Wilayah Al-Faqih

Wilayah al-faqih adalah salah satu istilah dan doktrin Syiah. Bagi kalangan Syiah, wilayah al-faqih adalah pemerintahan para ahli hukum (ulama). Konsep ini merupakan kelanjutan konsep imamah (kepemimpinan) yang menjadi salah satu keimanan Syiah Imamiyah.

Frasa wilayah al-faqih berasal dari dua kata bahasa Arab: wilayah dan al-faqih. WilÎyah adalah bentuk kata dari waliyyan yang berarti “dekat” dan “memiliki kekuasaan atas sesuatu”. Secara teknis, wilayah berarti “pemerintahan” (rule), “supremasi”, atau “kedaulatan”. Wilayah atau wala’ juga bisa berarti “persahabatan”, “kesucian”, “kesetiaan”, atau “perwalian”.

Menurut Murtada *Mutahhari (1919–1979), pemikir Syiah dari Iran, wilayah merupakan masalah pokok antara paham Syiah dan tasawuf. Bagi kaum Syiah, wilayah adalah persoalan yang menjadi fokus utama para sufi, dan mempunyai kepentingan pada masa awal Islam.

Mutahhari menjelaskan bahwa sebenarnya ajaran tentang wilayah telah ada sejak awal pertumbuhan dan perkembangan Syiah, bahkan ketika tasawuf belum muncul. Mutahhari menyamakan masalah wilayah dengan persoalan mengenai manusia sempurna serta wali zaman, yang akan lahir setiap zaman dan menjadi pemimpin di dunia ini. Pengertian ini berimplikasi pada pembentukan pemerintahan imam.

Dalam karya tokoh Syiah, wilayah menunjukkan kese­tiaan­ kepada pemerintahan imam dan mengakui hak imam untuk memerintah. Dalam perkembangannya, konsep­ wilayah ini dibagi dua pengertian: wilayah khassah (khusus) dan wilayah ‘ammah (umum). Ini dimaksudkanuntuk membedakan­ antara kekuasaan umum (atau hak) imam serta kekuasaan absahnya sebagai qadhi (hakim) dan wali atas kasus khusus.

Adapun faqih atau fuqa­ha’ (fukaha) berarti orang yang ahli di bidang hukum Islam. Dalam pandangan Syiah, khususnya Ayatullah Khomeini (pemimpin Revolusi Islam Iran; w. 1410 H/1989 M), fukaha memiliki hak untuk memimpin pemerintahan­ Islam selama Imam Mahdi (imam kedua belas) gaib. Pada masa kegaiban itu, fukaha tentu saja yang memenuhi syarat memiliki hak dan berperan selaku wakil Imam Mahdi.

Ia bertugas membimbing umat dalam masalah keagamaan dan sosial-politik. Meskipun wewenang fukaha yang adil sama dengan wewenang Nabi Muhammad SAW dan para imam, bukan berarti kedu­dukan fukaha tersebut identik dengan kedudukan Nabi Muhammad SAW dan para imam.

Menurut Khomeini, fukaha memiliki otoritas atas penguasa. Untuk itu, jika menganut Islam, maka penguasa harus tunduk kepada fukaha. Fukaha menjadi tempat bertanya bagi penguasa mengenai masalah hukum dan aturan Islam, agar ia dapat menerapkannya di tengah umat. Bagi Khomeini, penguasa sejati dan resmi adalah fukaha itu sendiri. Dengan kata lain, fukaha menyandang tugas kepemimpinan agama sekaligus politik.

Menurut Khomeini, pada zaman ini jumlah fukaha sangat banyak. Namun tidak semua fukaha berkualitas atau memenuhi syarat menjadi pemimpin umat, khususnya dalam pemerintahan Islam.

Khomeini menyebut delapan syarat yang harus dipenuhi oleh seorang fukaha jika hendak memimpin pemerintahan Islam:

(1) berpengetahuan luas di bidang hukum Islam; (2) berlaku adil dalam arti beriman dan berakhlak tinggi; (3) dapat dipercaya dan berbudi luhur; (4) jenius; (5) memiliki kemampuan administratif; (6) bebas dari pengaruh asing; (7) mampu mempertahankan­ hak bangsa, kemerdekaan, dan integritas teritorial tanah Islam, sekalipun harus dibayar dengan nyata; dan (8) dapat menjalani hidup sederhana.

Dari delapan syarat itu, Khomeini memberi pene­kanan pada dua syarat yang harus dimiliki fukaha, yakni me­miliki penge­tahuan hukum dan berlaku adil. Jika syarat ini terpe­nuhi,­ fukaha itu dapat men­jalankan fungsi selaku wakil­ para imam.

Ia memiliki kewenangan dalam­ meng­atur umat, dan semua orang wajib mengikuti­ dan mena­atinya. Menurut­ Khomeini, kedua syarat­ utama ini telah dimiliki banyak fukaha pada­ masa ini. Jika para fukaha­ bersatu,­ mereka akan dapat membangun kekuatan dan menegakkan pemerintahan yang adil di dunia.

Konsep wilayah al-faqih ini dalam beberapa hal ber­kaitan erat dan merupakan kelanjutan dari konsep imamah (kepemimpinan) yang menjadi salah satu keimanan Syiah Imamiyah, sebab hal ini berhubungan dengan pelaksanaan fungsi utama pemerintahan imam.

Kalangan Syiah percaya bahwa para imam yang terdiri dari Imam Ali bin Abi Thalib hingga para pengganti berikutnya, yang biasa disebut ahl-ulbait (ahl al-bait), berhak menggantikan­ peran kepemimpinan Nabi Muhammad SAW setelah beliau wafat. Konsep utama wilayah al-faqih yang sebelumnya pernah ditolak ulama Syiah secara eksplisit, seperti dicantumkan dalam Kons­titusi­ Republik Islam Iran 1979.

Gagasan Khomeini tentang wilayah al-faqih pernah dijelaskan dan diurai­kan­ panjang lebar pada kuliahnya yang masyhur di Najaf sejak 1969, dan pernah­ dipublikasikan pada 1970-an. Gagasan wilayah al-faqih ini dituangkan secara gam­blang oleh Khomeini dalam bukunya, Hokumat-I Islami: Vilayat-i Faqih. Karya ini diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Sistem Pemerintahan Islam.

Rancangan pertama konstitusi Republik Islam Iran ini disusun oleh Majlis-i Mu’assisan yang dibentuk berdasarkan dekrit Khomeini pada Juni 1979. Pada bagian pembukaan Konstitusi 1979 tertulis, “Rencana pemerintahan Islam berdasarkan wilayah al-faqih yang diwakili oleh Ayatullah Khomeini.”

Dalam lanjutan teks konstitusi itu disebutkan, “Berdasarkan prinsip wilayah al-amr dan kepemimpinan yang terus-menerus (imamah), maka konstitusi mempersiapkan­ lahan bagi terwu­judnya­ kepemimpinan oleh faqih.”

Pada Pasal 5 konstitusi itu disebutkan bahwa sepanjang­ kegaiban imam segala zaman, pemerintah dan kepemim­pinan bangsa ada di tangan fukaha yang adil dan alim, paham tentang­ keadaan zaman, berani,­ bijaksana, dan memiliki kemampuan administratif­. Jika tidak ada seorang fukaha­ pun yang sangat dikenal­ mayoritas, maka tanggung jawab pemerintahan­ dan kepemimpinan bangsa dipikul suatu dewan kepemimpinan yang terdiri dari para fukaha.

Dalam Pasal 110 dijelaskan, wilayah al-faqih diberi tugas dan kuasa untuk menunjuk fukaha pada Dewan Perwalian yang berwewenang:

(1) mengangkat serta memberhentikan panglima tertinggi angkatan bersenjata dan panglima tertinggi pasukan pengawal revolusi Islam,

(2) menyata­kan keadaan perang dan damai,

(3) menyetujui kelayak­an­ calon presiden, dan

(4) memberhentikan­ presiden berdasarkan­ rasa hormat terhadap­ kepentingan­ negara. Untuk itu, Konstitusi 1979 tersebut memberikan wewe­nang tertinggi dan terakhir kepada wilayah al-faqih (atau Dewan Fukaha jika wilayah al-faqih tidak ada).

Adapun Pasal 107 Konstitusi­ 1979 dengan tegas menge­­sahkan Ayatullah Khomeini sebagai wilayah al-faqih, marja-i taqlid yang terkemuka dan pemimpin revolusi. Keca­kapan khusus pemimpin atau Dewan Kepemimpinan yang harus dimiliki diatur pada Pasal 109: (1) meme­nuhi persyaratan­ dalam hal keilmuan dan kebajikan esensial bagi kepemimpinan agama dan pengeluaran fatwa; serta (2) berwawasan sosial, berani, berkemampu­an, dan mempunyai cukup keahlian dalam pemerintahan.

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, Mumtaz. Masalah-Masalah Teori Politik Islam, cet. ke-1. Bandung: Mizan, t.t.
Enayat, Hamid. Reaksi Politik Sunni dan Syi’ah: Pemikiran Politik Islam Modern Menghadapi Abad ke-20, terj. Asep Hidayat. Bandung: Pustaka, 1988.
Haydar, Hamid Haji. “Filsafat Politik Imam Khomeini,” al-Huda, Vol. II, No. 2, 2001.
Khomeini, Imam. Sistem Pemerintahan Islam, terj. Muhammad Anis Maulachela. Jakarta: Pustaka Zahra, 2002.
Mutahhari, Murtada. Imamah dan Khilafah, terj. Satrio Pinandito. Jakarta: Firdaus, 1991.
Rahnema, Ali, ed. Para Perintis Zaman Baru Islam. Bandung: Mizan, 1995.
Sihbudi, Riza. Biografi Politik Imam Khomeini. Jakarta: Gramedia, 1996.
Thabathaba’i. Islam Syiah: Asal Usul dan Perkembangannya, terj. Djohan Effendi. Jakarta: Pustaka Grafiti, 1989.
Yamani. Antara al-Farabi dan Khomeini. Bandung: Mizan, 2002.

Idris Thaha