Wasiyyah berarti pesan. Pernyataan seseorang bahwa ia memberikan hartanya, membebaskan utang seseorang, atau memberi manfaat harta miliknya kepada seseorang setelah ia meninggal. Misalnya, ada orang berwasiat memberi sebagian hartanya atau mewakafkan sesuatu kepada seseorang, atau meminta seseorang melakukan sesuatu terhadap hartanya.
Wasiat mempunyai dasar yang kuat dalam syariat Islam. Dasar hukum wasiat, menurut para ahli fikih, di antaranya firman Allah SWT dalam surah al-Baqarah (2) ayat 180 yang berarti:
“Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu bapak dan karib kerabatnya secara makruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa.”
Dalam surah an-Nisa’ (4) ayat 11 dan 12 Allah SWT berfirman: “…sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar utangnya…,” dan “…sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) sesudah dibayar utangnya…”
Ketiga ayat ini menentukan bahwa wasiat itu berlaku setelah seseorang wafat dan merupakan suatu kewajiban yang harus ditunaikan para ahli waris. Dalam ayat kedua dan ketiga, di dalam teksnya kelihatan bahwa wasiat lebih dahulu ditunaikan daripada utang.
Akan tetapi dalam sebuah riwayat dikatakan bahwa Rasulullah SAW melunasi utang dahulu, baru membayarkan wasiat orang yang wafat tersebut (HR. at-Tirmizi). Jumlah harta yang diwasiatkan tidak boleh lebih dari sepertiga harta yang dimiliki. Ketentuan ini juga didasarkan pada hadis Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan oleh Daruqutni dari Mu‘az bin Jabal, “Bersedekahlah kamu dengan sepertiga hartamu sendiri di kala mendekati ajalmu, guna menambah amal kebajikanmu.”
Dalam hadis lain yang diriwayatkan Jamaah dari Sa‘d bin Abi Waqqas diceritakan bahwa pada waktu Sa‘d bin Abi Waqqas menderita sakit, Rasulullah SAW datang menjenguknya. Ia menyampaikan keinginannya kepada Nabi SAW untuk berwasiat.
Dikatakannya bahwa ia telah mengalami sakit payah. Ia mempunyai harta cukup banyak dan hanya mempunyai seorang anak perempuan. Lalu ia menanyakan, bolehkah ia bersedekah (berwasiat) dengan dua pertiga hartanya. Nabi SAW menjawab, “Jangan.” Ditanyakannya pula, bagaimana kalau setengahnya. Nabi SAW pun menjawab, “Jangan.” Lalu ditanyakannya lagi, bagaimana kalau sepertiganya. Nabi SAW berkata, “Sepertiga, sepertiga sudah cukup banyak, sungguh apabila kamu meninggalkan ahli warismu dalam keadaan kecukupan, itu lebih baik daripada apabila kamu meninggalkan mereka dalam keadaan kekurangan dan hidup menjadi beban orang lain.”
Hukum wasiat berbeda-beda sesuai dengan kondisi dan situasinya. (1) Wajib bagi wasiat pada hal-hal yang berupa hak Allah SWT, seperti zakat, kafarat, dan fidyah puasa, yang merupakan utang yang wajib ditunaikan bagi Allah SWT. Demikian pula hal-hal yang berupa hak sesama manusia yang tidak mungkin diketahui apabila tidak diwasiatkan, seperti titipan orang dan utang-utang.
(2) Sunah bagi wasiat yang ditujukan untuk amal kebajikan dan hanya mengharapkan rida Allah SWT. Misalnya, wasiat untuk fakir miskin. Menurut ulama Mazhab Hanbali, disunahkan berwasiat untuk keluarga dekat yang bukan ahli waris yang fakir dengan syarat harta yang ada cukup banyak dan jumlah yang diwasiatkan tidak lebih dari seperlima harta itu. Apabila kerabat dekat yang miskin tidak ada, disunahkan berwasiat untuk fakir miskin lainnya.
(3) Haram bagi wasiat atas barang-barang yang diharamkan syarak (hukum Islam), seperti berwasiat untuk membangun tempat lokalisasi pelacuran dan perjudian.
(4) Makruh bagi wasiat seseorang yang hartanya sedikit, sedangkan ahli waris yang memerlukan harta warisannya banyak.
(5) Mubah bagi wasiat yang tidak terdapat hal-hal ter sebut pada empat macam hukum wasiat terdahulu. Misalnya, berwasiat pada orang berkecukupan dengan tujuan sebagai tanda persahabatan atau balas jasa.
Unsur-unsur wasiat adalah sebagai berikut.
(1) Orang yang berwasiat (musi), dengan ketentuan harus balig, berakal sehat, dan bebas/atas kehendak sendiri.
(2) Orang yang menerima wasiat (musa lah). Orangnya harus dapat diketahui dengan jelas, ia telah ada ketika wasiat dinyata kan, bukan ditujukan untuk kemaksiatan, tidak kafir harbi (orang kafir yang sedang berperang melawan umat Islam), dan tidak membunuh musa.
(3) Sesuatu yang diwasiatkan (musa bih), dengan syarat dapat berlaku sebagai harta warisan atau dapat menjadi objek perjanjian, sudah ada pada saat wasiat dinyatakan, dan milik musa.
(4) Ucapan wasiat (sigah).
Dapat dipergunakan segala perkataan yang memberi pengertian adanya wasiat, baik dituturkan secara lisan, tulisan atau berbentuk isyarat bagi yang tidak mampu berbicara dan menulis. Ucapan wasiat (ijab) hanya diperlukan dari musi.
Penerimaan (kabul) musi lah tidak diperlukan, kecuali apabila menyangkut hal-hal yang memerlukan kabul sebagai tanda rela. Ucapan wasiat tidak dibenarkan berten tangan dengan hukum wasiat atau ketentuan hukum syarak.
Sebagian ulama mensyaratkan agar wasiat hendaknya dilakukan kepada musi lah yang bukan ahli waris musi. Akan tetapi kebanyakan ulama memandang sah wasiat memberi suatu kekayaan (benda) kepada ahli waris, hanya saja pelaksanaannya bergantung pada izin ahli waris lainnya.
Apabila ahli waris yang lain memberi izin maka wasiat dapat dilaksanakan, akan tetapi apabila tidak maka wasiat dipandang batal. Apabila terdapat dua pihak yang berbeda, sebagian ahli waris membenarkan dan sebagian lagi tidak, wasiat hanya dapat dilaksanakan dari bagian ahli waris yang mengizinkan saja.
Wasiat dapat batal karena beberapa hal.
(1) Musi menarik wasiatnya.
(2) Musi kehilangan kecakapan bertindak karena kurang ingatan atau gila.
(3) Musi ketika meninggal banyak memiliki utang, sehingga menghabiskan harta peninggalannya.
(4) Musa lah meninggal sebelum musi.
(5) Musa lah membunuh musa.
(6) Musi bih binasa, misalnya hilang atau terbakar.
(7) Musa lah menolak wasiat.
(8) Musa bih keluar dari milik musi sebelum wafat, meskipun akhirnya kembali lagi menjadi miliknya.
(9) Musi bih mengalami perubahan bentuk.
(10) Habis masa (waktu) wasiatnya.
Daftar pustaka
Abu Zahrah, Muhammad. Ahkam at-Tirkah wa al-Mawarits. Cairo: Dar al-Fikr al-‘Arabi, 1963.
Basyir, Ahmad Azhar. Kawin Campur, Adopsi, Wasiat Menurut Islam. Bandung: al-Ma‘arif, 1972.
Hazm, Abi Muhammad Ali bin Ahmad bin Said. al-Muhalla. Beirut: Dar al-Afaq al-Jadidah, t.t.
Ibnu Rusyd. Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtasid. Cairo: Mustafa Babi al-Halabi, 1960.
al-Jaziri, Abdurrahman. al-Fiqh ‘Ala al-Madzahib al-Arba’ah. Beirut: Dar al-Fikr, 1972.
al-Khudri, Ahmad Kamil. al-Mawarits al-Islamiyyah. Cairo: al-Majlis al-‘Ala li asy-Syu’un al-Islamiyah, 1966.
as-San‘ani, Muhammad bin Isma’il al-Kahlani. Subul as-Salam. Bandung: Dahlan, t.t.
Yusuf Musa, Muhammad. at-Tirkah wa al-Marats fi al-Islam. Cairo: Dar al-Ma‘arif, t.t
Mahdini