Iskandar Zulkarnain adalah raja Kerajaan Macedonia yang mampu melebarkan sayap kekuasaannya ke Timur hingga mencapai India, dan berhasil mengawinkan dua kebudayaan (Yunani dan Timur) yang melahirkan peradaban baru, kemudian dikenal dengan Hellenisme.
Di Barat ia dikenal dengan nama Alexander the Great (Alexander Agung). Ayahnya adalah raja Macedonia yang bernama Philip, putra Amyntas II. Pada 349 SM ketika Iskandar Zulkarnain berusia 13 tahun, Philip mengundang Aristoteles (filsuf Yunani terkenal; 384–322 SM) ke istana untuk menjadi guru yang bertanggung jawab atas pendidikan anaknya itu.
Setelah kurang lebih 2 tahun mendapat pendidikan dari Aristoteles, pada 340 SM Zulkarnain diangkat menjadi putra mahkota, dan 4 tahun kemudian (336 SM) diangkat menjadi raja Macedonia dalam usia 19 tahun.
Semangat ekspansi Zulkarnain telah menghasilkan wilayah kekuasaan yang sangat luas. Kekuasaannya meliputi seluruh wilayah Yunani dan pelbagai wilayah di sekitarnya, meliputi wilayah beberapa kerajaan taklukannya di Timur Tengah, yang terjauh di antaranya adalah India.
Pada 331 SM Zulkarnain mengalahkan Darius III (raja Persia) di Arbela, sebelah timur Sungai Tigris, Persia. Sekalipun berhasil menaklukkan Persia, Zulkarnain tidak menghancurkan peradaban dan kebudayaan Persia. Ia justru berusaha menjalankan politik akulturasi demi menyatukan kebudayaan Yunani dan Persia.
Sebagai bagian dari langkah politik akulturasi itu, Zulkarnain mengenakan busana khas Persia selama berada di sana. Ia pun mengawini Statira, putri raja Darius III. Kemudian, atas perintah Zulkarnain, para jenderal dan sekitar 10.000 prajuritnya juga mengawini wanita Persia di Sussa.
Pada masa itu banyak juga putra Persia yang diangkat menjadi pengiring dan pengawalnya. Di samping itu, Zulkarnain dan para pengikutnya juga mendirikan kota dan koloni yang penduduknya diatur sedemikian rupa sehingga terdiri dari dua golongan: Yunani dan Persia.
Sejarah kebesaran Zulkarnain ini rupanya sudah banyak diketahui orang Yahudi, termasuk yang menetap di Yatsrib (Madinah). Sementara itu, kisah ini tidak banyak dan mungkin sama sekali tidak diketahui orang Arab, karena sebelumnya bangsa Arab cukup terasing dari pergaulan internasional.
Karena itu, ketika orang kafir Quraisy mengutus sebuah delegasi kepada orang Yahudi Madinah untuk meminta petunjuk apa yang harus mereka tanyakan kepada Muhammad untuk menguji kebenaran kenabiannya, orang Yahudi Madinah berkata,
“Coba tanyakan kepada Muhammad tentang seorang lelaki yang pernah mengelilingi dan menguasai dunia bagian barat dan bagian timur, dan tentang sekelompok pemuda yang tidak diketahui apa yang mereka perbuat, dan tentang hakikat roh.”
Untuk menjawab persoalan yang ditanyakan kepada Nabi SAW itu, turunlah wahyu Al-Qur’an surah al-Kahfi (18) yang menceritakan tentang (1) sekelompok pemuda yang dikenal dengan julukan Ashabul Kahfi, (2) ekspansi politik Zulkarnain (Zu al-Qarnain: secara harfiah berarti ‘pemilik dua tanduk’), dan (3) tentang roh. Kisah Zulkarnain itu disinggung dalam surah al-Kahfi (18) ayat 83–97.
Para sejarawan muslim dan mufasir tampaknya sepakat menyatakan bahwa Zulkarnain dalam Al-Qur’an adalah Alexander (Iskandar). Ia pernah memerangi Persia dan menguasai kerajaan Darius III serta mengawini salah seorang putrinya, menguasai India, kemudian melebarkan kekuasaan sampai ke Mesir serta mendirikan kota Iskandariyah untuk mengenang jasanya.
Sejarawan muslim memiliki alasan kuat mengenai pernyataan bahwa Zulkarnain tidak lain adalah Alexander, raja Macedonia. Mereka berpendapat bahwa dalam sejarah tidak ada seorang raja pun yang dapat menguasai dunia bagian barat dan timur sebelum kedatangan Nabi SAW kecuali Iskandar. Berdasarkan fakta sejarah itu, sejarawan muslim berkesimpulan bahwa Alexander, raja Macedonia, dalam dunia Islam dikenal dengan Iskandar Zulkarnain.
Zulkarnain memang tidak diyakini sebagai seorang nabi yang wajib diimani, tetapi Al-Qur’an menginformasikan bahwa ia memperoleh wahyu. Akan tetapi, wahyu yang diterimanya tidak serupa dengan wahyu yang diterima para nabi dan rasul; menurut para mufasir, ia memperoleh ilham. Dengan berbekal pengetahuan dari Tuhan, Zulkarnain mengajak orang musyrik dan zalim untuk beriman kepada Allah SWT dan berbuat baik.
Dengan modal kekuasaan, ilmu pengetahuan, dan peralatan teknologi, ia berhasil menguasai wilayah yang membentang luas. Ke arah barat, kekuasaannya sampai ke tempat terbenamnya matahari (ia melihat matahari terbenam di Lautan Atlantik).
Para mufasir menyatakan bahwa ketika itu kekuasaannya sampai ke ujung barat Afrika Utara (Maroko), yakni sampai pantai barat Afrika. Ke arah timur kekuasaannya sampai ke tempat terbitnya matahari (para mufasir menyatakan bahwa negeri yang dimaksud adalah Tiongkok dan India).
Setelah itu, melalui jalur lain ia pun terus meluaskan wilayah kekuasaannya ke utara. Para mufasir menyatakan bahwa ia meluaskan wilayah kekuasaannya sampai di belakang Sungai Jihun (Uzbekistan, Asia Tengah) di Balkh (Afghanistan), dekat kota Tirmidz (Termez), Tajikistan.
Setiap kali berhasil memperluas kekuasaannya, Zulkarnain berusaha menumpas kezaliman, mengajak orang musyrik untuk beriman, dan mengayomi orang lemah. Dalam kesempatan itu, ia pun sempat membangun sebuah benteng setinggi gunung yang terbuat dari besi sangat kuat dengan teknologi tinggi untuk ukuran zamannya.
Terdapat keserupaan antara informasi Al-Qur’an berikut tafsirnya dan pengetahuan sejarah yang dimiliki orang Yahudi. Apa yang dipertanyakan orang Yahudi untuk menguji kebenaran kenabian Muhammad itu dijawab Al-Qur’an bukan hanya dengan informasi yang sama dengan pengetahuan orang Yahudi, tetapi malah melebihi dari apa yang mereka tuntut.
Kebesaran Zulkarnain tidak hanya terletak pada kekuatan dan keluasan wilayah kekuasaannya, tetapi yang terpenting dan paling banyak dikenang orang adalah upayanya membawa peradaban rasional Yunani ke dunia Timur dan mengawinkan kebudayaan Yunani dan Persia.
Wilayah kekuasaan Macedonia yang begitu luas membuat keabsahan polis (negara kota) Yunani, yang menjadi landasan pemikiran politik Plato (filsuf Yunani; 427–347 SM) dipertanyakan. Praktek politik Zulkarnain itu secara tidak langsung membantah pendapat yang berkembang sebelumnya, antara lain bahwa:
(1) orang Yunani tidak dapat hidup dengan baik dan merdeka kecuali dalam polis,
(2) manusia yang hidup di bawah kerajaan Timur adalah budak, dan
(3) perbedaan antara orang Yunani dan orang Berber adalah hakiki.
Semua pendapat itu menjadi usang, karena pada kenyataannya kebijakan akulturasi Zulkarnain mengenai perbedaan antara Yunani dan Berber sudah bergeser serta tidak lagi setajam sebelumnya. Sebagai warga polis, orang Yunani tidak perlu lagi merasa bangga karena mereka sudah menjadi warga kosmopolitan yang sudah berkembang pada waktu itu.
Pemerintahan Zulkarnain ternyata berusia pendek dan wilayah kekuasaannya pun cepat terpecah-pecah sepeninggalnya. Secara politik, kerajaan itu kemudian terbagi menjadi
(1) Kerajaan Macedonia di Eropa;
(2) Kerajaan Ptolemaeus (dinasti Macedonia yang berkuasa di Mesir 323–30 SM) dengan ibukota Zulkarnainiyah (Iskandariyah); dan
(3) Kerajaan Seleucus Nikator (pendiri Dinasti Seleukida) di Asia, termasuk beberapa kota penting, seperti Antiokia di Suriah, Seleucia di Mesopotamia, dan Bactra di Persia timur.
Ptolemaeus dan Seleucus berusaha membangkitkan imperium politik Zulkarnain dengan cara menyatukan dua peradaban, Yunani dan Persia. Melalui langkah itu, kebudayaan dan peradaban Yunani meninggalkan pengaruh yang besar di daerah yang pernah ditaklukkan Zulkarnain.
Kebesaran Iskandar Zulkarnain itu terus dikenang, baik di Barat maupun di Timur, diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya, serta melahirkan banyak legenda yang menimbulkan mitos di sekitarnya. Penguasa muslim di Nusantara tidak “steril” dari pengaruh legenda itu.
Para penguasa muslim di Sumatera dan Semenanjung Malaka, tempat Islam pertama kali menancapkan akar terkuatnya, sering mengasosiasikan diri mereka dengan citra kekuasaan politik besar di Timur Tengah. Di Minangkabau misalnya, menurut tambo (riwayat pseudohistoris lokal), alam Minangkabau tercipta dari Nur Muhammad dalam waktu bersamaan dengan dua alam lainnya, masing-masing Benua Ruhum (secara harfiah berarti Benua Roma [Usmani Turki]), pemegang hegemoni kekuasaan wilayah Barat, dan Benua Cina, pemegang hegemoni kekuasaan wilayah Timur.
Sehubungan dengan Iskandar Zulkarnain, penguasa alam Minangkabau yang menyebut diri Aour Allum Maharaja Diraja diceritakan di dalam tambo sebagai adik laki-laki sultan Ruhum yang disebut Maharaja Alif.
Orang Minangkabau, menurut tambo itu, percaya bahwa penguasa pertama mereka adalah keturunan khalifah Ruhum yang ditugaskan untuk menjadi syarif di wilayah tersebut. Dinyatakan bahwa sultan Minangkabau yang berdiam di Pagaruyung adalah raja diraja, putra Raja Iskandar Zulkarnain, yang dibawa dari surga oleh Nabi Adam AS.
Para penguasa Benua Ruhum dan Iskandar Zulkarnain bersama tokoh legendaris terkenal, seperti Nabi Sulaiman AS, Ratu Bilqis, dan Nabi Khidir AS, merupakan figur ideal yang dijadikan panutan para penguasa di Nusantara. Di antara mereka sengaja mengaitkan asal-usulnya dengan sosok legendaris, terutama Iskandar Zulkarnain.
Sejarah Melayu menghabiskan banyak bagian pendahuluannya untuk menggambarkan silsilah Iskandar Zulkarnain dan keturunannya dalam rangka mempertegas hubungan tali darahnya dengan penguasa Melayu.
Nama Iskandar juga menonjol dalam historiografi tradisional lain semacam Misa Melayu dan Hikayat Siak (Hikayat Raja Akil). Tidak aneh jika Iskandar banyak dijadikan nama dan atau gelar kebesaran oleh para sultan di dunia Melayu, seperti Iskandar Syah, Iskandar Muda, dan Iskandar Sani.
Daftar Pustaka
Azra, Azyumardi. Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII. Bandung: Mizan, 1994.
Bertens, K. Sejarah Filsafat Yunani dari Thales ke Aristoteles. Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1984.
–––––––. Ringkasan Sejarah Filsafat. Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1986.
Hadiwijono, Harun. Sari Sejarah Filsafat Barat 1. Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1988.
Nasution, Harun. Falsafah & Mistisisme dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1973.
Badri Yatim