Kata “zat” banyak digunakan dalam kajian ilmu kalam dan filsafat Islam yang berarti jiwa, hakikat atau batin dari sesuatu yang bersifat tetap.
Zat mempunyai arti an-nafs (jiwa) atau asy-syakhs (pribadi). Menurut para ahli ilmu kalam, zat dalam arti an-nafs mencakup jisim dan non-jisim, sedangkan dalam arti asy-syakhs hanya mencakup jisim.
Dalam ilmu kalam, kata “zat” sering dikaitkan dengan kata “sifat” ketika membahas masalah ketuhanan, yakni apakah Tuhan mempunyai sifat atau zat saja; apakah sifat itu terpisah dari zat; atau sifat itu menyatu dalam zat; atau sifat itu adalah zat itu sendiri
Golongan Muktazilah berpendapat bahwa zat dan sifat Tuhan pada hakikatnya adalah satu. Sifat adalah zat dan zat adalah sifat itu sendiri. Mereka mengemukakan hal ini karena pandangan dapat membawa kepada syirik (menyekutukan Tuhan) jika zat dipisahkan dari sifat. Menurut mereka, Tuhan itu bersifat kekal. Apabila sifat-Nya itu terpisah dari zat-Nya, maka banyak hal lain yang juga bersifat kekal seperti Tuhan, dan ini termasuk pandangan syirik.
Menurut aliran Asy‘ariyah, zat dan sifat Tuhan itu tidak sama. Zat dan sifat memiliki pengertian dan peranan yang berbeda. Sifat merupakan tambahan bagi zat, berada di luar zat, namun bukan sesuatu yang berbeda dari zat.
Sehubungan dengan pandangan itu, mereka menciptakan suatu ungkapan: laisat as-sifah hiya huwa wa laisa hiya gairuh (sifat itu bukanlah zat dan bukan pula sifat itu lain dari zat). Ungkapan ini tampak membingungkan, namun mereka menciptakannya agar terhindar dari pandangan syirik.
Pada satu pihak aliran ini ingin memisahkan sifat dari zat, namun pada pihak lain mereka juga tidak ingin terjerumus menjadi syirik dengan mengatakan bahwa sifat itu benar-benar terpisah dari zat; karena paham pemisahan itu dapat menimbulkan pengertian bahwa bukan hanya Tuhan yang memiliki sifat itu.
Al-Ghazali, yang termasuk pendukung aliran ini, berpendapat bahwa jika kita tidak dapat mengetahui hakikat zat Tuhan, bagaimana mungkin kita dapat mengetahui hakikat sifat-Nya.
Pembahasan mengenai zat dan sifat disejajarkan dengan pembahasan mengenai jauhar dan ‘arad. Jauhar berstatus sama dengan zat, sedangkan sifat berstatus sama dengan ‘arad. Di antara para ahli ilmu kalam, terjadi pula perdebatan mengenai keberadaan jauhar, apakah berdiri sendiri atau tidak.
Ibnu Sina, seorang ilmuwan muslim yang menguasai filsafat serta berbagai ilmu eksakta, turut membuat kajian tentang zat dan sifat, yakni ketika membahas masalah juz’iyyah (perincian atau bagian) dan kulliyyah (kesatuan atau keseluruhan). Menurutnya, setiap yang bersifat kulliyyah adalah berdiri sendiri, sedangkan yang bersifat juz’iyyah bergantung pada yang kulliyyah. Posisi kulliyyah sama seperti zat, sedangkan juz’iyyah seperti sifat.
Dalam pemikiran Ibnu Sina, ada suatu zat yang tidak dapat dijelaskan dengan cara menjelaskan sifatnya. Contohnya adalah bidang segitiga. Menurutnya, bidang segitiga merupakan sifat dari segala sesuatu yang berbentuk segitiga. Namun segitiga itu sendiri hanya merupakan sifat yang tidak mempunyai zat. Karenanya, segitiga itu hanya merupakan konsep atau hanya ada dalam pemikiran dan tidak pernah ada dalam wujud nyata.
Berdasarkan pemikiran itu, Ibnu Sina berpendapat bahwa sesuatu yang ada itu tidak selalu dapat dibuktikan secara empirik, karena terkadang hanya merupakan konsep. Ini berarti sama dengan mengatakan bahwa zat itu tidak selamanya dapat dibuktikan secara empirik, melainkan hanya ada di dalam pemikiran atau dalam keyakinan belaka. Dengan kata lain, tidak selamanya zat mesti berada dan bersatu dengan sifat.
Pembahasan zat dan sifat bersifat spekulatif sehingga bisa membingungkan bahkan dikhawatirkan dapat menyesatkan. Kekhawatiran ini mendorong para pemikir untuk tidak membahas masalah itu lebih lanjut.
Sikap mereka ini juga didasarkan pada salah satu hadis Nabi Muhammad SAW, “Pikirkanlah olehmu sekalian tentang segala yang diciptakan Allah dan jangan sekali-kali memikirkan zat Allah” (HR. Ibnu Hibban).
Daftar Pustaka
Abu Rayyan, Muhammad Ali. Qira’at fi al-Falsafah. Iskandariyah: Dar al-Qaumiyyah, 1967.
al-Ahwani, Ahmad Fu’ad. Ahwal an-Nafs fi an-Nafs wa Baqa’uha wa Maudhu‘uha li asy-Syaikh ar-Ra’is Ibn Sina. Cairo: Isa al-Babi al-Halabi wa Syuraka’uh, 1952.
al-Juwaini, al -Imam al-Haramain. Kitab al-Irsyad ila Qawati‘ al-Adillah fi Usul al-I‘tiqad. Cairo: Maktabah al-Khaniji, 1950.
Qasim, Mahmud. Dirasah fi al-Falsafah al-Islamiyyah. Cairo: Dar al-Fikr, 1970.
Wehr, Hans. A Dictionary of Modern Written Arabic. Beirut: Librairie Du Liban & London: Macdonald & Evans Ltd., 1974.
Abuddin Nata