Wazir

(Ar.: wazir)

Orang yang mendampingi raja dan sekaligus­ bertindak sebagai pembantu raja disebut wazir. Kata “wazir” berasal­ dari kata azara atau wazara yang berarti “membantu”­ atau “menolong”. Ada yang mengata­kan­ bahwa kata “wazir” berasal dari bahasa Persia.

Dalam Al-Qur’an terdapat dua ayat yang mencantumkan­ kata wazir, yang keduanya berarti pembantu: “Dan jadikanlah untukku seorang pembantu dari keluargaku” (QS.20:29) dan “Dan sesungguhnya Kami telah memberikan­ Alkitab (Taurat) kepada Musa dan Kami telah menjadikan Harun saudaranya, menyertai­ dia sebagai wazir (pembantu)” (QS.25:35).

Pengertian wazir secara politik sebenarnya telah­ tercakup­ dalam kedua ayat tersebut di atas, yakni bahwa wazir adalah seseorang yang membantu dan sekaligus pendu­kung kebijaksanaan seorang­ pemim­pin­ tertinggi. Hal ini terlihat dari penunjukan Nabi Harun AS oleh Allah SWT untuk bertindak sebagai pembantu Nabi Musa AS dalam menyebarkan­ risalah Allah SWT.

Dalam hadis, kata wazir mengandung pengertian­­“pem­bantu nabi”. Nabi Muhammad SAW bersabda, “Dua orang wazir (pembantu) saya dari penghuni­ langit, yaitu Jibril dan Mikail, sedang­kan dari pen­duduk bumi Abu Bakar dan Umar” (HR. at-Tirmizi).

Dalam riwayat lain yang disampaikan oleh Aisyah binti Abu Bakar as-Siddiq dan diriwayatkan oleh an-Nasa’i, Rasulullah SAW bersabda,

“Siapa yang ditunjuk di antara kamu sebagai pemimpin,­ lalu ia menghendaki kebaikan, maka tunjuk pulalah baginya (pemimpin itu) seorang­ wazir (pembantu)­ yang saleh, sehingga apabila ia (pemim­pin)­ lupa, akan diingatkannya, dan apabila ia ingatkan akan pula ia bantu.”

Pada saat pemilihan khalifah pertama­ pengganti­ Nabi SAW, kalimat wazir pun muncul dalam pidato pertama­ Abu Bakar as-Siddiq yang ditujukan­ ke­pada kaum Ansar, yaitu “Kami sebagai pemimpin dan kalian sebagai wazir (pembantu).”

Dalam perkembangan selanjutnya, di zaman kekha­lifahan Bani Umayah juga ditemui istilah wazir sebagai pem­bantu khalifah, seperti Amr bin As yang dikenal sebagai pembantu Mu‘awiyah­ bin Abu Sufyan. Demikian juga khalifah­-khalifah sesudahnya­ mem­punyai wazir khusus yang membantu khalifah dalam menangani permasalahan­ umat.

Wazir sebagai pembantu khalifah sejak zaman Nabi Muhammad SAW sampai zaman Bani Umayah masih belum mem­punyai peraturan tersendiri yang mengatur wewenang, hak, dan kewajibannya­. Baru pada masa Ab­basiyah disusun­ peraturan tentang­ hak, kewajiban, dan wewenang­ para wazir.

Orang pertama yang berusa­ha­ untuk memberikan­ masukan tentang ke­dudukan­ dan fungsi wazir sebagai­ pembantu­ khalifah di masa Abbasiyah adalah Abdullah bin Muqaffa dan kemudian disusul oleh Ibnu Abi ar-Rabi (w. 272 H/886 M). Kalimat yang terkenal dari Ibnu Abi ar-Rabi dalam masalah ini adalah:

“Ketahuilah bahwa­ siapa saja yang diangkat sebagai khalifah atau raja mesti menunjuk seorang wazir untuk mengatur­ dan merencanakan pemecahan permasa­lah­­an yang dihadapi, sekaligus membantu khalifah atau raja dalam segala permasalahan yang timbul, sehingga wazir ini dapat memberikan penangan­an­ masalah yang benar. Bukankah anda perhati­kan­ bahwa Nabi SAW yang telah diberi se­cara khusus wahyu dari Allah SWT, dan didamping­i­ oleh para malaikat, masih saja mengambil Ali bin Abi Thalib sebagai wazir, yang ketika itu beliau bersabda kepada Ali, ‘Engkau bagiku sama posisinya­ dengan Harun bagi Musa.’ Oleh karenanya wazir merupakan pembantu­ terdekat seorang khalifah­ atau raja dalam menyusun, merancang, dan melaksanakan kebijak­sanaan-kebijaksanaan yang me­nyangkut permasalahan warga.”

Pada abad ke-5 H, muncul buku al-Mawardi yang berjudul Adab al-Wazir. Buku ini berbicara banyak tentang fungsi dan kedudukan wazir.

Wazir pertama di zaman Abbasiyah adalah Hafs bin Sulaiman yang dikenal dengan gelar Abu Salmah­ al-Khallal. Setelah ia meninggal, para seja­ra­wan­ menyebutkan bahwa Abu Abbas as-Saffah menunjuk Abu al-Jahm bin Atiyah sebagai wazir. Abu al-Jahm kemudian digantikan Khalid bin Barmak. Pada masa itu telah ditentukan kantor khusus untuk wazir.

Sejarah kenegaraan Islam menunjukkan bahwa­ jabatan wazir yang semula bersifat sederhana semakin­ lama semakin kompleks dan peranannya menjadi penting sekali. Perkembangan pengertian wazir selalu sejalan dengan perkembangan kebutuhan­ suatu pemerintahan Islam itu sendiri.

Wazir di zaman modern biasa disebut dengan istilah menteri­. Tugasnya adalah membantu presiden­ dalam bidang tertentu. Pengertian ini mulai muncul pada masa kekhalifahan Umawi di Andalusia. Di sampin­g­ itu pada waktu itu juga sudah muncul istilah perdana menteri yang membawahi para menteri dan berfungsi sebagai orang kedua setelah kepala negara.

Daftar pustaka

Badr, Ahmad. Tarikh al-Andalus fi al-Qarn ar-Rabi‘ al-Hijriy. Damascus: Dar al-Fikr, 1977.
al-Farra‘, Abu Ya’la. al-Ahkam as-Sultaniyyah. Cairo: Dar al-Fikr, 1952.
al-Mawardi. al-Ahkam as-Sultaniyyah fi as-Siyasah asy-Syar‘iyyah. Cairo: al-Babi al-Halabi, 1973.
al‑Mubarak, Muhammad. Nizam al‑hukm wa ad‑Daulah. Beirut: al‑Hukm wa ad‑Daulah, 1974.
al-Qasimi, Zafir. Nizam al-hukm fi asy-Syari‘ah wa at-Tarikh al-Islami. Beirut: Dar an-Nafa’is, 1980.

Nasrun Haroen