahfuz), tidak menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan. Diturunkan dari Tuhan Semesta Alam.”
Kata al-muthahharun dalam ayat 79 di atas mengandung beberapa pengertian. Dalam hal ini, tidak ada penegasan dari Al-Qur’an tentang apa yang dimaksud dengan kata itu. Dari sini timbul perbedaan penafsiran dan pemahaman ulama, baik kalangan ulama tafsir maupun ulama fikih.
Syekh Abu Ali al-Fadl bin Hasan at-Tabarsi, seorang ulama tafsir abad ke-6 H, dalam kitabnya Majma‘ al-Bayan fi Tafsir Al-Qur’an menafsirkan bahwa kata al-muthahharun itu mengandung tiga makna, yaitu para malaikat, orang/hamba yang suci dari Syirik, dan orang yang suci dari hadas dan junub.
Muhammad Ali as-Sabuni, guru besar tafsir di Universitas King Abdul Aziz (Mekah), menyatakan dalam kitabnya dafwat at-Tafasir bahwa kata al-muthahharun berarti para malaikat yang dinyatakan oleh Allah SWT sebagai hamba yang suci dari syirik, dosa, dan hadas atau orang/hamba yang berwudu.
Hadis Rasulullah SAW juga tidak menegaskan dan tidak menjelaskan apa yang dimaksud dengan kata al-muthah harun itu. Dalam hadis hanya ditemukan kata Thahirun, seperti yang disebutkan dalam hadis berikut, “Nabi SAW menulis, tidak menyentuh Al-Qur’an kecuali orang yang suci” (HR. ad-Darimi dan Imam Malik dari Amr bin Hazm).
Penggunaan kata Thahirun yang bersifat umum dalam hadis juga mengundang perbedaan pendapat di kalangan ulama fikih. Jumhur ulama fikih, termasuk Imam Malik, Imam Hanafi, dan Imam Syafi‘i, berpendapat bahwa yang dimaksud dengan Thahirun dalam hadis itu adalah orang yang berwudu.
Karena itu, mereka berpendirian bahwa yang diperbolehkan menyentuh mushaf Al-Qur’an hanyalah orang yang berwudu. Menurut mereka, wudu merupakan syarat untuk memegang mushaf. Adapun ulama yang lain, seperti ulama Mazhab Zahiri, menolak pendirian ulama di atas dan mengatakan bahwa wudu tidak merupakan syarat untuk menyentuh mushaf Al-Qur’an; orang yang tidak berwudu boleh menyentuh mushaf.
Daftar Pustaka
al-Abyari, Ibrahim. Tarikh Al-Qur’an. t.tp.: Dar al-Qalam, 1965.
Amal, Taufik Adnan & Samsu Rizal Panggabean. Tafsir Kontekstual Al-Qur’an: Sebuah Kerangka Konseptual. Bandung: Mizan, 1989.
Atjeh, Abu Bakar. Sejarah Al-Qur’an. Solo: Ramadhani, 1986.
Ayyub, Mahmud. Qur’an dan Para Penafsirnya, terj. Nick G. Dharma Putra. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1991.
Badawa, Ahmad Ahmad. Min Balagah Al-Qur’an. Cairo: Dar Nahdah Misr, t.t.
Ibrahim, Muhammad Isma’il. Al-Qur’an wa I‘jazuhu al-‘Ilmi. Cairo: Dar al-Fikr, t.t.
Kamal, Ahmad Adil. ‘Ulum Al-Qur’an. Cairo: al-Mukhtar al-Islami, 1974.
Mustofa, H.A. Sejarah Al-Qur’an. Surabaya: al-Ikhlas, 1994.
as-Sabuni, Muhammad ‘Ali. at-Tibyan fi ‘Ulum Al-Qur’an. Mekah: t.p., 1980.
as-Salih, Subhi. Mahahits fi ‘Ulum Al-Qur’an. Beirut: Dar al-’Ilmli al-Malayiyyin, 1977.
ash-Shiddieqy, T.M. Hasbi. Ilmu-Ilmu Al-Qur’an. Jakarta: Bulan Bintang, 1972.
as-Suyuti, Jalaluddin. al-Itqan fi ‘Ulum Al-Qur’an. Beirut: Dar al-Fikr, 1979.
Thabathaba’i, M.H. Mengungkap Rahasia Al-Qur’an, terj. Bandung: Mizan, 1987.
A Thib Raya