Zakat dalam istilah fikih merupakan sebutan atau nama bagi sejumlah harta tertentu yang diwajibkan Allah SWT agar diserahkan kepada orang yang berhak (mustahak).
Kata dasar (masdar)-nya adalah zaka yang berarti berkah, tumbuh, bersih, baik, dan bertambah. Bagi orang yang mengeluarkan zakat, hati dan jiwanya akan menjadi bersih, sebagaimana firman Allah SWT dalam surah at-Taubah (9) ayat 103, “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan menyucikan mereka….”
Selain hati dan jiwanya bersih, kekayaannya akan bersih pula. Dari ayat ini tergambar bahwa zakat yang dikeluarkan para muzaki dapat membersihkan dan menyucikan hati manusia, tidak lagi mempunyai sifat yang tercela terhadap harta, seperti rakus dan kikir.
Kata “zakat” banyak disebut dalam Al-Qur’an dan pada umumnya dirangkaikan dengan kata “salat” dalam satu ayat. Ada 26 kata “zakat” yang selalu dihubungkan dengan salat. Hal ini menunjukkan betapa penting peran zakat dalam kehidupan umat Islam.
Zakat, ibadah yang menyangkut harta benda dan berfungsi sosial itu, telah berumur tua dan telah dikenal dalam agama wahyu yang dibawa para rasul terdahulu (QS.21:73). Namun kewajiban zakat itu bagi kaum muslim baru diperintahkan secara tegas dan jelas pada ayat yang diturunkan di Madinah.
Kewajiban zakat kemudian diperkuat oleh sunah Nabi Muhammad SAW, baik mengenai nisab, jumlah, syarat, jenis, macam, dan bentuk pelaksanaannya yang konkret. Zakat diwajibkan pada tahun ke-2 H meskipun kepastian tentang tahun ini diperselisihkan.
Syarat Zakat.
Harta yang wajib dizakati adalah harta yang
(1) dimiliki secara penuh, yaitu kekayaan yang berada di bawah kekuasaan pemilik dan tidak tersangkut di dalamnya hak orang lain;
(2) berkembang, yaitu kekayaan yang dikembangkan atau mempunyai potensi untuk berkembang produktif dan memberikan keuntungan atau pendapatan;
(3) cukup satu nisab, yaitu jumlah minimal harta kekayaan yang harus dikeluarkan zakatnya dalam waktu tertentu;
(4) melebihi kebutuhan biasa (kebutuhan rutin); yang dimaksud dengan kebutuhan rutin adalah sesuatu yang harus ada untuk ketahanan hidup, seperti makanan, minuman, pakaian, perumahan, dan alat kerja;
(5) bebas dari utang (pemilikan sempurna); apabila mempunyai utang yang menghabiskan atau mengurangi jumlah satu nisab, pemilik tidak wajib mengeluarkan zakat; dan
(6) berlaku satu tahun (haul); persyaratan satu tahun hanya untuk ternak, uang, dan harta perdagangan; zakat dari jenis harta seperti ini disebut zakat modal, sedangkan dari hasil pertanian (seperti buah-buahan dan madu), logam mulia, harta temuan, dan yang sejenis, disebut zakat pendapatan.
Macam Zakat.
Zakat ada 2 macam.
(1) Zakat mal (harta), yaitu salah satu rukun Islam yang merupakan ibadah kepada Allah SWT dan sekaligus merupakan amal sosial kemanusiaan. Zakat mal adalah bagian dari harta kekayaan seseorang atau badan hukum yang wajib diberikan kepada orang tertentu setelah mencapai jumlah minimal tertentu dan setelah dimiliki selama jangka waktu tertentu pula.
(2) Zakat fitrah (zakat badan), yaitu zakat yang diwajibkan pada akhir puasa Ramadan bagi setiap muslim, baik anak kecil maupun dewasa, baik laki-laki maupun perempuan, dan baik merdeka maupun sahaya.
Zakat fitrah mulai diwajibkan pada tahun ke2 H, ketika puasa Ramadan juga diwajibkan. Zakat fitrah ini bertujuan menyucikan orang yang berpuasa dari ucapan kotor dan perbuatan yang tidak berguna, dan memberi makan kepada orang miskin dan mencukupi kebutuhan mereka pada hari raya Idul Fitri.
Zakat fitrah didasarkan pada hadis yang diriwayatkan Jamaah dari Abdullah bin Umar bin Khattab yang mengatakan bahwa Rasulullah SAW mewajibkan zakat fitrah di bulan Ramadan sebanyak satu sa’ (ukuran takaran = 2,304 kg) kurma atau satu sa’ gandum bagi hamba sahaya dan orang merdeka, baik bagi laki-laki maupun perempuan dan baik bagi anak kecil maupun orang dewasa.
Zakat fitrah harus diberikan kepada fakir miskin sebelum salat Idul Fitri (Salat id). Hal ini diriwayatkan Jamaah, kecuali Ibnu Majah dari Abdullah bin Umar bin Khattab, bahwa sesungguhnya Rasulullah SAW memerintahkan zakat fitrah itu supaya dikeluarkan sebelum manusia keluar menuju tempat salat. Namun demikian ada hadis lain yang mengatakan,
“… biasanya pula orang (para sahabat) membayarkannya (zakat fitrah) itu satu atau dua hari sebelum Idul Fitri” (HR. Bukhari dari Abdullah bin Umar bin Khattab).
Bahkan Imam Syafi‘i berpendapat bahwa zakat fitrah boleh dibayar sejak awal bulan Ramadan. Jadi apabila zakat fitrah diberikan sesudah salat Idul Fitri, maka zakat tersebut tidak termasuk zakat fitrah, tetapi merupakan sedekah biasa. Hal ini sesuai dengan sabda Nabi SAW dari Ibnu Abbas,
“Rasulullah SAW mewajibkan zakat fitrah itu sebagai pembersih bagi orang yang berpuasa dari perbuatan sia-sia dan perkataan yang kotor, dan sebagai makanan bagi orang miskin. Karena itu barangsiapa mengeluarkannya sesudah salat maka dia itu adalah salah satu sedekah dari sedekah-sedekah biasa” (HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah).
Sumber Zakat. Menurut Al-Qur’an, yang wajib dikeluarkan zakatnya adalah harta benda atau kekayaan (QS.9:103). Jenis kekayaan tersebut dapat dikelompokkan sebagai berikut.
Emas dan Perak. Semua ulama sepakat bahwa zakat emas dan perak wajib dikeluarkan. Kewajiban zakat emas dan perak berdasarkan firman Allah SWT,
“Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih. Pada hari dipanaskan emas dan perak itu dalam neraka jahanam, lalu dibakar dengan dahi mereka, lambung, dan punggung mereka (lalu dikatakan) kepada mereka, ‘Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, maka rasakanlah sekarang (akibat dari) apa yang kamu simpan itu’” (QS.4:34–35).
Mengenai nisab emas, ada tiga pendapat ulama. Pertama, umumnya ulama, termasuk Imam Malik, Imam Syafi‘i, Imam Hanafi, Imam Hanbali, dan para pengikutnya, berpendapat bahwa nisab emas adalah 20 dinar atau kurang lebih sama dengan 96 gram emas. Rasulullah SAW bersabda,
“Tidak wajib zakat emas hingga mencapai 20 dinar, apabila telah mencapai 20 dinar dan telah mencapai satu tahun disimpan, maka wajib dikeluarkan zakatnya sebesar 1/40 (2,5%), selebihnya dari 20 dinar juga wajib dikeluarkan zakatnya sebesar 1/40-nya” (HR. Ahmad, Abu Dawud, dan al-Baihaqi).
Kedua, ulama lain, termasuk Hasan bin Abu Hasan al-Basari dan sebagian pengikut Dawud bin Khalaf al-Isfahani, berpendapat bahwa pada emas dikenakan zakat jika sudah mencapai jumlah 40 dinar.
Ketiga, ulama yang lainnya lagi berpendapat bahwa nisab emas sama dengan nilai tukar atau harga 200 dirham, baik jika emas itu telah mencapai jumlah 20 dinar maupun jika kurang dari 20 dinar. Akan tetapi, jika emas itu telah mencapai jumlah 40 dinar, yang dijadikan pegangan adalah jumlah dinarnya. Hal ini mirip dengan pendapat kedua. Adapun kadar zakat emas adalah 2,5% dan haulnya 1 tahun.
Mengenai perak, ulama sependapat bahwa nisabnya 200 dirham atau sekitar 672 gram. Kadar zakat dan haulnya sama dengan emas. Rasulullah SAW bersabda,
“Tidak wajib zakat perak hingga mencapai 200 dirham, apabila telah mencapai 200 dirham, maka wajib dikeluarkan zakatnya sebesar 1/40 (2,5%), selebihnya dari itu perhitungan zakatnya seperti itu pula, banyak atau sedikit” (HR. al-Bukhari dan Muslim).
Hewan Ternak. Sebagian besar ulama berpendapat bahwa jenis hewan yang wajib dikeluarkan zakatnya adalah unta, lembu/sapi/kerbau, dan kambing. Zakat dari kuda yang dipelihara untuk piaraan, angkutan, dan perang tidak wajib dikeluarkan, tetapi dari kuda yang diperdagangkan dan diternakkan wajib dikeluarkan karena mempunyai sifat berkembang. Hewan ternak lainnya yang juga wajib dikeluarkan zakatnya adalah unggas, seperti ayam dan bebek. Haul dari hewan ternak tersebut adalah 1 tahun.
Mengenai nisab unta yang jumlahnya lebih dari 120 ekor, ada dua pendapat. Pertama, setiap bertambah 40 ekor unta, zakatnya 1 ekor binti labun (unta betina yang berumur 2 tahun lebih), dan setiap bertambah 50 ekor unta, zakatnya 1 ekor hiqqah (unta betina yang berumur 3 tahun lebih). Maka apabila memiliki 130 ekor unta, seseorang dikenakan zakat sebanyak 1 ekor hiqqah dan 2 ekor binti labun. Pendapat ini didukung Imam Malik, Imam Syafi‘i, dan para pengikut mereka.
Dasar hukum yang digunakan ialah risalah zakat yang diperintahkan Rasulullah SAW dan dilaksanakan Khalifah Abu Bakar as-Siddiq dan Umar bin Khattab. Jumhur (mayoritas) fukaha lebih menguatkan pendapat ini karena hadisnya lebih sahih. Hadis ini menjelaskan sabda Nabi SAW,
“Adapun jika lebih dari 120 ekor unta, maka pada tiap-tiap 40 ekor dikenakan seekor unta binti labun, dan pada tiap-tiap 50 ekor dikenakan seekor unta hiqqah.”
Kedua, fukaha (ahli fikih) Kufah, yaitu Abu Hanifah dan para pengikutnya serta as-Sauri, berpendapat bahwa apabila jumlah unta lebih dari 120 ekor, ketentuannya kembali kepada semula, yaitu pada tiap-tiap 5 ekor unta dikenakan zakat seekor kambing. Maka apabila seseorang memiliki kekayaan unta sebanyak 125 ekor, ia wajib mengeluarkan zakatnya dengan 2 ekor hiqqah dan seekor kambing.
Pendapat ini didasarkan pada hadis yang diriwayatkan Abu Bakar bin Amr bin Hazm, “Jika unta lebih dari 120 ekor, maka zakatnya dimulai dengan memakai ketentuan semula.” Dalam hadis lain Rasulullah SAW bersabda,
“Tidak ada zakat unta sebelum sampai 5 ekor, maka apabila sampai 5 ekor zakatnya satu ekor kambing, 10 ekor zakatnya dua ekor kambing, 15 ekor zakatnya tiga ekor kambing, 20 ekor zakatnya empat ekor kambing, 25 ekor zakatnya seekor anak unta, 39 ekor zakatnya seekor anak unta yang lebih besar, 46 ekor zakatnya seekor anak unta yang lebih besar, 61 ekor zakatnya seekor anak unta yang lebih besar lagi, 76 ekor zakatnya dua ekor anak unta, 91 ekor zakatnya dua ekor anak unta yang lebih besar, 121 ekor zakatnya tiga ekor anak unta, kemudian setiap 40 ekor zakatnya satu ekor unta berumur tiga tahun lebih. Dan setiap 50 ekor zakatnya harus anak unta berumur empat tahun lebih.” (HR. al-Bukhari).
Dalam hadis Mu‘az bin Jabal dinyatakan bahwa dia telah diutus Rasulullah SAW ke Yaman, dan beliau menyuruhnya memungut zakat dari setiap 30 ekor sapi (kerbau) seekor anak sapi (kerbau) betina atau jantan berumur 1 tahun, dan dari setiap 40 ekor sapi (kerbau) seekor anak sapi (kerbau) berumur 2 tahun (HR. al-Bukhari, Muslim, at-Tirmizi, an-Nasa’i, dan Ibnu Majah).
Adapun tentang jenis kambing yang dikeluarkan untuk zakat, para ulama berbeda pendapat. Imam Malik berpendapat bahwa jenis kambing yang dizakatkan adalah jenis kambing yang terbanyak bilangannya. Jika jumlahnya sama banyak maka petugas zakat boleh memilih. Hal ini sama dengan pendapat Imam Abu Hanifah.
Sementara Imam Syafi‘i berpendapat bahwa petugas zakat mengambil yang pertengahan dan bermacam-macam jenis. Namun ada juga ulama yang menetapkan untuk tidak mengambil kambing jantan, kambing yang buta sebelah, dan kambing yang sudah tua sebagai zakat. Rasulullah SAW bersabda,
“Tentang zakat kambing yang digembalakan, apabila mencapai 40 sampai 120 ekor zakatnya seekor kambing, apabila lebih dari itu sampai 200 ekor zakatnya dua ekor, apabila lebih dari 200 sampai 300 ekor zakatnya tiga ekor kambing, apabila lebih dari 300 ekor maka setiap 100 ekor zakatnya seekor kambing” (HR. Ahmad, al-Bukhari, dan an-Nasa’i).
Harta Perdagangan.
Seorang pengusaha atau pedagang, jika harta perniagaannya telah mencapai nisab, wajib atasnya mengeluarkan zakat harta yang diperniagakannya itu dengan syarat sebagaimana emas dan perak. Rasulullah SAW bersabda, “Kain-kain yang disediakan untuk dijual, wajib dikeluarkan zakatnya” (HR. Hakim).
Satu hadis dari Samurah (sahabat Nabi SAW), dinyatakan bahwa Rasulullah SAW memerintahkan kepada mereka agar mereka mengeluarkan zakat barang yang disediakan untuk dijual (HR. ad-Daruqutni dan Abu Dawud).
Adapun haulnya adalah 1 tahun dan kadar zakatnya 2,5% atau 1/40 dari harga barang dagangannya. Hal ini didasarkan pada firman Allah SWT,
“Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. Dan janganlah kau memilih yang buruk-buruk lalu kamu nafkahkan dari padanya, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memicingkan mata terhadapnya. Dan ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji” (QS.2:267).
Hasil Tanaman dan Buah-Buahan. Gandum, padi, kurma, dan anggur kering wajib dikeluarkan zakatnya apabila telah mencapai nisabnya pada waktu panen. Hal ini didasarkan pada hadis Rasulullah SAW,
“Bahwa Rasulullah SAW mengutus mereka ke Yaman untuk mengajari manusia soal agama. Maka mereka dipersilakan untuk tidak memungut zakat kecuali dari yang empat macam ini: gandum, sya’ir (gandum), kurma, dan anggur kering” (HR. Daruqutni, al-Hakim, at-Tabrani, dan al-Baihaqi yang mengatakan bahwa periwayatnya dapat dipercaya dan hadis ini hadis muttaœil).
Adapun nisab hasil tanaman adalah lima wasaq (652,8/653 kg), sedangkan kadar pungutan zakatnya adalah 10% apabila tanaman itu disiram air hujan dan 5% jika tanaman itu disiram dengan mempergunakan alat. Tanaman yang terkadang disiram dengan menggunakan alat dan terkadang disiram air hujan dikenakan zakat dengan perbandingan sama yang berjumlah 7,5%. Zakat hasil pertanian ini dikeluarkan pada saat panen.
Di Indonesia, disepakati bahwa semua hasil tumbuh-tumbuhan yang bernilai ekonomis wajib dikeluarkan zakatnya. Hasil tanaman dan buah-buahan yang wajib dikeluarkan zakatnya antara lain adalah: (1) biji-bijian, seperti padi, jagung, jelai, kacang hijau, kacang tanah, dan kacang kedelai;
(2) umbi-umbian dan sayuran, seperti ubi, kentang, ubi kayu, ubi jalar, bangkuang, bawang, cabe, petai, kol, dan bayam; (3) buah-buahan, seperti kelapa, pisang, durian, rambutan, duku, salak, apel, jeruk, pepaya, alpukat, mentimun, pala, lada, dan pinang; (4) tanaman hias, seperti anggrek dan segala jenis bunga; (5) tanaman keras, seperti karet, cengkih, kopi, kayu cendana, dan kayu manis; (6) rumput-rumputan, seperti serai (minyak serai) dan bambu; dan (7) daun-daunan, seperti teh dan tembakau.
Harta Rikaz dan Ma‘din. Harta rikaz adalah harta-harta yang terpendam atau tersimpan. Termasuk ke dalam harta rikaz ini antara lain berbagai macam harta benda yang disimpan oleh orang terdahulu di dalam tanah, seperti emas, perak, tembaga, dan pundi-pundi berharga.
Adapun ma‘din adalah pemberian bumi yang terbentuk dari benda lain tetapi berharga, seperti emas, perak, timah, besi, intan, batu permata, akik, batu bara, dan minyak bumi. Orang yang menemukan dan memiliki benda ini diwajibkan mengeluarkan zakatnya 1/5 bagian.
Zakat rikaz wajib tanpa syarat nisab (ukuran jumlah) dan tanpa haul (ukuran waktu). Dalam harta ma‘din, meskipun waktu 1 tahun penuh (haul) tidak diperhitungkan, zakatnya wajib dikeluarkan pada saat barang itu ditemukan.
Nilai barang tambang tersebut harus mencapai satu nisab uang, yaitu 20 mitaqal (96 gram) untuk emas dan 200 dirham (672 gram) untuk perak. Adapun kadar zakatnya adalah 2,5%. Sementara itu dijelaskan bahwa harta ma‘din tidak ada nisabnya dan kadar zakatnya 1/5.
Hasil Laut.
Jumhur ulama berpendapat bahwa hasil laut, baik berupa mutiara, merjan (manik-manik), zabarjad (kristal untuk batu permata) maupun ikan, ikan paus, dan lain-lain, tidak wajib dikenakan zakat.
Namun Imam Ahmad bin Hanbal (Imam Hanbali) berpendapat bahwa hasil laut wajib dikenakan zakat apabila sampai satu nisab. Pendapat terakhir ini tampaknya sangat sesuai dengan situasi dan kondisi sekarang ini karena hasil ikan yang telah digarap perusahaan besar dengan peralatan modern menghasilkan banyak uang.
Nisab ikan senilai 200 dirham (672 gram perak). Mengenai zakat hasil laut ini memang tidak ada landasannya yang tegas, sehingga di antara ulama sendiri terjadi perbedaan pendapat.
Namun jika dilihat dari surah al-Baqarah (2) ayat 267, jelas bahwa setiap usaha yang menghasilkan uang dan memenuhi syarat, baik nisab maupun haulnya, wajib dikenakan zakat. Adapun waktu mengeluarkan zakatnya sama seperti tanaman, yaitu di saat hasil itu diperoleh.
Harta Profesi.
Zakat harta profesi termasuk dalam kelompok zakat mal, yaitu al-mal al-mustafad (kekayaan yang diperoleh orang muslim melalui bentuk usaha baru yang sesuai dengan syariat agama).
Profesi yang dimaksud antara lain adalah dokter, insinyur, dan pengacara. Ulama sepakat bahwa harta pendapatan wajib dikenakan zakat apabila mencapai batas nisab. Adapun nisabnya sama dengan nisab uang, dengan kadar zakat 2,5%.
Mengenai harta profesi ini, ulama berbeda pendapat dalam hal hasil pendapatannya. Abu Hanifah mengatakan, harta pendapatan itu dikenakan zakat apabila mencapai masa setahun penuh, kecuali jika pemiliknya mempunyai harta sejenis.
Untuk itu harta penghasilan dikeluarkan pada permulaan tahun dengan syarat sudah mencapai batas nisab. Imam Malik berpendapat bahwa zakat dari harta penghasilan tidak dikeluarkan sampai 1 tahun penuh, baik harta tersebut sejenis dengan harta pemiliknya atau tidak sejenis.
Imam Syafi‘i dan Imam Ahmad berpendapat bahwa zakat dari harta penghasilan itu dikeluarkan apabila mencapai waktu 1 tahun meskipun ia memiliki harta sejenis yang sudah cukup nisab.
Investasi.
Ulama yang berpandangan luas berpendapat bahwa hasil investasi, seperti hasil sewa gedung, pabrik, taksi, dan bus, wajib dikenakan zakat. Namun mereka berbeda pendapat mengenai cara memandang kekayaan itu, yakni apakah harus diperlakukan sebagai modal perdagangan yang harus dihitung setelah 1 tahun dan dipungut zakatnya sebesar 2,5% dari keseluruhan atau hanya dibatasi atas hasil investasi dan keuntungan jika nilainya cukup satu nisab.
Pendapat pertama menyatakan bahwa pemilik benda yang diinvestasikan, seperti gedung, kapal terbang, kapal laut, taksi, bus, dan sejenisnya, diperlakukan sama seperti pemilik barang dagang. Dengan demikian harga gedung itu harus dinilai setiap tahun, lalu ditambahkan keuntungan yang ada, dan kemudian dikeluarkan zakatnya 2,5%.
Menurut pendapat kedua, zakat tidak dipungut dari keseluruhan harga setiap tahun, tetapi dipungut dari keuntungan dan hasil investasi. Kadar zakatnya adalah sebanyak 2,5% tanpa mempersyaratkan 1 tahun. Menurut pendapat ketiga, zakat dikenakan berdasarkan hasilnya, bukan berdasarkan modalnya, dengan kadar zakat 10% dari hasil bersih apabila hasil bersih setelah biaya dikeluarkan dapat diketahui.
Tetapi apabila hasil bersih tidak bisa diketahui, zakat dikenakan berdasarkan seluruh hasil dengan kadar zakat sebesar 5%. Adapun nisabnya sama dengan nisab uang, yakni 96 gram emas.
Penerima Zakat.
Orang yang berhak menerima zakat (mustahak) disebutkan secara jelas dalam Al-Qur’an surah at-Taubah (9) ayat 60, “Sesungguhnya zakat-zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, penguruspengurus zakat, para mualaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berutang, untuk jalan Allah dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”
Orang yang berhak menerima zakat disebut juga asnaf. Dalam ayat tersebut, penerima zakat terdiri dari delapan golongan/kelompok (al-Asnaf ats-samaniyah).
- Fakir (Ar.: al-faqr, jamaknya: al-fuqara’) dan miskin (Ar.: al-miskin, jamaknya: al-masakin).
Di kalangan ulama terdapat perbedaan pendapat mengenai pengertian fakir miskin. Menurut Mazhab Hanafi, yang dimaksud dengan fakir adalah orang yang tidak memiliki penghasilan tetap untuk memenuhi kebutuhan hidup seharihari.
Adapun pengertian miskin adalah orang yang memiliki pekerjaan tetap tetapi tidak dapat mencukupi kebutuhannya sehari-hari. Menurut Mazhab Maliki, Mazhab Syafi‘i, dan Mazhab Hanbali, yang dimaksud dengan fakir adalah mereka yang tidak mempunyai harta atau penghasilan layak dalam memenuhi kebutuhan sandang, pangan, tempat tinggal, dan segala keperluan pokok lainnya, baik untuk dirinya sendiri maupun untuk mereka yang menjadi tanggungannya.
Misalnya, seseorang memerlukan uang Rp10.000 untuk kehidupannya dalam 1 hari, tetapi hanya memiliki Rp1.000 atau Rp2.000. Adapun yang dimaksud dengan miskin oleh ketiga imam tersebut adalah orang yang mempunyai harta atau penghasilan layak dalam memenuhi keperluannya dan keperluan orang lain yang menjadi tanggungannya, tetapi tidak tercukupi. Misalnya, seseorang memerlukan Rp10.000 tetapi hanya memiliki Rp7.000 atau Rp8.000.
- Amil Zakat.
Orang yang melaksanakan segala sesuatu yang berkenaan dengan kegiatan zakat, seperti pengumpul zakat, bendahara, penjaga, pencatat, penghitung, dan pembagi harta zakat. Allah SWT memberi imbalan kepada orang yang mengurus zakat dari harta zakat itu. Syarat amil zakat antara lain adalah:
(1) muslim;
(2) mukalaf, yaitu orang dewasa yang sehat akal dan pikirannya;
(3) jujur (dapat dipercaya);
(4) dapat memahami hukum zakat;
(5) sanggup memikul tugas sebagai amil;
(6) laki-laki, menurut sebagian ulama; dan
(7) orang merdeka, bukan hamba sahaya, menurut sebagian ulama.
- Mualaf. Orang yang diharapkan bahwa hati atau keyakinannya cenderung bertambah terhadap Islam atau orang tersebut terhalang untuk melakukan niat jahatnya terhadap kaum muslim, atau orang yang diharapkan akan bermanfaat dalam membela dan menolong kaum muslim dari musuh.
Fukaha membedakan mualaf ke dalam dua golongan, yaitu mualaf muslim dan mualaf kafir. Menurut fukaha, mualaf muslim ada lima macam.
(1) Golongan yang terdiri dari para pemuka dan pemimpin muslim. Dengan pemberian zakat, diharapkan tandingannya, yaitu orang kafir, akan masuk Islam.
(2) Para pemuka muslim yang beriman lemah tetapi ditaati pengikutnya. Dengan pemberian zakat, diharapkan ketetapan hati dan kekuatan iman mereka bertambah agar mereka rela berjihad.
(3) Kelompok kaum muslim yang berada di benteng dan daerah perbatasan dengan musuh. Mereka memperoleh bagian zakat dengan harapan agar mereka dapat mempertahankan diri dan membela kaum muslim lain yang tinggal jauh dari benteng itu dari serbuan musuh.
(4) Golongan kaum muslim yang diperlukan untuk memungut pajak serta zakat dan menariknya dari orang yang tidak mau menyerahkan zakat, kecuali dengan pengaruh dan wibawa mereka.
(5) Orang yang baru masuk Islam. Mereka perlu diberi santunan agar bertambah keyakinannya terhadap Islam. Az-Zuhri (ahli usul dan fikih) pernah ditanya tentang siapa yang masuk golongan mualaf ini. Dia menjawab, “‘Yahudi atau Nasrani yang masuk Islam.’ Ia ditanya lagi, ‘Walau mereka tergolong kaya?’ Ia menjawab, ‘Ya, walaupun mereka tergolong orang-orang berada.’”
Adapun mualaf kafir ada dua golongan, yaitu (1) golongan yang diharapkan keislamannya, baik dari keluarga maupun kelompoknya dan (2) golongan yang dikhawatirkan kejahatannya.
Mereka ini dimasukkan ke dalam kelompok mustahak dengan harapan dapat mencegah kejahatannya. Diriwayatkan Muslim bahwa Nabi SAW memberikan unta kepada Abu Sufyan, Safwan bin Umayah, dan Uyainah; Nabi SAW juga pernah memberikan sebagian harta rampasan Perang Hunain kepada Alqamah.
Ulama, terutama ulama mazhab yang empat, berbeda pendapat mengenai pemberian zakat kepada mualaf kafir. Ulama Mazhab Hanbali dan Maliki berpendapat, mereka boleh diberi zakat agar mereka tertarik kepada Islam.
Dalam sejarah Islam, Nabi SAW pernah memberikan zakat kepada mualaf muslim dan mualaf musyrik/kafir. Menurut ulama Mazhab Hanafi dan Syafi‘i, zakat tidak boleh diberikan kepa da orang kafir, baik untuk membujuk hatinya agar tertarik kepada Islam maupun untuk alasan lainnya.
Pemberian zakat kepada mereka pada masa awal Islam disebabkan umat Islam sangat sedikit sementara yang memusuhi Islam sangat banyak. Setelah Islam dan umatnya dimuliakan oleh Allah SWT, maka tidak perlu lagi membujuk hati orang kafir. Sepeninggal Nabi SAW, tidak ada lagi khalifah yang memberikan zakat kepada mereka.
Mengenai hal ini, Khalifah Umar bin Khattab berkata, “Kita tidak perlu lagi memberi sesuatu untuk menarik orang masuk Islam, barangsiapa yang ingin beriman, berimanlah, dan barangsiapa yang ingin kafir, kafirlah.”
Ulama juga berbeda pendapat mengenai eksistensi (keberadaan) mualaf sepeninggal Rasulullah SAW. Ulama Mazhab Hanafi dan Imam Malik berpendapat bahwa hak mualaf telah gugur setelah Islam tersebar luas dan kuat.
Sementara jumhur ulama, termasuk sebagian ulama Mazhab Maliki, berpendapat bahwa hukum mualaf itu tidak gugur; para mualaf tetap diberi zakat apabila keadaan menghendaki.
- Budak
Golongan ini mencakup budak mukattab dan budak biasa. Budak mukattab adalah budak yang telah dijanjikan oleh tuannya akan dimerdekakan apabila telah melunasi harga dirinya yang telah ditetapkan.
Dengan harta zakat, budak mukattab dibantu membebaskan diri dari belenggu perbudakan. Adapun budak biasa dibebaskan dengan harta zakat dengan membeli budak itu dari tuannya.
- Al-Garimin.
Orang yang berutang dan tidak mampu membayarnya. Al-Garimin antara lain adalah orang yang memikul utang untuk mendamaikan sengketa atau menjamin utang orang lain, sehingga harus membayarnya sampai hartanya habis, dan orang yang terpaksa berutang karena memang membutuhkannya untuk keperluan hidup atau membebaskan dirinya dari maksiat.
Mereka boleh menerima zakat yang cukup untuk melunasinya. Termasuk dalam kelompok ini adalah pedagang kecil yang meminjam modal usaha dari rentenir. Orang semacam ini dapat diberi zakat untuk mengembalikan seluruh utangnya dan untuk modal usaha selanjutnya agar ia bebas dari lintah darat dan mempunyai pekerjaan baru.
6. Sabilillah. Jumhur ulama berpendapat bahwa yang dimaksud dengan sabilillah adalah berperang. Adapun orang yang memperoleh bagian sabilillah adalah tentara sukarelawan yang tidak mendapat gaji dari pemerintah, meskipun mereka orang kaya. Sebagian ulama berpendapat bahwa orang yang melakukan ibadah haji termasuk golongan sabilillah dan ada pula yang mengatakan bahwa para pelajar dan santri termasuk ke dalam golongan ini.
Sabilillah adalah semua bentuk pendekatan diri kepada Allah SWT. Oleh karena itu setiap orang yang berusaha taat kepada Allah SWT dan menjalankan kebajikan dapat dimasukkan dalam sabilillah. Bagian zakat yang diperoleh sabilillah diharapkan dapat dipergunakan untuk
(1) peningkatan dakwah melalui lembaga dakwah;
(2) peningkatan pengetahuan kader Islam;
(3) peningkatan bangunan fisik keagamaan, seperti masjid dan madrasah;
(4) penyediaan nafkah orang yang sibuk dengan tugas agama, seperti kiai, guru agama, dan mubalig, yang belum mendapatkannya dari lembaga resmi maupun swasta;
(5) penyelenggaraan kursus keterampilan dan kewiraswastaan;
(6) penyediaan biaya untuk lembaga penelitian ilmu keagamaan; dan
(7) pengelolaan pusat rehabilitasi.
7. Ibnu Sabil.
Ulama membagi ibnu sabil ke dalam dua golongan, yaitu orang yang mengadakan perjalanan di tanah airnya sendiri dan orang yang mengadakan perjalanan di negeri orang. Ulama sepakat bahwa musafir yang kehabisan bekal di jalan boleh diberi sebagian dari zakat sekadar dapat mencukupi keperluannya selama perjalanan kembali, sekalipun musafir itu adalah orang kaya di negerinya. Dalam hal ini, ulama mempersyaratkan bahwa perjalanan itu hendaklah dalam melakukan ketaatan atau tidak dalam kemaksiatan.
Mengenai “perjalanan mubah” (perjalanan yang tidak bersifat wajib), mereka berbeda pendapat. Pendapat yang lebih kuat adalah pendapat Imam Syafi‘i, yaitu bahwa orang yang melakukan perjalanan mubah pun boleh menerima zakat. Bahkan menurut ulama Mazhab Syafi‘i, orang yang mengadakan perjalanan untuk bertamasya atau melancong pun boleh menerima zakat. Adapun Imam Malik dan Imam Ahmad berpendapat bahwa orang yang berhak menerima zakat hanyalah musafir yang berada di negeri orang. Jika ia berada di negerinya sendiri, ia tidak boleh menerima zakat.
Apabila ibnu sabil dengan kriteria seperti tersebut di atas sekarang sudah tidak ada lagi, maka bagiannya menurut ijtihad ulama dapat dimanfaatkan untuk
(1) mengirimkan mahasiswa ke luar negeri,
|(2) melakukan ekspedisi ilmiah,
(3) mengirimkan utusan ke konferensi,
(4) menyediakan pemondokan,
(5) memperbaiki jalan umum atau kelancaran lalu lintas, dan
(6) membiayai pendidikan dan pemeliharaan anak yatim.
Masalah dalam Zakat.
Pendistribusian dana zakat kepada delapan golongan yang tersebut di atas masih menjadi perbincangan di kalangan ulama. Permasalahan ini timbul karena di satu pihak zakat bertujuan untuk memenuhi kebutuhan bagi golongan yang kekurangan sedangkan di pihak lain, zakat itu harus dibagi kepada delapan golongan.
Imam Malik, Imam Abu Hanifah, dan Imam Ahmad bin Hanbal berpendapat bahwa harta zakat itu tidak harus dibagi delapan, bahkan penguasa atau imam dapat menyerahkan harta zakat itu untuk satu atau dua golongan saja meskipun golongan lain masih ada. Berbeda dengan pendapat ketiga imam tersebut, Imam Syafi‘i berpendirian bahwa zakat harus diserahkan kepada delapan golongan yang disebutkan Al-Qur’an karena disebutkan secara terperinci, kecuali jika salah satu golongan itu memang tidak ada pada waktu pembagian zakat dilakukan.
Ada pula satu golongan yang mengatakan bahwa apabila dana zakat itu banyak dan dapat dibagi secara merata untuk semua golongan yang ada, maka harus didistribusikan untuk semua golongan. Namun apabila jumlah zakat itu sedikit, sehingga kurang bisa dimanfaatkan jika dibagi-bagi, pembagiannya diserahkan pada kebijaksanaan imam atau penguasa. Mereka boleh memberikannya hanya kepada satu golongan.
Mengenai urutan prioritas golongan yang berhak menerima zakat juga tidak disebutkan dengan tegas, baik dalam Al-Qur’an maupun dalam hadis. Akan tetapi kebanyakan ulama memahami bahwa urutannya adalah sebagaimana yang terdapat dalam surah at-Taubah (9) ayat 60, walaupun kata penghubung yang terdapat dalam ayat itu bukan untuk “tertib”.
Ulama memahami bahwa urutan dalam Al-Qur’an menunjukkan urutan prioritas. Hal ini dapat dimengerti karena yang disebutkan dalam ayat itu lebih dahulu adalah golongan yang sangat memerlukan dibandingkan dengan golongan yang disebut kemudian. Namun tidak berarti urutan yang lebih dahulu menutupi urutan yang datang kemudian, baik menutupi secara penuh maupun hanya sebagian, seperti sistem hijab (penghalang) yang berlaku dalam hal waris.
Yang dimaksud dengan pemenuhan kebutuhan fakir miskin itu tidak hanya kebutuhan makan dan minum, tetapi mencakup segala macam kebutuhan, seperti tempat tinggal, pakaian, dan pendidikan. Untuk semua itu perlu ada skala prioritas.
Memprioritaskan fakir miskin seperti ini juga pernah dilakukan Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Dia mengangkat seorang amil zakat yang kemudian ditempatkan di Afrika. Umar memerintahkan amil zakat itu agar memprioritaskan pembagian zakat untuk para fakir miskin.
Tetapi setelah semua fakir miskin menerima bagian, ternyata harta zakat masih banyak dan petugas itu pun lalu berkirim surat kepada Khalifah untuk meminta petunjuk bagaimana membagikan zakat yang masih ada. Khalifah memberi petunjuk agar harta zakat yang tersisa itu diberikan kepada kaum al-garimin. Kemudian apabila sisanya masih ada, supaya diberikan kepada hamba sahaya yang ingin memerdekakan dirinya.
Untuk memanfaatkan dan mendayagunakan zakat dengan sebaik-baiknya, diperlukan kebijaksanaan dari pemerintah atau pengelola zakat. Dana zakat itu tidak harus diberikan kepada yang berhak secara apa adanya, tetapi dapat diberikan dalam bentuk lain yang dapat digunakan secara produktif.
Di samping ada hadis yang mengisyaratkan agar membagi harta zakat itu secepat mungkin, ada pula hadis yang memberi petunjuk untuk mengeluarkan zakat dari jenis yang sama dengan barang yang harus dizakati itu, sebagaimana terdapat dalam riwayat dari Mu‘az bin Jabal yang mengatakan bahwa sewaktu Nabi SAW mengutusnya ke Yaman sebagai penguasa atau wali, Nabi SAW berkata, “Pungutlah (zakat) biji-bijian dari biji-bijian, kambing dari kambing, unta dari unta, dan sapi dari sapi” (HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah).
Hadis ini mengisyaratkan bahwa zakat tidak dapat diganti dengan barang lain, walaupun sesuai dengan harga barang itu sendiri. Oleh sebagian besar ulama, hadis ini dijadikan alasan bahwa zakat harus diberikan apa adanya untuk digunakan secara konsumtif. Adapun ulama lain, termasuk Imam Abu Hanifah, memperbolehkan mengganti zakat dengan harganya (uang tunai).
Pemberian zakat kepada para mustahak dalam bentuk apa adanya untuk digunakan secara konsumtif itu cocok apabila sasaran pendayagunaannya adalah fakir miskin yang memerlukan makanan dengan segera. Menurut pendapat Mazhab Syafi‘i, kebutuhan fakir miskin dapat dipenuhi dengan harta zakat itu sampai diperkirakan bahwa mereka tidak akan terlantar lagi di hari depan.
Karena itu, pemberian zakat secara konsumtif kurang menjamin masa depan para mustahak. Bagi fakir miskin yang tidak mempunyai keterampilan dan kemauan bekerja, harta zakat itu akan cepat habis. Padahal harta atau dana tersebut diperlukan untuk membuka lapangan kerja baru yang diharapkan dapat mencukupi kebutuhan mereka sehari-hari dalam jangka panjang.
Dengan demikian, jumlah dana yang diberikan harus berbeda-beda sesuai dengan tempat, waktu, jenis usaha, dan sifat penerima zakat. Apabila fakir miskin itu tidak mempunyai keterampilan apa pun, mereka diberi zakat yang dapat mencukupi biaya hidup selama 1 tahun atau selama hidupnya.
Oleh karena itu, untuk mengelola dan mendayagunakan zakat yang terkumpul dengan sebaik-baiknya diperlukan kebijaksanaan amil zakat sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam surah at-Taubah (9) ayat 60.
Daftar Pustaka
Daerah Khusus Ibukota Jakata. Rekomendasi dan Pedoman Pelaksanaan Zakat. Jakarta: Bazis DKI Jakarta, 1987.
Departemen Agama RI. Pedoman Zakat. Jakarta: Proyek Pembinaan Zakat dan Wakaf, 1982.
Hazm, Abi Muhammad Ali bin Ahmad bin Said. al-Muhalla. Cairo: al-Jumhuriyah al-‘Arabiyah, 1976.
al-Jaziri, Abdurrahman. al-Fiqh ‘Ala al-Madzahib al-Arba‘ah. Beirut: Dar al-Fikr, 1972.
al-Maqdusi, Ibnu Qudamah. al-Mugni. Cairo: al-Manar, t.t.
al-Qardawi, Muhammad Yusuf. Fiqh az-Zakah. Beirut: Dar al-Irsyad, 1969.
Rahardjo, M. Dawam, “Zakat dalam Perspektif Sosial Ekonomi” Pesantren. t.tp.: t.p., No. 2, 1986.
Sabiq, Sayid. Fiqh as-Sunnah. Kuwait: Dar al-Bayan, 1968.
Saifuddin, Ahmad Muflih. Nilai-Nilai Sistem Ekonomi Islam. Jakarta: Media Dakwah, 1984.
asy-Syaukani, Muhammad bin Ali bin Muhammad. Nail al-Authar. Cairo: Mustafa al-Babi al-Halabi, t.t.
Uswatun Hasanah