Wirid

(Ar.: al-wird)

Wirid (jamak: awrad) adalah zikir, doa, atau amalan lain yang biasa dibaca atau diamalkan­­ setelah salat, baik salat wajib maupun salat sunah. Wirid juga dapat berarti salat sunah (tambahan salat wajib) yang dilakukan oleh orang mukmin yang saleh secara rutin setiap hari pada waktu tertentu, siang atau malam.

Meskipun hukum wirid itu pada mulanya hanya­ sunah, namun oleh sementara orang yang mengamalkannya­ wirid sering dipandang sebagai suatu kewajiban. Dengan demikian jika wirid tidak­ bisa ia kerjakan pada waktu yang ditentukan (karena adanya­ suatu halangan), ia harus membayarnya di lain waktu.

Dalam prakteknya, wirid dibagi menjadi dua bagian­. Pertama, wirid ‘amm atau zikir jahri, yaitu wirid dalam formula eksoterik atau dalam bentuk amal lahir menurut beberapa ukuran tertentu. Mi­salnya membaca istigfar beberapa ratus kali yang dilakukan beberapa kali dalam sehari semalam,­ yakni­ dilakukan setelah salat subuh dan magrib sebagaimana dilakukan kalangan Alawiyin­ (pengikut­ Ali bin Abi Thalib).

Kedua, wirid khass atau zikir sirr, yaitu wirid yang dijalankan secara samar (tanpa suara) seperti menyebut nama Allah SWT ya Lathif di dalam­ hati. Wirid seperti ini dilakukan kalangan Sanusiyah.

Dalam sejarahnya, zikir dan wirid mempunyai kaitan yang sangat erat. Menurut Fazlur Rahman, pada mulanya wirid dan zikir dilakukan tidak­ secara­ formal (abad ke-2 H/8 M). Pada masa itu orang berkumpul secara pri­badi untuk membaca Al-Qur’an sebagai zikir kepada Allah SWT dengan suara keras.

Kemudian zikir (yang secara harfiah berarti peringatan, yakni mengingat Allah SWT–sebagai­mana diserukan ayat-ayat tertentu dalam­ Al-Qur’an), berkembang­ menjadi upacara ri­tual yang terperinci pada masa-masa berikutnya. Khususnya pada tarekat-tarekat sufi di Afrika, istilah­ wirid telah resmi menggantikan zikir.

Zikir atau wirid dengan demikian tidak lagi berarti pembacaan Al-Qur’an secara umum, tetapi­ pembacaan rumusan-rumusan keagamaan­ yang pendek, yang biasanya mengandung 99 nama Tuhan yang bagus (al-asma’ al-husna)­ dan diulang-ulang de­ngan­ hitungan biji-biji tasbih.

Wirid atau zikir dalam pengertian di atas umumnya terdapat pada tarekat-tarekat sufi. Bentuk wirid­ itu ada ber­ bagai macam, tergantung pada ajaran dan bimbingan guru tarekat­ yang bersangkutan dan tujuan yang ingin dicapai­ melalui wirid atau zikir yang diamalkannya.

Sebagai contoh, as-Suhrawardi (pendiri Tarekat Suhrawardiyah) meng­ajarkan rumus wirid atau zikir­ tertentu yang harus diamalkan para muridnya,­ seperti diung­kapkannya dalam ‘Awarif al-Ma‘arif (Kognisi Kebenaran­ Batin). As-Suhrawar­di­ mempunyai pengaruh­ yang sangat besar terhadap tasawuf di luar tarekat yang dihubung­kan­ dengan namanya.

Ia terutama­ terkenal denga­n­ metode zikirnya yang dijalin­ di seputar nama-nama Tuhan yang berbeda­-beda dalam skala menurun dari “cahaya” yang berhubu­ngan dengan “tujuh ruh yang lembut” (lath’if sab‘ah) yang dinyatakan dalam kata-kata yang diambil­ dari Al-Qur’an, yaitu:

(1) zikir “Ruh yang me­merintah”: “Tidak ada Tuhan selain Allah” (diulang­-ulang 100.000 kali), cahayanya­ berwarna biru;­

(2) zikir “Ruh yang mencela”: “Allah” (100.000 kali), cahayanya­ kuning;

(3) zikir “Ruh yang memberi ilham”: “Dia” (90.000 kali), warna ca­hayanya merah;

(4) zikir “Ruh yang tenang”: “Yang Hidup” (70.000 kali), cahayanya putih; (5) zikir “Ruh yang puas”: “Yang Memberi Rizki” (90.000 kali), cahayanya­ hijau; (6) zikir “Ruh yang bersyukur”: “Yang Pengasih” (100.000 kali), cahayanya­ hitam; dan (7) zikir “Ruh yang sempurna”: “Yang Rahman” (100.000 kali), cahayanya tak pu­nya warna khu­sus, tetapi berkisar melalui semua warna sebelumnya­.

Daftar pustaka

Atjeh, Abubakar. Pengantar Sejarah Sufi dan Tasawwuf. Solo: Ramadhani, 1984. Tirmingham, J. Spencer. The Sufi Orders in Islam. London: Oxford University Press, 1973.
Zain Abdullah, M. Tasawwuf dan Zikir. Solo: Ramadhani, 1991.

Asmaran As