Anak yang bapaknya telah meninggal dan belum balig (dewasa), baik ia kaya atau miskin, laki-laki atau perempuan dalam literatur fikih klasik disebut yatim.
Anak yang bapak dan ibunya telah meninggal termasuk juga dalam kategori yatim dan biasanya disebut yatim piatu. Istilah piatu ini hanya dikenal di Indonesia, sedangkan dalam literatur fikih klasik hanya dikenal istilah yatim.
Santunan terhadap anak yatim piatu lebih diutamakan daripada anak yatim, yang dalam kajian usul fikih disebut mafhum al-muwafaqah fahwa al-khithab (pemahaman yang sejalan dengan yang disebut, tetapi yang tidak disebut lebih utama), karena anak yatim piatu lebih memerlukan santunan daripada anak yatim.
Anak yatim mendapat perhatian istimewa dalam pandangan Islam. Dalam Al-Qur’an ada 22 ayat yang berkenaan dengan anak yatim, yaitu surah al-An‘am (6) ayat 152, surah al-Isra’ (17) ayat 34, surah al-Fajr (89) ayat 17, surah ad-duha (93) ayat 6 dan 9, surah al-Ma‘un (107) ayat 2, surah al-Insan (76) ayat 8, surah al-Balad (90) ayat 15, surah al-Kahfi (18) ayat 82, surah al-Baqarah (2) ayat 83, 177, 215, dan 220, surah an-Nisa’ (4) ayat 2, 3, 6, 8, 10, 36, dan 127, surah al-Anfal (8) ayat 41, dan surah al-Hasyr (59) ayat 7.
Bagi anak yatim yang miskin, umat Islam secara keseluruhan diwajibkan untuk menyantuninya. Oleh karena itu, anak yatim mendapat bagian, baik dari fai’, yaitu harta musuh yang diambil tanpa berperang terlebih dahulu (QS.59:7), maupun dari ganimah, yaitu harta rampasan perang (QS.8:41). Anak yatim juga mendapat bagian dari infak dan sedekah (antara lain QS.2:215, QS.90:15, dan QS.76:8).
Terhadap anak yatim yang memiliki harta, tata cara pemeliharaannya terlihat dalam Al-Qur’an dan hadis. Dalam Al-Qur’an surah an-Nisa’ (4) ayat 10 disebutkan, “Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyalanyala (neraka).”
Dalam surah al-An‘am (6) ayat 152 disebutkan pula, “Dan janganlah kamu dekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih bermanfaat, hingga sampai ia dewasa….”
Surah an-Nisa’ (4) ayat 6 membolehkan wali miskin memakan harta anak yatim namun tidak membolehkan wali kaya memakan harta anak yatim:
“Barangsiapa (di antara pemelihara anak yatim itu) mampu, maka hendaklah ia menahan diri (dari memakan harta anak yatim itu) dan barangsiapa yang miskin, maka bolehlah ia makan harta itu menurut yang patut. Kemudian apabila kamu menyerahkan harta kepada mereka, maka hendaklah kamu adakan saksi-saksi (tentang penyerahan itu) bagi mereka….”
Adapun dalam hadis yang diriwayatkan Abu Dawud, diceritakan bahwa ada sahabat Nabi SAW yang memelihara anak yatim. Ia memisahkan makanan dan minuman dari makanan dan minuman anak yatim yang dipeliharanya.
Jika makanan anak yatim itu bersisa, ia membiarkannya sampai busuk karena takut akan ancaman Allah SWT jika ia makan makanan itu. Lalu ia menghadap Rasulullah SAW dan menanyakan masalah itu kepadanya. Maka turunlah surah al-Baqarah (2) ayat 220 yang berarti, “…Dan mereka bertanya kepadamu tentang anak-anak yatim. Katakanlah, ‘Mengurus urusan mereka secara patut adalah baik, dan jika kamu menggauli mereka, maka mereka adalah saudaramu dan Allah mengetahui siapa yang membuat kerusakan dari yang mengadakan perbaikan.’”
Ayat tersebut menunjukkan bahwa tidak ada salahnya memakan harta anak yatim dengan maksud baik atau dengan jalan baik.
Diriwayatkan pula, pada suatu hari datang seorang sahabat dan bertanya kepada Rasulullah SAW,
“Ya, Rasulullah, aku ini orang miskin, tapi aku memelihara anak yatim dan hartanya, bolehkah aku makan dari harta anak yatim itu? Rasulullah SAW menjawab, ‘Makanlah dari harta anak yatim sekadar kewajaran, jangan berlebih-lebihan, jangan memubazirkan, jangan hartamu dicampurkan dengan harta anak yatim itu’” (HR. Abu Dawud, an-Nasa’i, Ahmad, dan Ibnu Majah dari Abdullah bin Umar bin Khattab).
Hadis tersebut menjelaskan bahwa memakan harta anak yatim dibolehkan jika si pemelihara itu tidak mampu atau miskin. Apa yang dimakannya hanya sekadar upah lelah mengelola milik anak yatim itu.
Dalam Islam, pemeliharaan dan pembinaan anak yatim itu bukan terbatas pada hal-hal yang bersifat fisik, seperti harta, tetapi secara umum juga mencakup hal-hal yang bersifat psikis (QS.93:9 dan QS.107:2).