Waris

(Ar.: mawarits)

Kata “waris” berasal dari bahasa Arab waritsa-yaritsu-wartsan atau irtsan/turats, yang berarti “mempusakai”. Waris adalah ketentuan tentang pembagian harta pusaka, orang yang berhak menerima­ waris, serta jumlahnya. Istilah waris sama dengan­ fara’idh, yang berarti “kadar” atau “bagian”.

Hukum waris Islam yang dibawa Nabi Muhammad SAW telah mengubah hukum waris Arab pra-Islam dan sekaligus merombak struktur hubungan­ kekerabatannya, bahkan juga merombak sistem pemi­likan­ masyarakat tersebut atas harta benda, khususnya­ harta pusaka. Struktur masyarakat­ Arab pra-Islam sangat dipengaruhi oleh kelompok­-kelompok­ kesukuan.

Harta benda, termasuk harta pusaka orang yang meninggal, adalah­ milik sukunya­. Kaum laki-laki sangat mendominasi kehidupan­. Perempuan tidak diperke­nankan­ memiliki harta­ benda, kecuali wanita-wanita­ dari kalangan elite. Bahkan wanita menjadi sesuatu yang diwariskan. Hal ini terlihat dalam surah an-Nisa’ (4) ayat 19 yang isinya berupa teguran Allah SWT kepada orang Arab yang suka me­warisi perempuan dengan paksa.

Hukum waris Islam yang dibawa oleh Nabi SAW mengan­dung­ aturan bahwa­ setiap pri­badi, apakah­ dia laki-laki atau perempuan,­ berhak memiliki harta benda. Kaum wanita di sampin­g­ berhak memiliki­ harta benda, juga berhak mewariskan dan mewarisi sebagaimana laki-laki.

Dalam fikih­ Islam, harta pusaka hanya bisa dimiliki­ kerabat­ terdekat, baik karena keturunan,­ perkawinan­ atau karena memerdekakan hamba,­ bukan oleh kelompok kesukuan. Hukum waris Islam de­ngan sangat terperinci mengatur siapa saja yang berhak dan tidak berhak, dan berapa ukuran yang harus diterima masing-masing­ pihak.

Ketentuan­-ketentuan itu tercantum­ dalam nas Al-Qur’an, sehingga mempunyai ke­kuatan hukum­ tertinggi­ karena sifatnya qat‘iyyah al-wurud­ (turunnya ayat-ayat itu tidak diragukan lagi), dan qat‘iyyah ad-dilÎlah (tunjukannya­ pasti)­. Isi kandungan ayat-ayat tentang waris itu begitu jelas dan tidak memerlukan penafsiran lain. Ayat-ayat mengenai waris terutama surah an-Nisa’ (4) ayat 7, 8, 11, 12, dan 176.

Rukun Waris. Ada tiga rukun waris:

(1) muwarrits (orang yang mewariskan harta), yaitu orang yang telah meninggal dunia, baik meninggal secara­ hakiki maupun karena kepu­tusan hakim yang berdasarkan beberapa sebab;

(2) mauruts (harta pening­galan­ yang akan diwariskan), yaitu harta pe­ning­galan setelah dikurangi biaya perawatan,­ utang si mati, zakat hartanya dan atau setelah­ dikurangi wasiat si mati dengan syarat tidak melebihi sepertiga dari hartanya; dan

(3) waris (orang yang akan mewarisi), yaitu orang yang mempunyai hubungan dengan si mati, baik hubungan­ kekeluargaan, hubungan­ perkawinan atau hubungan me­ merdekakan hamba. Anak yang masih dalam kan­dungan ibunya berhak atas harta warisan bapaknya yang me­ninggal­ sebelum ia dilahirkan.

Penghalang Pelaksanaan Waris. Ada tiga­ alasan­ yang menghalangi pelaksanaan waris-me­warisi. Pertama, karena status budak. Budak dianggap­ tidak dapat mengurusi dan mempunyai apa-apa, bahkan dirinya sendiri menjadi milik tuannya­.

Fukaha (ahli hukum Islam) menda­sarkan hal ini pada surah an-Nahl (16) ayat 75, “Allah membuat perumpamaan dengan seorang­ hamba sahaya yang dimiliki yang tidak dapat bertindak terhadap sesuatu pun dan seorang yang Kami beri rezeki yang baik dari Kami….”

Kedua, karena pembunuhan. Orang yang membunuh seseorang­ tidak berhak menerima waris dari si mati. Hal ini didasarkan pada hadis yang diriwayatkan Ahmad dari Umar bin Khattab,

“Siapa yang membunuh seseorang ia tidak dapat mewarisi si terbunuh itu, meskipun si terbunuh itu tidak mempunyai ahli waris lain selain si pembunuh; dan apabila­ si terbunuh itu orangtua atau anaknya,­ si pem­bunuh tidak berhak menerima harta pusakanya­.”

Ketiga, karena pewaris dan orang yang akan mewarisi berlainan agama (muslim dan nonmuslim). Hal ini didasarkan pada hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, “Orang muslim tidak boleh mewarisi dari orang kafir, dan orang kafir tidak boleh mewarisi dari orang muslim.”

Hubungan Pewaris dan Ahli Waris. Untuk menjadi ahli waris, harus ada hubungan antara pewaris­ dan orang yang akan mewarisi. Hubungan­ pewaris dan ahli waris ada tiga. Pertama, hubungan­ perkawinan yang sah. Istri dapat mewarisi harta peninggalan suaminya dan sebaliknya­.

Kedua,­ hubungan kekerabatan atau kekeluargaan­ yang disebut nasab (keturunan) hakiki; terdiri dari tiga macam, yaitu ashab al-furudh (ahli waris yang menerima bagian yang telah­ ditentukan jumlahnya), ashab ‘usubah nasabiyah­ (ahli waris yang menerima bagian yang tidak ditentukan­ denga­n­ pasti jumlahnya, hanya menerima­ sisa dari penerima pertama), dan dzawi al-arham (ahli waris yang tidak termasuk dalam dua kelompok tersebut)­.

Ketiga, hubungan karena­ memerdekakan budak­. Jika salah satu (majikan­ atau budak) mati dan meninggalkan harta pusaka, maka yang lainnya berhak­ menerima bagian harta pusaka, demikian pula sebaliknya. Ketentuan ini didasarkan atas hadis­ riwayat al-Hakim, “Hak wala’ (memerdekakan budak) itu suatu kekerabatan­ sebagai kekerabatan yang berdasarkan nasab, tidak boleh dijual dan tidak­ boleh­ pula diberikan”­.

Jika orang meninggal dunia dan tidak memiliki ahli waris sama sekali, maka harta peninggalannya­ diserahkan kepada Baitulmal. Ini di­dasarkan­ pada hadis yang di­riwayatkan Abu Dawud,­ “Saya adalah ahli waris bagi orang yang tidak mempunyai ahli waris. Aku yang membayar­ dendanya dan aku pun mewarisi hartanya.”

Ketika Nabi SAW sudah tidak ada, yang mengelola harta seperti itu adalah lembaga yang mengurus harta untuk kepentingan umat, seperti Baitulmal atau lembaga sosial keagamaan lainnya.

Kewajiban sebelum Pembagian Harta Warisan­. Ada hal-hal yang harus dilakukan sebelum­ harta warisan dibagikan.

Pertama, membiayai penyelenggaraan jenazah mulai dari pengafanan sampai penguburan. Golongan Haradilah mewajibkan ahli waris agar le­bih dahulu mengeluarkan biaya penyelenggaraan jenazah­ daripada pembayaran utang si mati.

Menurut jumhur (kebanyakan) ulama, dalam hal ini ulama dari Mazhab Malik, Mazhab Syafi‘i, dan Mazhab Hanafi, ahli waris harus lebih dulu membayar utang si mati daripada mengeluarkan­ biaya penyelenggaraan­ jenazah. Mereka berpendapat bahwa jenazah jangan dulu dike­bumikan sebelum utangnya dilunasi terlebih dahulu.

Kedua, membayar utang si mati. Utang terdiri atas dua macam, yaitu utang kepada manusia dan utang ke­pada Allah SWT, seperti zakat, kafarat, dan nazar. Menurut ulama Mazhab Syafi‘i, utang kepada Allah SWT harus lebih dahulu dibayarkan­ daripada utang kepada manusia, yang diambil­ dari harta peninggalan si mati.

Menurut ula­ma dari Mazhab Hanafi, utang kepada Allah SWT harus dibayar terlebih dahulu, tetapi tidak harus diambil dari harta pe­ninggalan si mati melainkan kewajiban ahli waris membayarkannya­ dari harta mereka.

Ketiga, membayar wasiat orang yang telah meninggal dengan syarat tidak boleh melebihi sepertiga harta pening­ galan. Hal ini didasarkan pada firman Allah SWT dalam surah an-Nisa’ (4) ayat 11, “(Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wa­siat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar utangnya”

Dan hadis yang diriwayatkan Bukhari dan Mus­lim dari Sa‘d bin Abi Waqqas (salah seorang sahabat Nabi SAW yang dijanjikan masuk­ surga) yang menceritakan bahwa Rasulullah SAW melarang­ berwasiat lebih dari sepertiga harta pening­ galan karena dikhawatirkan keluarganya jatuh miskin dan menjadi pengemis.

Macam-Macam Ahli Waris. Ahli waris dapat­ dikelom­ pokkan sebagai berikut. Pertama,­ ahli waris sababiyah, yaitu orang yang berhak menerima harta waris karena adanya hubungan­ perkawinan­ yang sah dan masih berjalan (tidak bercerai) pada saat suami atau istri meninggal dunia (QS.4:12).

Kedua, ahli waris nasabiyah, yaitu orang yang berhak memperoleh harta waris karena ada hubungan­ nasab dengan orang yang meninggal du­nia. Ahli waris nasabiyah adalah:

(1) furu‘ al-mayyit (keturunan­ si mati), yaitu anak laki-laki, cucu laki-laki dari anak laki-laki dan terus ke bawah melalui garis keturunan laki-laki, dan anak perempuan­ serta cucu perempuan dari garis ke­turunan laki-laki;

(2) usul al-mayyit (asal yang menyebabkan adanya si mati), yaitu ayah, ibu, kakek sahih (ayah dari ayah dan terus ke atas melalui garis keturunan laki-laki), nenek sahih (ibu dari ibu dan terus ke atas melalui­ garis keturunan­ ibu); dan

(3) al-hawasyi al-mayyit, meliputi­ saudara­ (saudara laki-laki seibu seayah, saudara laki-laki seayah, saudara laki-laki seibu, saudara pe­rempuan seibu seayah, saudara perempuan seayah,­ saudara perempuan seibu), kemena­kan­ (anak laki-laki dari saudara laki-laki seibu seayah,­ anak laki-laki dari saudara laki-laki seayah), paman­ (paman seibu seayah dengan bapak, paman seayah dengan bapak), dan anak laki-laki dari paman­ seibu seayah serta anak laki-laki dari paman seayah.

Ketiga, ahli waris menurut jenis kelamin laki-laki, yakni (1) suami, (2) anak laki-laki, (3) cucu laki-laki dari garis keturunan laki-laki, (4) ayah, (5) kakek sahih, (6) saudara laki-laki seibu seayah,­ (7) saudara laki-laki seayah, (8) saudara laki-laki seibu, (9) anak laki-laki dari saudara laki-laki seibu seayah­ dan terus ke bawah melalui garis keturunan­ laki-laki, (10) anak laki-laki dari saudara laki-laki seayah dan terus ke bawah me­lalui garis keturunan laki-laki, (11) paman seibu seayah, (12) paman se­ ayah, (13) anak laki-laki dari paman seibu seayah dan terus ke bawah melalui­ garis keturunan laki-laki, dan (14) anak laki-laki dari paman seayah dan anak laki-laki melalui garis keturunan laki-laki ke bawah.

Keempat, ahli waris menurut jenis kelamin perempuan,­ yaitu (1) istri, (2) anak perempuan, (3) cucu perempuan dari anak laki-laki dan terus ke bawah melalui garis keturunan laki-laki, (4) ibu, (5) nenek sahih, (6) saudara perempuan seibu seayah,­ (7) saudara perempuan seayah, dan (8) saudara perempuan seibu.

Kelima, ahli waris ashab al-furudh, yaitu ahli waris yang memperoleh bagian tertentu (al-furud al-muqaddarah) dari harta waris, seperti dua pertiga, setengah, sepertiga, seper-empat, seperenam, dan seperdelapan.

Ahli waris ashab al-furudh terbagi menjadi beberapa bagian.
(1) Suami, memperoleh seperdua harta waris jika istri yang meninggal dunia tidak mening­galkan­ furu‘ al-mayyit (anak) dan memperoleh­ seperempat­ jika istri meninggalkan furu‘ al-mayyit (QS.4:12).

(2) Istri, memperoleh seperempat­ harta­ waris jika suami tidak meninggalkan­ furu‘ al-mayyit dan memperoleh seperdelapan jika suami mening­galkan furu‘ al-mayyit (QS.4:4).

(3) Ayah, memperoleh­ seperenam harta peninggalan apabila anaknya yang meninggal dunia itu meninggalkan furu‘ al-mayyit (QS.4:11).

(4) Ibu, memperoleh sepertiga­ harta waris apabila anaknya yang meninggal­ dunia itu tidak mening­galkan­ furu‘ al-mayyit atau dua orang saudara si mati atau lebih dan memperoleh seperenam harta waris jika anaknya yang meninggal itu mening­galkan furu‘ al-mayyit atau dua orang saudara si mati atau lebih (QS.4:11).

(5) Anak perempuan, jika hanya seorang dan tidak ada anak laki-laki, memperoleh seperdua harta waris, dan jika dua orang atau lebih dan tidak ada anak laki-laki, mendapat dua pertiga harta waris­ (QS.4:11).

(6) Cucu perempuan dari garis ke­turunan anak laki-laki, jika hanya seorang atau ti­dak ada yang lain (seperti anak laki-laki dan anak perempuan atau cucu laki-laki atau cucu perempuan melalui garis keturunan laki-laki), memper­oleh­ seperdua harta waris. Jika dua orang atau lebih dalam keadaan tidak ada yang lain seperti tersebut di atas, memperoleh­ dua pertiga harta peninggalan­. Jika seorang­ atau lebih dan ada anak perempuan dari si mati, memperoleh seperenam harta waris (HR. al-Jamaah, kecuali Muslim dan at-Tirmizi).

(7) Saudara perempuan sekandung, jika hanya seorang­ dan tidak ada ahli waris lain yang dekat, memperoleh seperdua harta waris, dan jika dua orang atau lebih dalam keadaan tidak ada ahli waris yang lain, memperoleh dua pertiga (QS.4:176).

(8) Saudara perempuan seayah, mem­peroleh seperdua harta waris jika tidak ada ahli waris yang lain dan mem­ peroleh dua pertiga jika saudara perempuan seayah itu dua orang atau lebih dan tidak ada ahli waris yang lain (QS.4:176), memperoleh seperenam jika ada se­orang saudara perempuan kandung.

(9) Saudara seibu (baik laki-laki maupun perempuan), memperoleh­ seperenam harta warisan jika hanya ada seo-rang saudara perempuan­ dan si mati dalam keadaan kalalah (tidak meninggalkan ayah dan anak) dan mem­peroleh dua pertiga jika dua orang atau lebih dan si mati dalam keadaan kalalah.

Jika tidak ada saudara pe­rempuan dan si mati dalam keadaan kalalah, saudara laki-laki memusakai­ seluruh harta waris. Jika ada sau­dara laki-laki dan perempuan, saudara laki-laki memperoleh bagian sebanyak bagian dua saudara perempuan (QS.4:176).

(10) Kakek sahih, memperoleh seperenam harta waris jika yang meninggal­ dunia tidak meninggalkan furu‘ al-mayyit (HR. Abu Dawud dari Ma‘qil bin Yasar).

(11) Nenek sahih, seorang atau lebih dari pihak ayah atau dari pihak ibu memperoleh seperenam harta waris jika orang yang meninggal dunia tidak meninggalkan ibu atau nenek yang lebih dekat hubungannya (HR. Abu Dawud dari Ibnu Buraidah dan HR. Ashab as-Sunan [Sunan Ibnu Majah, Sunan Abu Dawud, Sunan an-Nasa’i, dan Sunan at-Tirmizi] dari Qabisah bin Zuaib).

Keenam, ahli waris asabat, yaitu ahli waris yang dalam menerima harta peninggalan tidak berdasarkan­ jumlah ter-tentu (al-furudh al-muqaddarah), akan tetapi menerima sisa harta peninggalan setelah­ dibagikan terlebih dahulu kepada ahli waris ashab al-furudh.

Kelompok ini terdiri dari:

(1) asabat­ nasabiyah, yaitu ahli waris karena adanya hubung­an­ keturunan, yang terdiri dari asabat bi nafsih (menjadi asabat dengan sendirinya), asabat bi al-gair (mene­rima sisa harta waris karena pe­rantaraan­ yang lain dalam hal hubung­an nasab; QS.4:11 dan 176), dan asabat ma‘a al-gair (mene­rima sisa harta waris beserta yang lain); dan

(2) asabat sababiyah, yaitu ahli waris karena memerdekakan­ orang yang mening-galkan harta pusaka dengan status hamba.

Ketujuh, ahli waris dzawi al-arham, yaitu orang yang ada hubungan kerabat dengan yang mening­gal­ dunia, tetapi tidak termasuk ashab al-furudh dan tidak juga termasuk­ ahli waris asabat. Imam Malik, Imam Syafi‘i, Abdurrahman al-Au-za’i, dan Ibnu Hazm berpendapat bahwa ahli waris Dzawi al-arham tidak memperoleh harta warisan.

Jika yang meninggal tidak mempunyai ashab al-furudh dan ahli waris asabat, harta pening­galannya di­serahkan ke Baitulmal. Adapun Ali bin Abi Thalib, Mu‘az bin Jabal, Abu Ubai­dah bin Jarrah, al-Khulafa’ ar-Rasyidun yang lain, dan dari pihak tabiin (seperti Syuraih, al-Hasan, Ibnu Sirin, Ata, dan Mujahid) mengatakan bahwa Dzawi al-arham menerima harta warisan (QS.8:75).

Hijab (Ar.: hijab). Penghalang untuk menerima­ harta warisan. Jika seluruh ahli waris yang di­sebutkan terdahulu ada, maka tidak semuanya akan me­nerima­ harta waris yang ditinggalkan si mati; yang pasti menerima harta waris hanya empat orang (pihak), yaitu ayah, ibu, anak, (baik anak laki-laki maupun perempuan, satu orang maupun lebih), dan suami/ istri.

Hijab ada dua macam, yaitu hijab nuqsan dan hijab hirman. Hijab nuqsan adalah halangan yang mengakibatkan berkurangnya penerimaan harta waris­ (lihat dalam pembic-araan ashab al-furudh). Hijab hirman adalah penghalang yang mengakibatkan ahli waris yang lain sama sekali tidak menerima harta peninggalan.

Daftar pustaka

Abu Zahrah, Muhammad. Ahkam at-Tirkah wa al-Mawarits. Cairo: Dar al-Fikr al-‘Arabi, 1963.
Ibnu Rusyd. Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtasid. Semarang: Maktabah Usaha Keluarga Semarang, t.t.
al-Khudri, Ahmad Kamil. al-Mawarits al-Islamiyyah. Cairo: Muhammad Taurif Uwaidah, 1966.
ash-Shiddieqy, T.M. Hasbi. Fiqhu al-Mawaris. Jakarta: Bulan Bintang, 1973.

Atjeng Achmad Kusaeri