Yusuf, Maulana

(Banten, 1553–1580)

Maulana Yusuf adalah sultan Banten kedua yang memerintah 1570–1580. Ia menerima takhta Kesultanan Banten dari ayahnya, Sultan Maulana Hasanuddin (1552–1570), ketika Islam berkembang di wilayah itu.

Maulana Yusuf melanjutkan pembinaan masjid dan pesantren yang telah dirintis kakeknya (Syarif Hidayatullah, 1448–1568, yang terkenal dengan gelar Sunan Gunung Jati) dan ayahnya serta membangun masjid lainnya di Kasunyatan. Masjid Agung Banten dijadikannya tempat berdakwah ulama dan bermusyawarah para pemimpin kerajaan mengenai masalah pembangunan bidang spiritual (keagamaan) dan bidang materiil (fisik).

Sementara itu, Pesantren Kasunyatan dijadikannya tempat pengembangan ajaran Islam. Yang bertindak sebagai kiai di pesantren tersebut dan sekaligus sebagai guru agama Maulana Yusuf adalah Pangeran Dukuh yang kemudian bergelar Pangeran Kasunyatan.

Salah satu hasil karya dari Pesantren Kasunyatan ialah sebuah Al-Qur’an kuno yang ditulis tangan tidak diketahui siapa penulisnya dan kini disimpan di cungkup makam Maulana Yusuf di Pekalangan Gede. Hasil tulisan tangan itu menunjukkan aktivitas keagamaan pada masa itu sebagai bukti penyiaran agama melalui seni baca Al-Qur’an. Selain itu, di Kasunyatan terdapat pula sebuah asrama kuno peninggalan Maulana Yusuf.

Menurut Babad Banten, Maulana Yusuf bersosok gagah perkasa dan memiliki keterampilan istimewa dalam ilmu perang. Ketika ia menduduki takhta kesultanan, penduduk di seluruh wilayah Banten, baik di pusat kota Banten Girang (Banten Hulu) dan Banten Surosowan (Banten Lama), maupun daerah selatan telah memeluk agama Islam.

Hal ini disebabkan penguasa tertinggi di Banten yang beragama Hindu, Adipati Pucuk Umum (Panembahan) yang berkedudukan di Pulosari, Pandeglang (Jawa Barat), telah menyerahkan kekuasaannya kepada penguasa baru yang beragama Islam. Sebaliknya, penguasa pusat Kerajaan Sunda di Pakuan yang sekarang terletak di sekitar Bogor belum mau masuk Islam.

Oleh karena itu, Maulana Yusuf bermaksud mengadakan serangan langsung ke ibukota Pajajaran untuk mengajak mereka masuk Islam. Pada 1579, Maulana Yusuf berhasil menaklukkan Pakuan, ibukota Pajajaran. Dengan demikian, berakhirlah kerajaan Hindu di Jawa Barat. Sebagian pemeluk agama Hindu yang setia pada agamanya melarikan diri ke pegunungan. Keturunan mereka dinamai suku Badui, yang berdomisili di sekitar Cibeo, Banten Selatan.

Di bawah pemerintahan Sultan Maulana Yusuf, Kesultanan Banten semakin maju. Perdagangan semakin ramai, bahkan Banten merupakan tempat persinggahan barang dari segala penjuru dunia yang akan dipasarkan ke seluruh Nusantara. Para pedagang yang singgah di sana terutama berasal dari Cina, Arab, Persia (Iran), dan Gujarat.

Selain itu ia juga giat mengembangkan dan menata kota, membangun pengairan dan pertanian, memperkuat bidang pertahanan serta keamanan, dan mengembangkan perkebunan yang sudah ada.

Sultan Maulana Yusuf juga menganjurkan rakyatnya membuka daerah baru untuk persawahan. Pencetakan sawah baru ini tidak hanya dilakukan di sekitar ibukota kerajaan, tetapi juga sampai ke daerah Serang sekarang. Untuk memenuhi kebutuhan air bagi sawah tersebut, dibuat terusan dan bendungan.

Sementara itu, di pusat kota dibuat satu danau buatan yang disebut Tasik Ardi. Di tengah danau buatan tersebut terdapat sebuah pulau kecil yang dipergunakan sebagai tempat rekreasi. Air Sungai Cibanten dialirkan melalui terusan khusus ke danau itu, kemudian dibagi ke daerah persawahan di sekelilingnya. Tasik Ardi juga digunakan sebagai penampungan air untuk kebutuhan penduduk kota.

Maulana Yusuf dikaruniai dua orang anak dari perkawinannya dengan Ratu Hadijah, yaitu Ratu Winaon dan Pangeran Muhammad. Dari istrinya yang lain, ia dikaruniai 13 orang anak.

Setelah mangkat, Maulana Yusuf diberi gelar Pangeran Panembahan Pekalangan Gede atau Pangeran Pasarean. Ia wafat dengan meninggalkan kerajaan yang kuat dan luas. Sebagai penggantinya diangkatlah Pangeran Muhammad yang kemudian bergelar Kanjeng Ratu Banten Surosowan atau Pangeran Ratu Ing Banten. Karena pada waktu itu Pangeran Muhammad baru berusia 9 tahun, untuk sementara pemerintahan ditangani oleh Mangkubumi sampai Pangeran menjadi dewasa.

Daftar pustaka
Ambary, Hasan Muarif, et al. Laporan Penelitian Arkeologi Banten 1976. Jakarta: P3N, 1978.
Amin, Rachmatullah. Banten dalam Perspektif Sejarah Islam. Serang: Grafika Populer, 1990.
Cortesao, Armando. The Suma Oriental of Tomé Pires. London: The Hakluyt Society, 1944.
Djajadiningrat, P.R.A. Hoesein. Tinjauan Kritis tentang Sejarah Banten. Jakarta: Djambatan, 1983.
Meilink, M.A.P. Roelofsz. Asian Trade and European Influence in The Indonesian Archipelago Between 1500 and About 1650. Den Haag: Martinus Nijhoff, 1962.
Muhammad, Tb. A. Ismail. Petunjuk Jalan dan Keterangan Bekas Kerajaan Kesultanan Banten. Serang: Saudara, 1983.
Tjandrasasmita, Uka. ed. Sejarah Nasional Indonesia: Jaman Pertumbuhan dan Perkembangan Kerajaan-Kerajaan Islam di Indonesia. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1975.
Arfah Shiddiq