Babiyah

Aliran keagamaan yang muncul di Iran pada 1844, yang menjadi cikal bakal agama Bahai, disebut Babiyah. Aliran ini didirikan Sayid Ali Muhammad. Babiyah disebut juga Bahaiyah atau Babisme. Babiyyah berasal dari kata bab yang berarti “pintu”. Dalam teologi Syiah, kata itu berarti “perantara”, yaitu antara umat dan Imam Mahdi yang diyakini gaib.

Menurut Syiah Dua Belas (sekte terbesar Syiah), Imam Muhammad al-Muntazar bin Hasan al-Askari, imam terakhir yang lebih dikenal dengan sebutan Imam Mahdi, masih hidup dan akan muncul pada akhir zaman. Gaibnya Imam Mahdi ini menimbulkan masalah, siapakah penggantinya yang akan bertindak sebagai bab.

Dalam kaitan ini, para pengikut Syiah menganggap perlu adanya na’ib al-imam (wakil imam) yang akan memimpin dan membimbing spiritualitas umat Syiah. Dalam ketiadaan tersebut, muncul Sayid Ali Muhammad yang menyatakan diri sebagai bab.

Sayid Ali Muhammad lahir di Syiraz, Iran, pada 1821. Riwayat hidupnya tidak banyak diketahui. Begitu pula dengan latar belakang pendidikannya. Diketahui bahwa ia adalah alumni dari sekolah filsafat Syiah “Syeikhis”.

Menurut Evan Abrahamian (penulis sejarah) dalam bukunya “Iran Between Two Revolutions” (Iran di antara Dua Revolusi), ada dua faktor yang melatarbelakangi kemunculan Sayid Ali Muhammad sebagai bab. Pertama, kondisi masyarakat yang sudah lama menantikan kehadiran seorang imam. Dalam keyakinan Syiah, setelah kegaiban imam melewati masa seribu tahun, komunikasi dengan imam yang gaib harus dilakukan melalui bab.

Bagi kalangan ini bab menjadi penting karena semakin lama kegaiban imam, semakin sulit komunikasi dilakukan. Kedua, obsesi pribadi Sayid Ali Muhammad yang ingin memanfaatkan kondisi masyarakat tersebut.

Pernyataan Sayid Ali Muhammad sebagai bab tidak asing lagi di kalangan Syiah. Istilah ini pertama kali dikenakan pada Salman al-Farisi (w. 665), seorang Persia yang masuk Islam dan menjadi sahabat Rasulullah SAW. Salman digelari bab karena ia dianggap sebagai pembuka jalan bagi masuknya Islam ke Iran. Bab juga dikenal sebagai gelar bagi para pemimpin di kalangan sebagian aliran sufi dan aliran Batiniah.

Setelah memproklamasikan dirinya sebagai bab (23 Mei 1844), Sayid Ali Muhammad melakukan berbagai perjalanan di Iran untuk mengembalikan keadilan dan kemakmuran di bumi. Dalam pidato-pidatonya, ia mengkritik ulama dan pemerintah saat itu sebagai pemimpin yang korup dan tidak mampu menyelesaikan persoalan umat.

Pengaruh pidatonya ini menimbulkan rasa solidaritas dan mengkristal dalam satu ideologi di sebagian umat Syiah, dan kemudian menjelma menjadi suatu aliran. Tujuan yang ingin dicapai aliran ini adalah mewujudkan hak dan kebebasan bagi setiap orang untuk berusaha dan memiliki hasil usahanya, menghapuskan praktek-praktek maksiat, dan memberantas korupsi yang telah merajalela di kalangan penguasa.

Sayid Ali Muhammad kadang-kadang mengaku dirinya sebagai nabi yang turun ke dunia untuk menegakkan keadilan. Ia juga mengumumkan turunnya kitab suci baru yang bernama “al-Bayan” (Penjelasan). Kitab ini berfungsi menetapkan hukum baru sebagai pengganti hukum yang ada dalam Al-Qur’an.

Salah satu ajaran Sayid Ali Muhammad dalam al-Bayan adalah masalah keadilan sosial. Ajarannya itu berisi kecaman terhadap kaum borjuis yang senantiasa menekankan produktivitas kerja untuk memenangkan persaingan pasar dengan mengabaikan persoalan kemanusiaan. Dalam kitab itu dikatakannya bahwa jika ekonomi dunia modern tidak menjamin kebebasan seseorang terhadap hak milik atau kebebasan dagang, pajak harus diambilkan dari harta orang-orang kaya.

Ajaran lain dari aliran ini adalah paham evolusi progresif dalam perkembangan masyarakat. Paham ini menunjukkan bahwa mereka mempunyai suatu keteguhan prinsip dalam menjalankan dan memperjuangkan cita-cita. Meskipun secara perlahan, mereka tetap bergerak dan berjuang.

Dalam aliran ini ada ajaran tentang keyakinan akan adanya nabi dan rasul sesudah Nabi Muhammad SAW yang membawa wahyu untuk membimbing umat ke jalan yang benar, dan keyakinan bahwa pengutusan para bab berbeda dengan pengutusan para nabi. Dalam keyakinan mereka, al-Bayan bukan hanya berfungsi sebagai penjelas terhadap Al-Qur’an, tetapi juga menggantikannya dalam masalah esensial. Nabi-nabi terdahulu dihormati dan hukum mereka diperlukan untuk kepentingan kenabian mereka, tetapi hukum yang tidak relevan harus diganti.

Ajaran yang dibawa Babiyah bukan saja mengejutkan kaum Suni, tetapi juga kalangan Syiah sendiri. Bagi kalangan Syiah aliran ini bahkan dilihat sebagai ancaman terhadap Islam dari dalam. Kemudian ulama Suni dan Syiah bersama-sama dengan penguasa mengeluarkan maklumat bahwa ajaran Babiyah merupakan penyelewengan dari ajaran agama dan penganutnya dianggap kafir.

Karena ajarannya yang menyesatkan, Sayid Ali Muhammad dihukum mati oleh pemerintah Iran pada 9 Juli 1850 di Tabriz. Babiyah kemudian dipimpin salah muridnya, Bahaullah (1817–1892), yang mempunyai pengaruh luas di kalangan masyarakat. Bahaullah berhasil mempertahankan dan melestarikan ajaran Babiyah. Bahkan ajaran tersebut berhasil ia kembangkan dengan lebih semarak dan luas di kalangan masyarakat, sehingga tampak kesan bahwa dialah pembawa ajaran tersebut.

Aliran ini kemudian dihubungkan pada namanya dengan nama Bahaiyah. Bahaullah menyatakan bahwa suatu saat akan muncul nabi baru yang menggantikan nabi-nabi yang telah ada. Dalam keyakinannya, nabi itu merupakan penjelmaan dari Tuhan dan akan membawa kitab suci baru sebagai pengganti kitab suci yang sudah ada.

Pada 1863 Bahaullah menyatakan diri sebagai nabi baru dan memproklamasikan agama baru yang disebut Bahai. Ajaran agama Bahai sangat radikal sehingga menimbulkan persoalan politik keagamaan di Iran. Oleh sebab itu, pada akhir abad ke-19 para ulama dari berbagai kawasan Iran, seperti Esfahan, Teheran, Khurasan, dan Fars, sepakat menentang aliran ini. Gerakan ulama ini kemudian didukung pemerintah Iran.

Bahaiyah lebih bersifat terbuka dan radikal dalam mencapai tujuannya. Pada 1851 aliran ini melakukan pemberontakan terhadap pemerintah Iran, namun dapat dipadamkan. Sejak saat itu tekanan pemerintah terhadap aliran ini semakin keras. Akan tetapi, tindakan keras ini tidak mampu memadamkan semangat pengikut Bahaiyah. Mereka bahkan semakin radikal. Kebencian mereka terhadap pemerintah melebihi kebencian mereka kepada ulama Syiah.

Tekanan dan siksaan yang terus-menerus dilakukan pemerintah Iran terhadap aliran ini membuat para pengikutnya lari menyembunyikan diri dan menyebar di seluruh kawasan Iran. Sekalipun aliran mereka secara organisasi tidak menonjol, pengikutnya saat ini semakin banyak. Keterasingan di bidang politik mendorong para pengikutnya lebih banyak menekuni ilmu pengetahuan modern, sehingga pendekatan yang mereka lakukan dalam mencapai tujuan lebih realistis.

DAFTAR PUSTAKA

Abrahamian, Evan. Iran Between Two Revolutions. New York: Princeton University, 1982.
Every, Peter, et.al. The Cambridge History of Iran. New York: Cambridge University Press, 1991.
Hasting, James, ed. Encyclopaedia of Religion and Ethics. Edinburgh: T & T Clark George Street, t.t.
Keddie, Nikki, R. Root of Revolutions. New Heaven: Yale University Press, 1981.
Momen, Moojan. An Introduction to Syi’i Islam. London: Yale University Press, 1985.
Subhi, Ahmad Mahmud. Naariyyah al-Imamah. Cairo: Dar al-Ma‘arif, t.t.

Nasrun Haroen