Ziarah

(Ar.: az-ziyarah)

Ziarah di kalangan masyarakat Jawa disebut nyadran, yaitu kegiatan berkunjung ke kubur seseorang untuk mendoakannya dan sekaligus mengingatkan diri sendiri mengenai kematian.

Pada awal sejarah Islam, ziarah ke kubur diharamkan, baik bagi laki-laki maupun perempuan, karena dikhawatirkan akan dapat menggoncangkan keimanan orang yang berziarah.

Namun ketika akidah Islam sudah demikian mantap dalam hati umat manusia dan telah diketahui hukum dan tujuan berziarah, ziarah dibolehkan. Allah SWT berfirman bahwa mati dan hidup adalah cobaan hidup manusia untuk dapat bersaing dalam beramal kebajikan (QS.67:2).

Di dalam hadis sahih juga diterangkan masalah ziarah, antara lain:

(1) hadis riwayat Hakim dari Anas bin Malik, “Aku (dulu) melarang kalian ziarah ke kubur, ingat, berziarahlah ke kubur, karena itu dapat menghaluskan hati, mencucurkan air mata, mengingatkan akan akhirat, dan jangan kalian berkata melecehkan.”

(2) hadis riwayat Ibnu Majah dari Ibnu Mas‘ud, “Aku (dulu) melarang kalian berziarah ke kubur, maka berziarahlah ke kubur, karena dengan ziarah dapat menjadikan zuhud pada keduniaan, dan mengingatkan akan hari akhirat.”

Kaum Wahabi berpendapat bahwa hukum ziarah ke kubur adalah mubah, sedangkan kalangan Mazhab Syafi‘i berpendapat, hukumnya sunah. Yang berpendapat bahwa hukum ziarah adalah sunah didasarkan pada hadis Nabi Muhammad SAW tentang sunah mendoakan orangtua,

“Apabila manusia (Bani Adam) meninggal, maka terputuslah amalnya kecuali tiga hal: sedekah jariah, ilmu yang bermanfaat, dan anak saleh yang mendoakannya” (HR. Muslim, Abu Dawud, an-Nasa’i).

Mengenai cara berziarah ke kubur, seseorang yang akan memasuki lokasi kuburan diperintahkan atau diwajibkan untuk mengucapkan salam (doa) kepada ahli kubur: as-salamu ‘alaikum ahl ad-diyar min al-mu’minin wa al-muslimin, wa inna insya’a Allah bikum lahiqun nas’alu Allah lana wa lakum al-‘afiyah (kesejahteraan atas kamu sekalian penduduk rumah, dari orang yang beriman dan Islam, sungguh kami, kalau Allah menghendaki, akan berjumpa dengan kalian, kami mohonkan ampunan untuk kami dan untuk kalian).

Adapun bacaan yang digunakan ketika berziarah ke kubur bisa berupa bacaan Al-Qur’an, seperti surah Yasin, atau bacaan lain. Hadis riwayat Ibnu Adiy dari Abu Bakar as-Siddiq menjelaskan, “Barangsiapa berziarah ke kuburan kedua orangtuanya atau salah satu di antara mereka pada hari Jumat dan membacakannya surah Yasin maka akan diampuni dosanya.”

Ziarah ke makam Nabi Muhammad SAW di Madinah juga sangat dianjurkan berdasarkan hadis riwayat Ibnu Adiy dan al-Baihaqi dari Ibnu Umar, “Barangsiapa berziarah ke kuburanku (Nabi SAW), maka wajib baginya mendapat syafaat (pertolongan)-ku (di hari kiamat).”

Dan hadis riwayat al-Baihaqi dari Anas bin Malik menyatakan, “Barangsiapa berziarah kepadaku (Nabi Muhammad SAW) di Madinah dengan (sungguh-sungguh) merenungkan, maka aku akan bersaksi dan memberi syafaat di hari kiamat.”

Ziarah juga mempunyai nilai kebaikan, sebagaimana dijelaskan oleh hadis riwayat Hakim dari Abu Hurairah, “Barangsiapa berziarah ke kuburan kedua orangtuanya atau salah satunya pada setiap hari Jumat, Allah SWT mengampuninya dan dihitung sebagai kebaikan.”

Dalam sejarah Islam, ziarah pernah disalahtafsirkan umat Islam, terutama pada masa kemunduran Islam (1250–1500). Ziarah pada masa itu oleh sebagian umat Islam telah dijadikan sebagai media pemujaan. Mereka meminta-minta pertolongan kepada kuburan orang yang dipandang keramat dan suci.

Padahal seharusnya berziarah ke kubur, sebagaimana yang diajarkan Rasulullah SAW, dapat meningkatkan takwa, menghaluskan hati, menghindari hidup yang materialistis, mengingatkan hari akhirat, dan mengingatkan peziarah akan kematian.

Daftar Pustaka

Ibnu Majah. Sunan Ibn Majah. Beirut: Dar al-Fikr, t.t.
as-Suyuti, Jalaluddin Abdur Rahman bin Abi Bakar. al-Jami’ as-sagir. Beirut: Dar al-Fikr, 1981.
Syaltut, Mahmud. al-Fatawa. Cairo: Mustafa al-Babi al-Halabi, t.t.
–––––––. al-Islam: ‘Aqidah wa Syari‘ah. Cairo: Dar al-Qalam, 1966.
al-Wahhab, Muhammad bin Abdul. Majmu‘ah at-Tauhid. Riyadh: Maktabah ar-Riyadh al-Hadisah, t.t.

Ahmad Rofiq