Zawajir Dan Jawabir

Zawajir berarti pencegahan dan jawabir berarti paksaan.

Istilah ini muncul ketika ulama fikih membahas sifat hukuman pidana Islam. Hukuman bisa bersifat preventif dan bisa juga paksaan (balas dendam). Apakah pelaku pidana masih disiksa di akhirat apabila telah dihukum di dunia?

Jika diperhatikan bentuk hukuman yang ditentukan Allah SWT dan Rasulullah SAW bagi pelanggar pidana, khususnya pidana hudud (pidana yang ukuran, jenis, dan jumlah hukumannya telah ditentukan Allah dan Rasul-Nya), tampak bahwa hukuman yang harus diterima terpidana lebih berat dibanding tindak pidana itu sendiri.

Penentuan hukuman terutama bertujuan sebagai tindakan preventif bagi orang lain agar ia tidak melakukan tindak pidana yang sama setelah melihat pelaksanaan hukuman terhadap terpidana. Contohnya, apabila seseorang membunuh orang lain dengan sengaja maka hukumannya adalah kisas (dibunuh), sesuai ketentuan Allah SWT dalam surah al-Baqarah (2) ayat 178.

Kisas dilaksanakan di tempat yang ramai dikunjungi masyarakat agar mereka dapat menjadikannya pelajaran, sesuai dengan ayat firman Allah SWT, “Dan dalam kisas itu ada (jaminan­ kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal supaya kamu bertakwa” (QS.2:179).

Terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama fikih tentang apakah hukuman yang telah dijalani terpidana di dunia yang sifatnya zawajir akan diikuti dengan hukuman di akhirat yang bersifat jawabir.

Ulama Mazhab Hanafi berpendapat bahwa tindak pidana hudud dan takzir (tindak pidana yang penentuan bentuk, jenis, dan kadar hukumannya didelegasikan syarak kepada para hakim) disyariatkan semata-mata sebagai tindakan pencegahan bagi masyarakat di dunia sedangkan dosa terpidana tidak hilang kecuali melalui tobat.

Alasan ulama Mazhab Hanafi adalah isyarat yang ditunjukkan berbagai ayat tentang hukuman, antara lain firman Allah SWT dalam surah an-Nisa’ (4) ayat 93,

“Dan barangsiapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja, maka balasannya ialah jahanam, ia kekal di dalamnya. Dan Allah murka kepadanya dan mengutukinya, dan menyediakan azab yang besar baginya.”

Dalam surah al-Ma’idah (5) ayat 33, setelah mengemukakan berbagai hukuman bagi tindak pidana perampokan, Allah SWT menyatakan,

“Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan dimuka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik, atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). Yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan bagi mereka di dunia, dan di akhirat mereka akan memperoleh siksaan yang besar.”

Menurut ulama Mazhab Hanafi, dari kedua ayat ini, Allah SWT memberitakan bahwa sekalipun hukuman di dunia telah dilaksanakan bagi pelaku tindak pidana, di akhirat mereka tetap mendapat azab yang pedih kecuali jika mereka bertobat.

Jumhur ulama berpendapat bahwa hukuman yang telah ditentukan itu, di samping sebagai tindakan preventif di dunia, juga bisa menghapuskan hukuman di akhirat apabila telah dilaksanakan di dunia. Hal ini sejalan dengan sabda Rasulullah SAW, “Siapa yang melakukan suatu dosa lalu ia dikenai hukuman di dunia, ia tidak akan dihukum lagi di akhirat…” (HR. Muslim).

Jumhur ulama berpendapat bahwa aspek jawabir di akhirat tidak ada lagi karena hukuman dunia sebagai zawajir telah dilaksanakan. Adapun alasan lain yang dikemukakan jumhur ulama adalah sabda Rasulullah SAW di depan para sahabat,

“Berjanjilah kamu untuk tidak menyekutukan Allah, berzina, mencuri, dan membunuh jiwa yang telah diharamkan Allah kecuali disebabkan suatu alasan yang benar. Siapa yang berpegang teguh dengan janji ini Allah akan memberinya ganjaran. Dan siapa yang melanggar janji ini dengan melakukan salah satu perbuatan di atas, lalu ia dikenai hukuman (di dunia) maka hukuman itu menjadi kafarat (penghapus dosa) yang dilakukannya. Siapa yang melakukan perbuatan itu secara diam-diam (tidak terungkap sehingga tidak dapat dilaksanakan hukuman di dunia) maka persoalannya dikembalikan kepada Allah. Jika dikehendaki-Nya, Ia maafkan dan jika tidak dikehendaki-Nya, Ia siksa” (HR. Muslim).

Imam Izzuddin bin Abdus Salam (577 H/1181 M–660 H/1261 M), ahli fikih Mazhab Syafi‘i, mengemukakan perbedaan antara zawajir dan jawabir sebagai berikut.

(1) Zawajir disyariatkan sebagai pencegahan terhadap tindak pidana yang akan terjadi, sedangkan jawabir disyariatkan untuk mencapai kemaslahatan yang telah hilang disebabkan adanya tindak pidana. Dengan demikian, dalam sebuah hukuman ada aspek zawajir sekaligus aspek jawabir.

2) Secara umum, zawajir dikenakan untuk perbuatan yang melanggar ketentuan Allah SWT sehingga dengan menghukum pelanggarnya, orang lain akan mendapat pelajaran dan berusaha untuk menghindari perbuatan itu. Adapun jawabir umumnya dikenakan kepada seluruh pelaku pidana tanpa pandang bulu.

(3) Jawabir berkaitan dengan tindak pidana terhadap jiwa, anggota badan, manfaat anggota badan, ibadah, harta, dan manfaat. Adapun zawajir berkaitan dengan pelanggaran/ jinayat dan sikap yang bertentangan dengan kehendak syarak, seperti pembunuhan, zina, pencurian, perampokan, pemberontakan, tuduhan berbuat zina (qadzf) terhadap orang lain, gasab (mengambil harta orang lain tanpa izin), dan minum minuman keras.

(4) Mayoritas zawajir berkaitan dengan tindak pidana hudud dan takzir yang hukumannya dilaksanakan oleh hakim, sedangkan jawabir ditujukan terhadap tindak pidana yang pelaksanaan hukumannya diserahkan kepada orang yang dirugikan.

Contoh jawabir dalam masalah ibadah adalah kewajiban membayar fidyah bagi orang tua yang tidak mampu berpuasa dan kewajiban berpuasa bagi pelanggar larangan tertentu dalam ibadah haji. Dalam persoalan harta, jawabir dicontohkan dengan kewajiban mengembalikan harta orang yang dirugikan seutuhnya atau yang senilai dengan itu jika harta tersebut rusak atau habis.

Jawabir dalam masalah manfaat, seperti seseorang yang menempati rumah orang lain tanpa izin, dikenakan ganti rugi biaya selama rumah itu ditempatinya. Contoh jawabir untuk jiwa, anggota badan, dan manfaat anggota badan adalah diat (denda) atau kafarat. Adapun huku­man terhadap pembunuh, yaitu kisas, termasuk ke dalam zawajir.

Daftar Pustaka

Abdussalam, al-‘Izz bin. Qawa‘id al-Ahkam fi Masalih al-Anam. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, t.t.
al-Jauziyah, Ibnu Qayyim. at-Turuq al-Hukmiyyah fi as-Siyasah asy-Syar‘iyyah. Cairo: Mu’assasah al-‘Arabiyyah li at-Tiba‘ah wa an-Nasyr, 1961.
al-Mawardi. al-Ahkam as-Sulthniyyah fi as-Siyasah asy-Syar‘iyyah. Cairo: al-Babi al-Halabi, 1973.
al-Qarafi. al-Furuq. Juz IV. Cairo: al-Babi al-Halabi, t.t.
Nasrun Haroen