Ja‘far as-Sadiq, imam Syiah ke-6, terkenal sebagai ahli tafsir, hadis, fikih, kalam, filsafat, dan fisika. Nama lengkapnya Muhammad Abu Ja‘far bin Muhammad bin Ali Zainal Abidin bin Husein bin Ali bin Abi Thalib. Ayahnya, Muhammad al-Baqir, adalah keturunan Ali dan Fatimah. Ibunya, Ummu Farwah binti Qasim bin Muhammad, adalah putri Abu Bakar as-Siddiq.
Ja‘far as-Sadiq dibesarkan dalam keluarga yang saleh dan berpendidikan. Ayahnya adalah ulama besar dan imam ke-5 yang dipercayai oleh pengikut Syiah Imamiyah. Ibunya seorang wanita mulia, berilmu, bijaksana, dan takwa. Selama 15 tahun Ja‘far dididik langsung oleh kakeknya, Imam Zainal Abidin (w. 94 H/713 M). Setelah kakeknya wafat, ia dididik dan diajar oleh ayahnya.
Ja‘far as-Sadiq mengalami masa pemerintahan Bani *Umayah dan *Abbasiyah. Dari Bani Umayah ada pemerintahan delapan khalifah yang dialaminya secara langsung, yaitu *Abdul Malik bin Marwan, al-Walid bin Abdul Malik, Sulaiman bin Abdul Malik, *Umar bin Abdul Aziz, Yazid bin Abdul Malik, Hisyam bin Abdul Malik, al-Walid bin Yazid, dan Yazid bin Abdul Malik.
Ia juga mengalami masa kehancuran Dinasti Umayah. Pada zaman Daulah Abbasiyah, ulama besar ini mengalami masa pemerintahan *Abu Abbas as-Saffah dan al-*Mansur.
Kehidupan politik yang senantiasa menghambat aktivitas politik kaum Syiah membuat Ja‘far as-Sadiq tenggelam dalam dunia ilmu. Setelah ayahnya wafat 113 H/732 M, ia melanjutkan kegiatan belajar-mengajar di perguruan ayahnya di Masjid *Nabawi. Rumahnya juga digunakan sebagai tempat mengajar.
Di dunia Islam, perguruan Ja‘far as-Sadiq merupakan lembaga pertama yang mengajarkan ilmu filsafat. Kepiawaian dan kealimannya terbukti dengn banyaknya ulama yang pernah berguru kepadanya, antara lain Yahya bin Sa‘id al-Ansari, Ibnu Jarih, *Malik bin Anas, Sufyan as-*Sauri, Ibnu Uyainah, Abu Hanifah (Imam *Hanafi), Syu’bah, dan Ayyub as-Sijistani. Fisikawan muslim terkenal, Abu Musa Jabir bin Hayyan, juga pernah berguru padanya. Para murid dan ulama yang belajar kepada as-Sadiq tidak hanya terbatas pada golongan Syiah.
Dalam transformasi ilmu, ada beberapa hal yang amat ditekankannya kepada muridnya, seperti “belajarlah kejujuran terlebih dahulu sebelum belajar hadis”; “hidup harus diisi, setidak-tidaknya dengan belajar atau mengajar”; “hendaklah berlaku rendah hati kepada orang yang belajar atau mengajarkan ilmu”; dan “janganlah menjadi orang sombong, janganlah menuntut ilmu untuk tujuan memamerkan dan membanggakan diri atau untuk berdebat, janganlah menuntut ilmu karena tiga sebab, yaitu merasa tidak membutuhkan ilmu, supaya tetap tidak mengerti, atau malu kepada orang lain.”
Bagi pengikut Ali (Alawiyin) ada suatu kepercayaan bahwa *imam haruslah keturunan Ali dan Fatimah. Menurut kaum Syiah, imam sebenarnya berfungsi menjalankan kegiatan administrasi pemerintahan serta politik dan sekaligus menjalankan fungsi religi.
Oleh karena itu, para imam sejak masa Ali sampai periode keimaman beberapa masa sesudahnya senantiasa menuntut kekuasaan politik. Inilah yang menyebabkan para penguasa baik pada zaman Bani Umayah maupun zaman Bani Abbasiyah, senantiasa mencurigai kelompok Syiah.
Pemunculan Ja‘far as-Sadiq dengan interpretasi baru tentang konsep imamah menimbulkan suatu perkembangan baru pada kaum Syiah. Ja‘far as-Sadiq mengatakan bahwa imam terpisah dari *khilafah (kekhalifahan). Menurutnya, imam mendapatkan otoritas eksklusifnya bukan dari klaim politik, tetapi dari *nas yang ditunjuk secara eksplisit oleh imam sebelumnya.
Imam itu memperoleh “ilmu khusus” atau ilmu ilhami yang diturunkan dalam keluarga dari generasi ke generasi berikutnya. Wilayah imam adalah bidang religius dan tuntutan spiritual masyarakat. Imam sejati tidak perlu memadukan kekuasaan duniawi dalam dirinya dan menuntut otoritas politik jika keadaan tidak memungkinkan. Konsep imamah Ja‘far as-Sadiq tersebut telah menyelamatkan dan membersihkan pengikutnya dari kecenderungan yang ekstrem.
Di samping itu, Ja‘far as-Sadiq telah meletakkan dua landasan penting bagi keimaman:
(1) nas, yaitu kepercayaan yang menyatakan bahwa imamah adalah hak prerogatif Allah SWT yang dilimpahkan kepada orang pilihan-Nya dari keluarga Rasulullah SAW dan anak keturunannya melalui pengangkatan eksplisit; dan
(2) ilmu, yaitu seorang imam harus memiliki pengetahuan agama yang diterimanya secara ilahi dan hanya dapat dipindahkan kepada imam berikutnya sebelum kematiannya. Ilmu khusus yang dimiliki imam itu meliputi ilmu lahir dan batin.
Ja‘far as-Sadiq juga mengatakan bahwa imam itu diturunkan kepada anak laki-laki, tetapi tidak mesti anak sulung. Seorang imam harus menunjuk putranya yang benar-benar layak untuk menggantikannya. Dalam kenyataannya, ada dua macam imam, yakni imam yang aktual atau imam natiq dan imam yang hanya “diam” dan tidak mengetahui kedudukannya yang tinggi itu sampai ayahnya meninggal.
Menurut Ja‘far as-Sadiq, imam adalah *hujah Allah SWT di bumi. Imamah merupakan perjanjian antara Allah SWT dan manusia. Imam adalah pilar keesaan Allah SWT. Imam bersih dari kesalahan dan kesesatan. Perkataan imam adalah perkataan Allah SWT, perintahnya adalah perintah Allah SWT, dan pembangkangan kepadanya berarti pembangkangan kepada Allah SWT.
Ja‘far as-Sadiq berpendapat bahwa Ali bin Abi Thalib adalah orang pertama yang memiliki kepemimpinan spiritual umat sebagai wakil Rasulullah SAW yang dipilih Allah SWT. Setelah itu, kepemimpinan dilanjutkan oleh *Hasan bin Ali, *Husein bin Ali, Zainal Abidin bin Husein, dan Muhammad al-Baqir bin Zainal Abidin.
Pada masa hidupnya, Ja‘far as-Sadiq telah memperkuat konsep *taqiyyah (menyembunyikan kepercayaan dari orang yang tidak sealiran) yang telah diperkenalkan ayahnya. Kemunculan konsep ini tidak terlepas dari keadaan sosial dan politik yang berlaku pada masa itu sebagai suatu keharusan dan keterpaksaan yang dilakukannya untuk melindungi diri dalam situasi yang rumit.
Para pengikut Syiah berpendapat yang juga dibenarkan beberapa penulis *Suni bahwa Ja‘far as-Sadiq meninggal karena racun yang (diduga) dimasukkan ke dalam makanannya atas perintah Khalifah al-Mansur. Adapun motif pembunuhan itu adalah kekhawatiran penguasa akan pengaruh as-Sadiq yang besar. Sebelumnya usaha pembunuhan terhadap dirinya telah terjadi berulang kali.
Ja‘far as-Sadiq dimakamkan di pekuburan Baqi’. Makam nya berdekatan dengan kuburan ayah dan kakeknya serta Hasan bin Ali.
Menurut sebagian pengikut Ja‘far as-Sadiq (Ja‘fariyah), orang yang menggantikan posisinya sebagai imam ialah Isma‘il, anak tertuanya yang wafat ketika ia masih hidup. Sebagian lainnya berpendapat bahwa yang akan menggantikannya adalah Musa al-Kazim. Pengikut Isma‘il dikenal dengan nama Ismailiyah atau Syiah Tujuh Imam, dan pengikut Musa al-Kazim nantinya menjadi Syiah Dua Belas.
Daftar Pustaka
al-Husaini, M.H. al-Hamid. Sejarah Hidup Imam Ja‘far ash-Shadiq. Semarang: Thaha Putra, t.t.
Jafri, S. Huseini M. Awal dan Sejarah Perkembangan Islam Syi’ah, terj. Meth Kieraha. Jakarta:Pustaka Hidayah, 1989.
Nasution, Harun. Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya. Jakarta: UI Press, 1985.
asy-Syahristani, Abu al-Fath Muhammad Abdul Karim. al-Milal wa an-Ni…al. Beirut: Dar al-Fikr, t.t.
Zahrah, Muhammad Abu. TÎrÓkh al-Ma‰Îhib al-IslÎmiyyah. Cairo: Dar al-Fikr al-‘Arabi, t.t.
Helmi Karim