Yusuf, Syekh

(Goa, Sulawesi Selatan, 3 Juli 1626 – Cape Town, Afrika Selatan, 23 Mei 1699)

Syekh Yusuf dikenal sebagai ulama, mufti, pendiri tarekat, dan penulis. Ia lahir 21 tahun setelah Islam diterima sebagai agama resmi di Kerajaan Goa (1605).

Nama asli Syekh Yusuf adalah Muhammad Yusuf; terkenal dengan gelar asy-Syaikh al-hajj Yusuf Abu Mahasin Hadiyatullah Taj al-Khalawati al-Makassari al-Bantani. Di kota kelahirannya sendiri ia lebih dikenal para pemujanya dengan gelar Tuanta Salamaka (Tuan kita yang selamat dan mendapat berkah).

Menurut naskah kuno Lontara Makassar, ibunya, ITubiana Daeng Kunjung, adalah putri kepala desa Moncong Loe. Dari garis keturunan ibunya, ia masih saudara raja Goa, Karaeng Bisei (1674–1677) dan Sultan Abdul Jalil (1677–1709). Ayahnya, yang tidak diketahui namanya, adalah seorang petani yang rajin dari desa Ko’mara.

Sejak kecil, Syekh Yusuf sudah menampakkan tanda-tanda kecintaannya kepada ilmu pengetahuan keislaman, sehingga dalam waktu yang relatif singkat ia berhasil menamatkan Al-Qur’an 30 juz. Kemudian ia belajar ilmu nahu, sharaf, mantik (logika), gaya bahasa (bayan dan ma‘ani), serta balaghah (kefasihan).

Dengan menguasai ilmu alat (bahasa), ia mampu mempelajari kitab fikih, tafsir, hadis, dan tasawuf. Ilmu yang terakhir ini lebih menarik perhatiannya, karena Islam pada awal masuknya di Sulawesi Selatan bercorak mistik di samping bercorak fikih dengan orientasi mazhab. Syekh Yusuf, yang hidup dalam suasana zaman tersebut, lebih banyak menghabiskan waktunya untuk mendalami tasawuf dan aliran tarekat yang beraneka ragam.

Dalam rangka memperdalam ilmu yang telah diperolehnya dan sekaligus menunaikan rukun Islam yang kelima, Syekh Yusuf meninggalkan pelabuhan Tallo (Makassar) pada 22 September 1645 dengan menumpang kapal dagang Portugis. Dalam pelayarannya menuju Mekah, ia sempat singgah di Banten dan berkenalan dengan putra mahkota Kesultanan Banten.

Dari Banten ia melanjutkan perjalanannya ke Aceh dan bertemu dengan Syekh Nuruddin ar-Raniri. Melalui Syekh ar-Raniri, ia mempelajari Tarekat Kadiriyah dan berhasil memperoleh ijazah. Kemudian ia melanjutkan perjalanannya ke Yaman. Di sana ia menemui Syekh Abdullah Muhammad Abdul Baqi’ dan menerima Tarekat Naqsyabandiyah; di Zubaid (Yaman) ia juga menerima ijazah Tarekat as-Sa’adat al-Ba’lawiyah dari Sayid Ali.

Dari Yaman, Syekh Yusuf bertolak ke Mekah untuk menunaikan ibadah haji. Kemudian ia pergi ke Madinah untuk menambah ilmunya. Di sini ia memperoleh ijazah Tarekat Syattariyah dari Syekh Burhanuddin al-Millah bin Syekh Ibrahim bin Husein bin Syihabuddin al-Kurdi al-Madani.

Selanjutnya, ia pergi ke negeri Syam (Suriah) dan berguru pada Syekh Abu al-Barakah Ayyub bin Ahmad al-Khalawati al-Quraisy, imam Masjid Syekh al-Akbar Muhyiddin bin Arabi. Ulama inilah yang memberinya gelar Syekh Yusuf Taj al-Khalawat Hadiyatullah.

Syekh Yusuf mempunyai peranan cukup besar dalam melanjutkan proses islamisasi di Sulawesi Selatan yang telah dirintis sebelumnya oleh tiga mubalig dari Minangkabau, yaitu Abdul Makmur Khatib Tunggal (Datok ri Bandang), Sulaiman Khatib Sulung (Datok ri Patimang), dan Abdul Jawad Khatib Bungsu (Datok ri Tiro).

Di samping itu, Syekh Yusuf juga berjasa dalam menyebarluaskan dan mengembangkan Islam di Banten, Sri Lanka, dan Afrika Selatan.

Selama menetap di Banten, ia giat berdakwah dan mengajarkan ilmu agama Islam. Murid-muridnya adalah sultan, keluarga raja, dan rakyat Banten. Tidak sedikit pula pelaut Bugis dan Makassar yang tinggal di sekitar Banten dan Jakarta berguru kepadanya. Ia mengeluarkan fatwa yang berkenaan dengan situasi dan kondisi masyarakat pada waktu itu.

Aktivitasnya di bidang keagamaan sejalan dengan keinginan dan cita-cita Sultan Ageng Tirtayasa untuk menjadikan Banten kerajaan Islam yang besar dan kubu pertahanan Islam di Nusantara dalam membendung dan menentang keinginan kompeni Belanda untuk menjajah Tanah Air.

Oleh karena itu, di samping menjadi mufti, ia juga diangkat sebagai panglima perang dan menantu Sultan Ageng Tirtayasa. Ketika Sultan ditangkap kompeni Belanda, Syekh Yusuf bersama Pangeran Purbaya dan Pangeran Kidul masuk ke hutan untuk bergerilya. Syekh Yusuf dengan tentaranya menuju ke arah Cirebon.

Kemudian di Mandala (daerah Sukapura, Cirebon), ia membuat benteng pertahanan, sehingga kompeni Belanda merasa sulit untuk menangkapnya. Tetapi dengan tipu muslihat Belanda, akhirnya Syekh Yusuf dapat ditangkap. Ia bersama istrinya dibawa ke Batavia (Jakarta), kemudian ditahan di penjara Benteng.

Pada 12 September 1684 Syekh Yusuf dibuang ke Sri Lanka, kemudian pada 7 Juli 1693 dipindahkan ke Tanjung Harapan, Afrika Selatan, disertai 49 orang pengikutnya. Di sinilah ia wafat dan dimakamkan. Tetapi atas permintaan Sultan Abdul Jalil kepada pemerintah kolonial Belanda, pada 1703 kerangka Syekh Yusuf dipindahkan ke Lakiung, Goa, Sulawesi Selatan. Kuburannya dikenal masyarakat Sulawesi Selatan dengan nama Kobbang (kubah).

Ajaran pokok tarekat Syekh Yusuf berkisar pada usaha manusia untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT yang mengacu pada peningkatan kualitas akhlak yang mulia serta penekanan amal saleh dan zikir. Ibadah salat dan zikir merupakan amalan-amalan yang dapat membawa seorang salik (hamba) sampai ke ujung suluknya.

Dengan demikian, kedudukan zikir dalam tarekat Syekh Yusuf menempati posisi yang sangat penting; setiap pengikutnya wajib mengamalkan zikir, baik dilakukan secara perseorangan maupun kelompok.

Karya tulis Syekh Yusuf hampir seluruhnya berbicara mengenai bidang tasawuf dan tarekat, antara lain Zubdat al-Asrar fi Tahqiq Ba‘d Masyarib al-Akhyar, Mathalib as-Salikin, Fath Kaifiyyat adz-dzikr, dan Safinat an-Najat. Ada kurang lebih 20 buah karya tulis Syekh Yusuf yang masih berbentuk manuskrip di Museum Pusat Jakarta.

Daftar pustaka
Amansyah, A. Makkarausu. Tentang Lontara Syekh Yusuf, Tajul Khalwatiah. Ujung Pandang: Perpustakaan Universitas Hasanuddin, 1975.
HAMKA. Dari Perbendaharaan Lama. Medan: CV Maju, 1963.
Ligtvoet, A. Transcriptie van de Lontara Bilang of Het Daboek der Vorsten van Gowa en Tallo. S. Graven Hage: Volsdrukkerij, 1877.
Magassing, Nuruddin Daeng. Riwayat Tuanta Salamaka Syekh Yusuf. Makassar: Volsdrukkerij, 1933.
Pelras, Christian. Religion, Tradition and Dynamic of Islamization in South Sulawesi, in Archipel. t.tp.: t.p., 1985.
Tudjimah. Syekh Yusuf Makassar: Riwayat Hidup, Karya dan Ajarannya. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1987.
Arfah Shiddiq