KH Zaenal Mustofa adalah pejuang Islam pertama yang mengadakan pemberontakan terhadap pemerintah Jepang di Jawa Barat. Ia memimpin Pesantren Sukamanah di Singaparna, Jawa Barat.
Zaenal Mustofa lahir dengan nama Hudaeni dari keluarga petani yang berkecukupan di Kampung Bageur, Desa Cimerah, Kecamatan Singaparna, Kabupaten Tasikmalaya. Namanya menjadi Zaenal Mustofa setelah menunaikan ibadah haji pada 1927.
Ia memperoleh pendidikan formal hanya di Sekolah Desa. Di bidang agama ia belajar mengaji dari guru agama di kampungnya. Kemampuan ekonomis memungkinkannya untuk menuntut ilmu agama lebih banyak lagi.
Ia melanjutkan pendidikan dari satu pesantren ke pesantren lainnya di Jawa Barat selama 17 tahun (tidak diketahui persis pesantren apa yang pernah dimasukinya). Ia mahir berbahasa Arab dan luas pengetahuan keagamaannya.
Melalui ibadah haji ia berkenalan dengan para ulama terkemuka. Ia mengadakan tukar pikiran soal keagamaan dan berkesempatan melihat pusat pendidikan agama di Tanah Suci. Kontak dengan dunia luar itu mendorongnya untuk mendirikan sebuah pesantren setelah kembali dari menunaikan ibadah haji.
Pada 1927 ia mendirikan pesantren di Bageur, yang dinamai Pesantren Sukamanah. Melalui pesantren ini ia menyebarluaskan ajaran Islam, terutama paham Syafi‘i yang dianut masyarakat Indonesia pada umumnya dan umat Islam Jawa Barat pada khususnya.
Di samping itu, ia juga mengadakan beberapa kegiatan keagamaan ke pelosok desa di Tasikmalaya. Salah satunya adalah ceramah agama. Sejak itu ia memperoleh gelar kiai dari masyarakat.
Sejak 1940 KH Zaenal Mustofa secara terang-terangan mengadakan kegiatan yang membangkitkan semangat kebangsaan. Maka setelah Perang Dunia II pecah, pada 17 November 1941 ia bersama kawan-kawannya ditangkap dan dipenjarakan pemerintah kolonial Belanda.
Untuk beberapa waktu ia dibebaskan, tetapi menjelang masuknya Jepang, yaitu pada Februari 1942, ia ditangkap Belanda kembali dan dimasukkan ke penjara Ciamis. Baru pada akhir Maret 1942 ia dibebaskan Jepang dengan harapan ia mau membantu Jepang.
Namun dalam pidato singkat pada upacara penyambutannya kembali di Pesantren Sukamanah, ia memperingatkan pengikutnya agar tetap percaya kepada diri sendiri dan tidak mudah termakan propaganda asing.
Zaenal Mustofa mempunyai semangat juang tinggi. Pada masa pendudukan Jepang ia menentang pelaksanaan seikeirei (cara memberi hormat kepada kaisar Jepang dengan menundukkan badan ke Tokyo). Ia menganggap perbuatan itu bertentangan dengan ajaran Islam dan merusak tauhid, karena telah mengubah arah kiblat.
Zaenal Mustofa menganggap orang Jepang sebagai musyrik. Menurutnya, tidak perlu takut kepada orang musyrik, apalagi mengikuti perintahnya; justru sebaliknya harus memerangi dan menghilangkannya dari permukaan bumi.
Ia yakin bahwa dalam Islam hanya Allah SWT yang patut ditakuti dan dituruti; Allah SWT selalu bersama Tentara Jepang di Indonesia orang yang mau dekat kepada-Nya dan selalu memberikan pertolongan dan kekuatan kepada orang yang mau berjuang membela agama-Nya. Keyakinan seperti ini selalu ditanamkannya kepada para santrinya dan masyarakat Islam di sekitarnya.
Ia juga menentang dan mengecam romusha (pengerahan tenaga rakyat untuk kerja paksa). Dengan semangat jihad Zaenal Mustofa membela kebenaran agama dan memperjuangkan bangsa dan merencanakan akan mengadakan perlawanan terhadap Jepang pada 25 Februari 1944.
Akan tetapi, Jepang rupanya telah mencium rencana itu dan berusaha mencegahnya. Mereka mengirim utusan untuk mengadakan perundingan sehari sebelum penyerangan dimulai.
Akan tetapi, para utusan Jepang itu kemudian dibunuh oleh rakyat bersama anak buah Zaenal Mustofa. Hanya satu orang yang dibiarkan hidup. Yang satu ini kemudian disuruh pulang membawa ultimatum. Dalam ultimatum itu pemerintah Jepang dituntut untuk memerdekakan Pulau Jawa mulai dari tanggal 25 Februari 1944.
Pemerintah Jepang kemudian mengerahkan pasukan secara besar-besaran untuk menumpas kekuatan Zaenal Mustofa. Akibatnya pada akhir Februari 1944 terjadilah pertempuran sengit antara para santri serta masyarakat pendukung Zaenal Mustofa dan pasukan Jepang. Peristiwa ini dikenal dengan Pemberontakan Singaparna.
Besarnya pengaruh KH Zaenal Mustofa dalam pembentukan mental para santri dan masyarakat serta peranan pesantrennya sebagai lembaga pendidikan dan pembinaan umat membuat pemerintah Jepang merasa tidak bebas jika membiarkan pesantren ini tetap berjalan.
Maka, setelah terjadi peristiwa pemberontakan tersebut, Jepang menutup pesantren ini dan tidak memperbolehkannya melakukan kegiatan apapun. Ketika pertempuran berlangsung, KH Zaenal Mustofa tertangkap pemerintah Jepang dan ia dijatuhi hukuman mati. Eksekusinya dilaksanakan di Jakarta pada tanggal 25 Oktober 1944.
Dan pada tanggal 6 November 1972 ia diangkat sebagai Pahlawan Pergerakan Nasional dengan Keppres No. 064/TK/1972.
Daftar Pustaka
Benda, Harry J. The Crescent and the Rising Sun: Indonesian Islam under the Japanese Occupation 1942–1945, atau Bulan Sabit dan Matahari Terbit: Islam Indonesia pada Pendudukan Jepang 1942–1945, terj. Daniel Dhakidae. Jakarta: Pustaka Jaya, 1958.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Sejarah Daerah Jawa Barat. Jakarta: Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah, 1977/1978.
Ekadjati, Edi S., et al. Sejarah Perlawanan terhadap Imperialisme dan Kolonialisme di Jawa Barat. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1978.
Hidayat, Syarief. Riwayat Singkat Perjuangan H Zaenal Mustofa. Tasikmalaya: t.p., 1961.
Ricklefs, M.C. Sejarah Indonesia Modern. Yogyakarta: Gajah Mada Press, 1993.
Husmiaty Hasyim