Dalam bahasa Arab, wijdan berarti sesuatu yang dirasakan di hati, misalnya sangat gembira. Dalam literatur sufi, wijdan berartiintuisi eksistensial dan ‘identifikasi’ diri dengan Tuhan. Hati yang bebas dari rasa takut dan kesedihan dapat melihat makna hakikat hidup akhirat. Dengan demikian tabir penghalang antara seorang hamba dan Allah SWT terbuka.
Wijdan dapat dialami seorang sufi ketika ia sudah menempati maqam peringkat atas, seperti ittihad dan hulul. Pengertian mata hati tersebut termaktub dalam firman Allah SWT pada surah al-hajj (22) ayat 46,
“Maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta ialah hati yang di dalam dada.”
Pengertian yang sama dapat ditemukan pada surah Qaf (50) ayat 37. Untuk mencapai wijdan, seseorang harus melewati tiga tahap, yaitu tawajud, wajd, dan wujud. Tawajud adalah proses usaha untuk mendapatkan suasana wajd. Tawajud bukan sesuatu yang datang begitu saja ke dalam hati seseorang, melainkan harus diupayakan melalui latihan yang berkesi nambungan.
Al-Qusyairi (376–465 H/986–1074 M) dan beberapa ahli sufi lain mengatakan bahwa tawajud datang kepada fakir (sufi) yang mengosongkan diri dari eksistensi kemanusiaannya, untuk mendapatkan suasana wajd. Al-Qusyairi menjelaskan pengertian ini dengan hikayat Abu Muhammad al-Jaziri (seorang sufi, hidup pada abad ke-10) yang populer di kalangan sufi.
Al-Jaziri mengatakan bahwa suatu ketika ia berada dalam as-sima‘ (upacara yang dilakukan sekelompok sufi berupa pembacaan wirid, zikir, dan pujian kepada Tuhan, serta pembacaan syair yang kadang dilakukan de ngan tari-tarian khas).
Upacara ini dilakukan para sufi untuk mencapai suasana lupa akan eksistensi diri dan menuju kearah kesadaran akan eksistensi Tuhan, jadi melepaskan aspek an-nasut (sifat kemanusiaan)nya agar aspek al-lahut (sifat ketuhanan)nya bersatu dengan aspek an-nasut Tuhan. As-sima‘ itu diselenggarakan di rumah Syekh al-Junaid al-Bagh-dadi (tokoh sufi modern, w. 298 H/910 M) dan diikuti banyak orang, di antaranya Ibnu Masyruq (seorang sufi, hidup pada abad ke-10).
Pada upacara itu, Ibnu Masyruq dan yang lainnya berdiri, sementara al-Junaid diam saja. Lalu al-Jaziri bertanya kepadanya, “Apakah upacara as-sima‘ ini tidak mempengaruhimu sama sekali?” Al-Junaid menjawab dengan membaca surah an-Naml (27) ayat 88,
“Dan kamu lihat gunung-gunung itu, kamu sangka dia tetap di tempatnya, padahal ia berjalan sebagai jalannya awan. (Begitulah) perbuatan Allah yang membuat dengan kokoh tiap-tiap sesuatu; sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
Al-Junaid kemudian bertanya hal serupa kepada al-Jaziri. Al-Jaziri menjawab,
“Wahai tuanku, jika aku hadir di suatu tempat di mana ada acara as-sima‘, aku merasakan suasana malu seakan berada di hadapan para pembesar. Aku diam. Jiwaku dipenuhi kegembiraan tiada tara. Ketika eksistensi kemanusiaanku sirna aku berada dalam suasana wajd yang sesungguhnya”. Al-Junaid tidak membantah gambaran wajd yang dikemukakan al-Jaziri.
Wajd hadir di dalam hati sebagai hasil dari wirid. Setiap ada penambahan wirid, Allah SWT menambahkan kelembutan-Nya. Mengenai wirid ini, Abu Ali ad-Daqqaq (sufi dari Irak, hidup pada abad ke-9) mengatakan bahwa kualitas wajd datang sesuai wiridnya. Orang yang tidak melakukan wirid zahir (lahir) tidak akan didatangi wirid sirr (rahasia). Setiap wajd yang datang belum tentu wajd yang sesungguhnya.
Apa yang dilakukan seorang hamba berupa amalan zahir tidak mendatangkan kelezatan zahir, tetapi mendatangkan kelezatan taat dalam bentuk batin. Apa yang diturunkan Tuhan yang bersifat batin akan mendatangkan mawajid (jamak dari wajd). Kenikmatan batin merupakan buah dari amalan zahir. Mawajid merupakan buah karunia Tuhan yang dianugerahkan kepada hamba-Nya. Wujud merupakan keadaan setelah seorang sufi mencapai wajd yang tinggi.
Wujud al-haqq (identifikasi diri dengan Yang Maha Benar; jadi semacam ittihad) akan dicapai seorang sufi setelah memadamkan sifat eksistensi kemanusiaannya, karena sifat-sifat basyariyyah (kemanusiaan) manusia tidak akan dapat menyatu dengan Kerajaan Hakikat (as-Sultah al-haqiqiyyah). Ini tergambar juga dalam pengalaman Abu al-Hasan an-Nuri (seorang sufi),
“Dalam masa 20 tahun aku berada dalam suasana wajd dan faqd (kehampaan hati). Artinya, jika aku dalam kesadaran menemukan Tuhanku, aku kosongkan hatiku dari kesadaran kemanusiaanku, hilang kesadaran menemukan Tuhanku.”
Berkaitan dengan ungkapan an-Nuri tersebut, al-Junaid mengatakan bahwa ilmu tauhid berfungsi untuk men jelaskan wujud Tuhan, dan wujud Tuhan berfungsi untuk menjelaskan pengetahuannya. Artinya, seseorang akan mengetahui wujud Tuhan dengan merujuk kepada Al-Qur’an dan sunah Nabi SAW, tetapi ia tidak merasakan wujud-Nya dengan perasaannya walaupun ia menguasai ilmu tauhid tersebut.
Untuk merasakan wujud Tuhan, manusia harus meninggalkan eksistensi kemanusiaannya. Jadi, tawajud adalah proses permulaan, wujud merupakan tujuan, sedangkan wajd adalah media antara keduanya. Ad-Daqqaq menggambarkan prosesnya secara sederhana,
“Dalam tawajud seorang sufi mesti merendahkan dan menghinadinakan diri di hadapan Tuhan, dalam wajd ia mesti menenggelamkan eksistensi kemanusiaannya, dan dalam wujud seorang hamba menghancurkan eksistensi kemanusiaannya.”
Ad-Daqqaq menggambarkan pengalaman itu sebagai seseorang yang melihat lautan, kemudian naik perahu, dan akhirnya menenggelamkan diri dalam lautan itu.
Kronologi dari proses suasana hati dari tawajud, wajd, hingga wujud dapat digambarkan dalam bentuk qusud, Tsumma wurud, Tsumma syuhud, Tsumma wujud, Tsumma khumud (ada tujuan yang ingin dicapai, tujuan itu datang ke dalam hatinya, kemudian berada dalam eksistensi wujud Tuhan, dan dalam keadaan itu padamlah kesadaran akan eksistensi kemanusiaannya).
Seseorang yang berada dalam keadaan wujud akan hilang kesadaran dirinya (sahw) dan hilang sifat eksistensi kemanusiaannya (mahw). Ketika sahw itulah ia berada dalam aspek Wujud al-Haqq dan dalam keadaan mahw ia pun lebur dalam aspek Wujud al-Haqq.
Keadaan seperti ini digambarkan dalam sebuah hadis qudsi(hadis yang maknanya berasal dari Allah SWT, sedangkan lafalnya berasal dari Nabi Muhammad SAW) yang diriwayatkan Imam Bukhari, “…dengan Aku ia mendengar dan dengan mata-Ku ia melihat.” Artinya, indra seseorang yang sudah berada dalam keadaan wujud bukan lagi indra basyariyyiah, melainkan indra ilahiah.
Al-Qusyairi dalam Risalah al-Qusyairiyyah menyajikan beberapa riwayat dalam usahanya menggambarkan seseorang yang berada dalam keadaan wujud. Salah satu riwayat berkenaan dengan Abu Bakar ad-Daqqi (sufi, hidup pada abad ke-10).
Jahm ad-Daqqi (sufi, hidup pada abad ke-10) mencabut sebatang pohon dengan tangannya, kemudian ia mengikat potongan kayu tersebut. Lalu ia bergabung ke dalam upacara puncak as-sima’ yang diikuti oleh Abu Bakar ad-Daqqi, guru Jahm yang sudah uzur. Saat itu mata Abu Bakar ad-Daqqi dalam keadaan tertutup. Kemudian Jahm ad-Daqqi berdiri mendekati dan ikut dalam suasana puncak ketidaksadaran dalam upacara tersebut.
Abu Bakar ad-Daqqi berkata, “Jika dia (Jahm) dekat padaku, penglihatanku terbuka kepada nya”. Ketika Jahm mendekat, Abu Bakar ad-Daqqi mengambil ikatan kayu milik Jahm, suatu benda yang tidak mungkin di angkatnya dalam keadaan biasa. Jahm berkata kepadanya, “Wahai guru, tobatlah, tobatlah…” Lalu Jahm meninggalkannya.
Kata-kata Jahm tersebut menggambarkan keheranan kepada gurunya yang sudah renta, tetapi masih bisa mengangkat beban yang berat, seakan-akan sedang kemasukan setan.
Menurut Syekh Admahullah (sufi, hidup abad ke-10), puncak ketidaksadaran akan eksistensi kemanusiaan Jahm ada dalam kebenaran; demikian juga ketidaksadaran Abu Bakar. Ketika mengetahui bahwa puncak ketidaksadaran Abu Bakar lebih tinggi dari yang pernah dicapainya, Jahm kembali dan meminta maaf.
Diceritakan juga oleh al-Qusyairi bahwa istri Abdullah at-Tarwagandi (seorang sufi) menceritakan suaminya dalam keadaan wujud. Ketika terjadi musim paceklik dan banyak orang mati kelaparan, at-Tarwagandi masuk ke rumah dan melihat sekarung gandum.
Lalu ia berpikir dalam hatinya, “Orang-orang mati kelaparan, sementara di rumahku terdapat sekarung gandum.” Pikirannya diliputi berbagai perasaan antara bersalah karena tidak memberi makan orang, dan gembira karena di rumahnya masih terdapat banyak bahan makanan.
Pergumulan perasaan ini menghantarkannya ke dalam keadaan wujud. Ia hanya sadar ketika tiba waktu salat fardu. Keadaan itu dilakukannya berulang-ulang sampai ia wafat. Riwayat ini diceritakan oleh al-Qusyairi untuk menjelaskan bahwa meski sudah mencapai tahap tertentu yang mengakibatkan hancurnya aspek kemanusiaannya, seorang sufi tidak meninggalkan syariat seperti salat fardu.
Para sufi menggambarkan bahwa hati orang yang berada dalam keadaan tawajud, wajd, dan wujud selalu tergetar untuk mengingat Allah SWT, sebagaimana firman-Nya dalam surah az-Zumar (39) ayat 23,
“Allah telah menurunkan perkataan yang paling baik (yaitu) Al-Qur’an yang serupa (mutu ayat-ayatnya) lagi berulang-ulang, gemetar karenanya kulit orang-orang yang takut kepada Tuhannya, kemudian menjadi tenang kulit dan hati mereka di waktu mengingat Allah….”
Daftar Pustaka
Arberry, A.J. Pasang Surut Aliran Tasawuf. Bandung: Mizan, 1985.
Burckhard, Titus. Mengenal Ajaran Tasawwuf, terj. Jakarta: Pustaka Jaya, 1984.
al-Kalabazi, Abu Bakar Muhammad. at-Ta‘arruf li Madzhab Ahl at-Tasawwuf. Cairo: Maktabah al-Kulliyah al-Azhariyah, 1969.
al-Qasyani, Abdur Razq. Istilahat at-Tasawwuf, Beirut: Dar al-Ma‘arif, 1984.
al-Qusyairi, an-Naisaburi. ar-Risalah al-Qusyairiyyah. Beirut: Dar al-Khair, t.t.
Atjeng Achmad Kusaeri