Zina adalah hubungan seksual antara laki-laki dan perempuan yang belum memiliki ikatan nikah; memiliki ikatan nikah semu (nikah tanpa wali, nikah mut’ah, dan hubungan beberapa laki-laki dengan hamba perempuan milik bersama); atau memiliki ikatan pemilikan (tuan atas hamba).
Zina adalah kata dasar (masdar) dari zana-yazni. Zina termasuk salah satu dari tujuh dosa besar yang diancam hukuman had (hukuman yang macam dan jenisnya ditentukan oleh syarak dan merupakan hak Allah SWT).
Hukuman bagi Pelaku Zina. Dilihat dari segi pelakunya, pezina terbagi tiga, yaitu:
(1) pezina muhsan,
(2) pezina gair muhsan, dan
(3) pezina yang berstatus hamba sahaya.
Seseorang dikatakan pezina muhsan jika ia melakukan zina setelah melakukan hubungan seksual secara halal. Jadi, ia mungkin dalam status bersuami/beristri atau janda/duda. Kebanyakan ulama menambahkan dengan syarat dewasa, berakal, merdeka, dan beragama Islam.
Tetapi Imam Syafi‘i tidak mempersyaratkan Islam, karena berdasarkan hadis yang diriwayatkan Malik dari Nafi dari Ibnu Umar, Rasulullah SAW pernah merajam dua orang Yahudi yang berzina ketika orang Yahudi lain melaporkan hal itu kepadanya.
Hukuman atas pezina muhsan ini, menurut jumhur (mayoritas) ulama, adalah rajam (dilempari batu sampai mati) berdasarkan hadis sahih (Bukhari dan Muslim) bahwa Rasulullah SAW pernah merajam Ma‘iz, seorang perempuan dari Bani Juhainah, orang Yahudi, dan perempuan Bani Amir dari kampung Azad.
Menurut al-Hasan al-Basri (ahli hadis dan fikih pada periode tabiin) dan Ishaq (ahli fikih), pezina muhsan dicambuk 100 kali dan dirajam sampai mati. Berdasarkan satu riwayat, Ali bin Abi Thalib pernah mencambuk Syurahah al-Hamdaniyyah hari Kamis dan merajamnya hari Jumat. Ali berkata, “Aku cambuk berdasarkan Kitab Allah (QS.24:2) dan aku rajam berdasarkan sunah Rasulullah.”
Golongan az-Zahiri berpendapat bahwa pezina, baik muhsan atau gair muhsan, dihukum cambuk 100 kali sesuai dengan zahir (lahir) surah an-Nur (24) ayat 2 itu.
Pezina gair muhsan adalah orang yang melakukan zina tetapi belum pernah melakukan hubungan seksual secara halal sebelumnya. Pezina ini dihukum cambuk 100 kali dan diasingkan ke luar kampung selama 1 tahun.
Imam Syafi‘i berpendapat bahwa keduanya, baik laki-laki maupun perempuan yang melakukannya, harus diasingkan. Sementara Imam Malik mengatakan bahwa yang perempuan tidak diasingkan karena dikhawatirkan akan berbuat zina lagi di pengasingan. Adanya hukuman pengasingan ini didasarkan pada hadis dari Ubadah bin Samit yang menyatakan,
“Pezina bujang dan gadis, dicambuk 100 kali dan diasingkan selama setahun” (HR. Bukhari, Muslim, Abu Dawud, at-Tirmizi, an-Nasa’i, Ibnu Majah, ad-Darimi, Malik, dan Ahmad).
Adapun hukuman bagi pezina hamba sahaya, jika hamba sahaya itu perempuan dan pernah menikah (muhsan), hukuman hadnya 50 kali cambukan (QS.4:25); sedangkan bagi yang belum muhsan, sebagian ulama berpendapat hukuman hadnya tetap 50 kali cambukan dan sebagian mengatakan cukup ditakzir (hukumannya ditentukan hakim).
Adapun hukuman bagi pezina hamba laki-laki, fukaha al-Amsar (kota besar) mengatakan 50 kali cambukan (dikiaskan kepada hamba perempuan yang nasnya ada). Sementara Mazhab az-Zahiri mengatakan bahwa hukumannya adalah hukuman had 100 kali cambukan, sesuai dengan zahir (lahir) surah an-Nur (24) ayat 2, yang tidak mengkhususkan apakah untuk orang merdeka atau hamba sahaya.
Pembuktian Zina.
Hukum Islam sangat keras diberlakukan terhadap pelaku zina karena persoalan memelihara keturunan merupakan salah satu dari lima hal tujuan syarak yang harus mendapat prioritas (yaitu memelihara agama, jiwa, keturunan, akal, dan harta). Akan tetapi pelaksanaan hukuman had zina itu tidak gampang, perlu ada pembuktian. Pembuktian itu bisa berupa pengakuan dan bisa pula saksi.
Pembuktian dengan pengakuan, menurut sebagian ulama seperti Imam Malik, Imam Syafi‘i, Abu Dawud, Abu Taur, dan at-Tabari, cukup satu kali, karena Rasulullah SAW pernah menyuruh seorang sahabat: “Periksalah perempuan ini. Jika ia mengaku, rajamlah.”
Perempuan itu mengaku (tanpa disebutkan berapa kali pengakuannya itu) sehingga kemudian dirajam (HR. Bukhari, Muslim, dan Musitta dari Abu Hurairah).
Abu Hanifah (Imam Hanafi), Ibnu Abi Laila, Ahmad, dan Abu Ishaq mengatakan harus ada empat kali pengakuan. Hal ini didasarkan pada hadis bahwa Rasulullah SAW pernah menolak seorang perempuan yang mengaku zina yang meminta dihukum rajam. Setelah perempuan itu mengaku sampai empat kali, baru Rasulullah SAW menerima pengakuannya dan kemudian merajamnya (HR. Bukhari, Abu Dawud, dan Ahmad).
Pembuktian zina dengan saksi empat orang didasarkan pada surah an-Nur (24) ayat 4. Saksi itu harus mengatakan di hadapan hakim (penguasa) bahwa keempatnya secara persis melihat perbuatan zina. Bagi pezina perempuan, alat pembuktiannya bisa dengan kehamilannya. Jika ada bukti bahwa kehamilannya itu karena diperkosa, tidak dikenakan had zina.
Cara eksekusi had zina ada dua macam. Jika atas dasar pengakuan pelaku, yang mula-mula mencambuk atau merajam ialah imam (penguasa). Jika atas dasar saksi, yang mula-mula mencambuk adalah saksi, kemudian dilakukan oleh masyarakat secara bersama. Pelaksanaan hukuman ini harus dihadiri orang banyak sesuai dengan bunyi surah an-Nur (24) ayat 2,
“Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan agama Allah), jika kamu beriman kepada Allah dan hari akhirat, hendaklah (pelaksanaan) hukuman disaksikan oleh sekumpulan dari orang-orang yang beriman.”
Jika hukuman itu berupa hukuman cambuk, maka yang dicambuk adalah bagian belakang atau punggung badan si pelaku zina itu. Jika hukumannya rajam sampai mati, separuh badan si terhukum ditanam lalu dilakukan hukuman rajam.
Ketika Ali bin Abi Thalib merajam Syurahah al-Hamdaniyya pada hari Jumat, kaum muslimin mengelilingi si terhukum untuk melakukan hukuman rajam. Ali mengatakan, “Tidak begitu caranya, nanti lemparan kalian mengenai teman kalian. Begini, berbarislah seperti barisan saf salat, lalu lemparilah.”
Konsekuensi Lain bagi Pelaku Zina.
Di samping hukuman had seperti tersebut di atas, ada beberapa konsekuensi lain bagi si pelaku zina (yang masih hidup, yang tidak dirajam sampai mati), seperti disebutkan pada surah an-Nur (24) ayat 3,
“Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki yang musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas orang-orang yang mukmin.”
Ayat ini menurut Ahmad bin Hanbal (Imam Hanbali) menunjukkan keharaman bagi orang mukmin mengawini orang yang berzina. Tetapi jumhur ulama berpendapat bahwa larangan mengawini pezina itu hanya dalam batas mencela, tidak sampai mengharamkan. Ujung ayat tersebut yang berbunyi wa hurrima dzalika ‘ala al-mu’min diartikan bahwa yang diharamkan itu adalah zinanya, bukan mengawini.
Hal ini didasarkan pada hadis yang menceritakan bahwa telah datang seorang laki-laki kepada Rasulullah SAW dan mengadu bahwa istrinya tidak menolak ajakan orang lain untuk berbuat mesum. Lalu Rasulullah SAW bersabda “Talak saja dia.” Laki-laki itu menjawab, “Tetapi aku masih mencintainya.” Rasulullah SAW menjawab, “Kalau demikian tak usah kau talak, peliharalah dia sebagai istrimu lagi” (HR. Abu Dawud, an-Nasa’i, dan Malik). Tetapi Ibnu Qayyim menganggap hadis ini maudhu’ (buatan, palsu).
Imam Hanafi dan Imam Syafi‘i berpendapat bahwa tidak ada idah bagi perempuan yang berzina karena ia dianggap tidak menikah. Oleh sebab itu perempuan itu boleh dinikahi walaupun dalam keadaan hamil. Sementara menurut Imam Malik tetap ada idah agar tidak bercampur bibit (anak), apalagi jika yang menikahinya bukan orang yang menzinahinya.
Konsekuensi lain dari perbuatan zina ialah tentang penentuan mahram atau muhrim (wanita yang tidak boleh dikawini), seperti disebutkan pada surah an-Nisa’ (4) ayat 22 (yaitu bekas istri ayah) dan surah an-Nisa’ (4) ayat 23 (mertua perempuan, istri ayah, dan istri anak).
Imam Syafi‘i dan Imam Malik berpendapat bahwa berzina dengan seorang perempuan tidak mengakibatkan haram untuk menikah dengan ibunya atau dengan anaknya. Begitu juga tidak diharamkan seorang wanita untuk menikah dengan ayah atau dengan anak orang yang menzinahinya. Sementara Abu Hanifah, as-Sauri, dan al-Auza’i berpendapat bahwa menikahi mereka hukumnya haram seperti haramnya akibat nikah.
Anak Hasil Hubungan Zina.
Jika perzinahan mengakibatkan anak lahir, maka sebenarnya anak itu lahir dalam keadaan suci. Betapa pun suci, ia mempunyai kedudukan lain dengan anak biasa. Anak itu tidak boleh dinasabkan kepada “ayah”-nya, meskipun secara biologis ayahnya jelas dan meskipun jika kelak “ayah”-nya itu akan mengawini ibunya.
Dalam hal waris, Imam Abu Hanifah, Malik, Syafi‘i, dan Ahmad berpendapat bahwa anak zina tidak mewarisi dan tidak pula mewariskan dari/kepada “ayah” atau kerabat ayahnya itu. Ia hanya mewarisi dan mewariskan dari atau kepada pihak ibu dan kerabat ibunya.
Sementara kalangan Syiah Ismailiyah (Syiah) berpendapat bahwa anak zina tidak mewarisi dan tidak pula mewariskan, baik dari “ayah” dan kerabatnya maupun dari ibu dan kerabatnya. Wali nikah bagi perempuan anak zina adalah wali hakim. Perempuan anak zina digolongkan ke dalam mar’ah dani’ah (perempuan yang martabatnya rendah).
Zina Tangan.
Zina tangan dapat diartikan sebagai memegang-megang perempuan yang bukan istrinya dengan disertai perasaan syahwat. Melihat dengan disertai syahwat juga bisa disebut zina mata. Mendengar dengan penuh syahwat terhadap suara perempuan yang bukan istri juga bisa disebut zina telinga dan sebagainya. Zina seperti demikian biasanya dijumpai dalam literatur sufi. Mereka bukan saja menghindari dosa besar, tetapi dosa kecil pun diusahakan dihindari.
Dalam kajian fikih Islam, yang dimaksud dengan zina tangan ialah onani atau dalam istilah fikihnya disebut istimna‘ (mengeluarkan mani dengan tangan). Ulama menafsirkan surah al-Mu’minun (23) ayat 5 yang berarti, “Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya”, dengan arti, selain memelihara dari zina, juga memelihara dari perbuatan onani. Imam Syafi‘i dan Imam Malik mengharamkan onani atas dasar ayat tersebut dan hadis yang berbunyi,
“Wahai para pemuda, barangsiapa di antara kamu sudah mampu untuk menikah, menikahlah, jika belum mampu, hendaklah berpuasa, karena puasa itu obat baginya” (HR. Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Ibnu Majah, an-Nasa’i, ad-Darimi, dan Ahmad bin Hanbal).
Sebagian pengikut Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad bin Hanbal, termasuk Ibnu Taimiyah, membolehkan (menganggap mubah) zina tangan untuk menghindari terjerumus ke dalam perbuatan zina. Tetapi pendapat ini dipandang lemah. Jadi keharaman zina tangan lebih kuat daripada hukum mubahnya.
Daftar Pustaka
Abu Zahrah, Muhammad. al-Jarimah wa al-‘Uqubah fi al-Fiqh al-Islami. Cairo: Dar al-Fikr al-‘Arabi, t.t.
Amir, Abdul Aziz, at-Ta’zir fi Syari‘at al-Islamiyyah. Iskandariyah: Dar al-I‘tisam, 1978.
Bahnasi, Ahmad Fathi. al-Mas’uliyyah al-Jina’iyyah al-Islamiyyah. Cairo: Dar al-Qalam 1961.
–––––––. al-‘Uqubah fi al-Fiqh al-Islami. Cairo: Dar ar-Ra’id al-‘Arabi, 1970.
–––––––. Madkhal al-Fiqh al-Jina’i al-Islami. Cairo: Dar asy-Syuruq, 1972.
Ibnu Kasir, al-Hafidz Imaduddin Abu al-Fida’ Isma’il. Tafsir Al-Qur’an al-‘Azim. Beirut: ‘Alam al-Kitab, 1405 H/1985 M.
Ibnu Rusyd. Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtasid. Cairo: Syarikah Maktabah wa Matba‘ah Mustafa al-Babi al-Halabi wa Auladuh. 1401 H/1981 M.
al-Jaziri, Abdurrahman. al-Fiqh ‘Als al-Madzahib al-Arba’ah. Istanbul: Maktabah Insyik, 1977.
al-Maqdusi, Ibnu Qudamah. al-Mugni. Cairo: al-Manar, t.t.
Sabiq, as-Sayid. Fiqh as-Sunnah. Beirut: Dar al-Fikr, 1983.
as-Siba’i, Mustafa. al-Ahwal asy-Syakhsiyyah fi al-Ahliyyah wa al-Wasiyyah wa at-Tirkah. Damsyiq: Dar al-Fikr, 1970.
az‑Zuhaili, Wahbah. al‑Fiqh al‑Islami wa Adillatuh. Damascus: Dar al‑Fikr, 1985.
Atjeng Achmad Kusaeri