Wudu

Akar kata al-wudhu’ adalah al-wadha’ah (bagus dan bersih). Wudu adalah cara untuk menghilangkan hadas kecil­ yang dilakukan ketika akan menger­jakan­ salat dan ibadah lain yang mempersyaratkan wudu. Salat dan ibadah lain itu tidak sah jika pelakunya tidak dalam keadaan berwudu (suci).

Para fukaha (ahli fikih) mengartikan wudu sebagai­ pe­kerjaan menggunakan air yang dibasuhkan pada anggotaan-ggota badan tertentu yang diawali dengan niat. Pengertian­ ini sejalan dengan­­perintah yang terdapat dalam surah al-Ma’idah (5) ayat 6,

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan salat,­ maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh)­ kakimu sampai dengan­ kedua mata kaki.”

Hal ini sejalan pula dengan contoh yang diberikan Nabi SAW seperti disebut dalam banyak hadis. Mengenai wudu dalam kaitannya dengan salat, Nabi SAW bersabda, “Allah tidak akan menerima salat seseorang di antara kalian apabila berhadas sebelum ia berwudu” (HR. al-Bukhari dan Muslim).

Dalam melakukan wudu ada beberapa syarat yang harus dipenuhi, antara lain: harus mengguna­kan­ air yang suci dan mensucikan, semua anggota wudu (muka, tangan, kepala, dan kaki) yang wajib dibasuh harus benar-benar rata terbasuh (tidak terdapat kotoran atau benda penghalang­ yang meng­ halangi sampainya­ air pada ang­gota wudu), dan orang yang berwudu hendaknya memahami seluk-beluk berwudu.

Wudu juga harus dilakukan mengikuti rukun-rukun sebagai berikut, yaitu: (1) niat berwudu untuk menghilangkan­ hadas kecil yang pelaksa­naan­nya­ bersamaan dengan permulaan membasuh­ muka; (2) membasuh muka, artinya meng­ alirkan air ke seluruh kulit muka. Batas muka: panjangnya dari puncak kening sampai dagu dan lebarnya sampai batas telinga kiri dan kanan; (3) membasuh kedua tangan sampai kedua siku; (4) menyapu ke­pala, sebagian atau seluruhnya;

(5) membasuh kedua­ kaki sampai kedua mata kaki; dan (6) tertib, maksudnya pelaksanaan membasuh­ anggota-ang­gota wudu itu sesuai dengan urut-urutan yang tersebut dalam surah al-Ma’idah (5) ayat 6 di atas. Pelaksanaan wudu yang tidak memenuhi syarat dan rukun dipandang tidak sah menurut agama.

Terdapat pula hal-hal yang bersifat anjuran atau sunah dalam berwudu sebagaimana telah diring­kaskan­ ulama fikih dari banyak hadis­ Rasulullah SAW, yaitu:

(1) membaca basma­lah­ (ucapan­ Bismi Allah ar-Rahman ar-Rahim) pada permulaan,­ dan jika lupa di­sunahkan membacanya di tengah-tengah;

(2) menggosok­ gigi dengan­ menggunakan­ kayu siwak atau alat lain yang dapat digunakan untuk membersihkan gigi;

(3) mencuci dua telapak tangan sampai perge­langa­n;

(4) berkumur­-kumur;

(5) memasukkan atau mengisap­ air ke dalam hidung dan kemudian mengeluarkan­nya­ kembali;

(6) menyapu kedua telinga setelah menya­pu­ kepala; (7) menyilang-nyilangi jenggot yang tebal;

(8) menyilang-nyilangi­­jari tangan dan jari kaki;

(9) membasuh­ dan menyapu setiap anggota wudu, dilakukan sebanyak­-banyaknya tiga kali;

(10) tayammun, artinya men­ dahulukan membasuh atau menyapu anggota wudu yang sebelah kanan daripada yang kiri;

(11) muwalat, artinya secara berturut-turut membasuh anggota demi anggota, jangan sampai yang berwudu menyela wudunya dengan­ pekerjaan lain sebelum selesai;

(12) melebihkan membasuh ang­gota wudu dari batas minimal yang telah ditentukan;

(13) berdoa setelah selesai berwudu dimulai dengan meng­ucapkan dua kalimat syahadat, kemudian mengucapkan doa yang dituntunkan Nabi SAW, “Allahummaj‘alni minattawwabina,­ waj‘alni minal mutathahhirin” yang berarti, “Ya Allah jadikan­ lah aku termasuk orang-orang yang bertaubat dan jadikanlah aku termasuk orang-orang yang bersuci” (HR. at-Tirmizi); dan

(14) salat dua rakaat setelah selesai berwudu, yang dinamai salat sunah wudu.

Wudu bisa rusak atau batal disebabkan hal-hal berikut:

(1) keluar sesuatu dari kubul­ dan atau dubur, seperti air kencing, tinja, angin (kentut), air mani, dan mazi;

(2) tidur nyenyak­ hingga hilang kesadaran dan diduga bahwa pinggulnya tidak­ tetap di atas lantai/tempat duduk;­

(3) hilang akal, baik karena gila, pingsan, mabuk, ayan, dan lain-lain; dan

(4) memegang kemaluan tanpa ada batas atau penghalang. Kecuali­ itu, ulama fikih­ berbeda pendapat da­lam hal persentuhan kulit laki-laki dengan perempuan yang sudah balig dan bukan muhrim. Di antara mereka, seperti ulama-ulama Mazhab Syafi‘i, berpendapat bahwa persentuhan yang demikian itu membatalkan wudu, sedang sebagian­ yang lain berpendirian bahwa hal tersebut tidak membatalkan wudu.

Yang tidak termasuk membatalkan wudu ialah:­ (1) keluar darah dari jalan yang tidak lazim, seperti hidung, mulut, dan telinga, baik banyak maupun sedikit; (2) muntah; (3) makan daging kerbau, sapi, unta, dan lain-lain; (4) kebimbangan­ orang yang telah berwudu­ mengenai hadas; (5) tertawa­ terbahak-bahak di waktu salat; dan (6) memandikan mayat.

Ada tiga hal yang untuk melakukannya­ sese­ orang harus suci dari hadasdan karena­nya harus berwudu sebelumnya, yaitu: (1) salat, baik salat­ fardu maupun salat sunah, termasuk salat jenazah; (2) tawaf di Baitullah; dan (3) menyentuh atau membawa­ mushaf (Al-Qur’an). Sung­guhpun demikian­ dalam hal yang terakhir ini ulama berbeda pendapat. Ada yang membolehkan­ menyentuh atau mem-bawa Al-Qur’an walaupun tidak berwudu.

Hal-hal yang diutamakan dan disunahkan berwudu sebelum mengerjakannya adalah: (1) berzikir; (2) ketika hendak tidur; (3) bagi orang yang junub (punya hadas besar) ketika mau makan, mi­num atau mau mengulangi persetubuhan; (4) sebelum mandi wajib atau mandi sunah; dan (5) memperbarui wudu untuk setiap kali salat.

Mengusap Sepatu. Dimaksudkan dengan sepatu di sini adalah alas kaki yang menutupi kaki sampai ke mata kaki atau lebih, yang dalam bahasa fikih disebut khuff. Menurut imam mazhab yang empat, orang yang mengenakan khuff ketika berwudu boleh tidak membuka khuff-nya untuk membasuh dua kaki, tetapi cukup mengusapnya.

Kebo­lehan ini merupakan suatu keringanan (rukhsah) bagi orang yang sedang mengadakan perjalanan ataupun tidak, laki-laki maupun perempuan, terutama di musim dingin serta orang-orang yang mempunyai kesibukan rutin, seperti tentara, polisi, pelajar, dan karyawan.

Dasar kebolehan ini adalah hadis Rasulullah SAW, antara lain hadis yang diriwayatkan dari Jabir bin Abdullah bahwa dia melihat Rasulullah SAW buang air kecil, kemudian berwudu dan mengusap khuff-nya tanpa membukanya (HR. Ahmad bin Hanbal, al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, dan at-Tirmizi).

Menurut kesepakatan fukaha syarat yang harus dipenuhi untuk mengusap khuff ialah: (1) Orang yang mengenakannya­ hendaknya telah bersuci lebih dahulu, sesuai dengan hadis al-Mugirah bahwa dia dalam perjalanan bersama­ Nabi Muhammad SAW, lalu dia bermaksud membukakan­ kedua khuff Nabi Muhammad SAW ketika akan berwudu.

Maka beliau bersabda, “Biarkan, jangan dibuka karena aku mengenakan-nya dalam keadaan suci”, kemudian­ beliau mengusapnya (HR. al-Bukhari dan Muslim). (2) Khuff itu harus suci dan menutupi seluruh bagian kaki yang harus dibasuh dalam berwudu. (3) Khuff harus terbuat dari bahan yang dapat digunakan untuk mengadakan­ perjalanan sekurang-kurangnya tiga mil.

Fukaha berbeda pendapat mengenai cara mengusap khuff. Menurut fukaha Mazhab Hanafi dan Mazhab Hanbali adalah mengusap bagian depan khuff memanjang dari ujung tempat jari kaki sampai ke ujung khuff pada betis. Menurut fukaha Mazhab Maliki, mengusap seluruh permukaan­ atas khuff. Menurut fukaha Mazhab Syafi‘i, cukup apa yang disebut mengusap, seperti mengusap kepala­.

Fukaha berbeda pendapat mengenai masa kebolehan mengusap khuff. Fukaha Mazhab Maliki mengatakan bahwa­ mengusap khuff tidak mempunyai batasan waktu selama orang yang mengenakannya tidak menanggalkannya­ atau berjunub.

Meskipun begitu, mereka meng­anjurkan untuk membuka khuff seminggu sekali, sesuai dengan hadis Ubayy bin Ammarah bahwa dia bertanya kepada Rasulullah SAW, “Ya Rasulullah, apakah aku boleh meng­usap khuff?” Beliau menjawab, “Ya.” “Apakah satu hari?” tanya Ubayy, “Ya”, jawab Rasulullah SAW. “Apakah dua hari?” tanya Ubayy. “Ya, dua hari”, jawab Rasulullah SAW. “Apakah tiga hari?” tanya Ubayy lagi. “Ya sekehendakmu,” jawab Rasulullah SAW (HR. Abu Dawud).

Menurut jumhur fukaha, masa mengusap khuff adalah sehari semalam untuk orang yang bermukim dan tiga hari tiga malam bagi orang yang mengadakan perjalanan. Dasar­ nya adalah hadis Ali bin Abi Thalib bahwa Rasulullah SAW membolehkan mengusap khuff selama tiga hari tiga malam bagi orang yang sedang bepergian dan sehari semalam bagi orang yang bermukim (HR. Muslim, Abu Dawud, at-Tirmizi, dan Ibnu Majah).

Menurut Wahbah az-Zuhaili, kebolehan mengusap khuff dapat gugur karena hal-hal sebagai berikut: (1) hal-hal yang membatalkan wudu; (2) berjunub; (3) menanggalkan salah satu atau sepasang khuff; (4) tampaknya sebagian kaki, umpamanya karena khuff berlubang; (5) sebagian besar kaki terkena air; dan (6) habisnya masa kebolehan mengusap­ khuff.

Daftar pustaka

al-Ansari, Abi Yahya Zakaria. Fath al-Wahhab bi Syarh Manhaj at-Tullab. Beirut: Dar al-Fikr, t.t.
al-Asqalani, Syihabuddin Abu Fadl Ibnu Hajar. Bulug al-Maram. t.tp.: t.p., t.t.
HAMKA. Tafsir al-Azhar. Singapura: Pustaka Nasional, 1990.
al-Hisni, al-Imam Taqiyuddin Abu Bakar bin Muhammad al-Husaini. Kifayah al-Akhyar. Bandung: Syarikah al-Ma‘arif, t.t.
Sabiq, Sayid. Fiqh as-Sunnah. Cairo: Dar al-Fikr, 1983.
ash-Shiddieqy, T.M. Hasbi. Koleksi Hadis-Hadis Hukum. Bandung: al-Ma‘arif, 1976.

Ahmad