Secara kebahasaan wara‘ berarti “saleh dan menjauhkan diri dari dosa”. Dalam istilah tasawuf, warak berarti “menjauhi atau meninggalkan sesuatu yang di dalamnya terdapat unsur-unsur syubhat (diragukan halal dan haramnya)”.
Ibrahim bin Adham (w. 161 H/777 M), seorang sufi, mengatakan bahwa warak itu bukan hanya terbatas pada menjauhi yang syubhat, tetapi juga harus meninggalkan segala bentuk kebutuhan bukan pokok (sekunder). Lebih keras dari Ibrahim bin Adham ialah pendapat seorang sufi lain, Abu Bakar asy-Syibli. Ia mengatakan bahwa warak ialah menjauhkan diri dari segala sesuatu selain Allah SWT.
Dari perbedaan definisi yang diungkapkan para sufi seperti tersebut di atas, Abu Nasr as-Sarraj at-Tusi (sufi dan tokoh fundamentalis tasawuf) membagi warak dalam tiga tingkatan, yakni umum, khusus, dan khusus al-khusus. Warak umum adalah tingkat warak orang yang menjauhi sesuatu yang syubhat.
Warak khusus adalah tingkat warak orang yang menjauhi sesuatu yang halal, tetapi hati belum menerima kehalalannya secara utuh. Tingkatan ketiga, warak khusus al-khusus adalah warak orang arif, yaitu menjauhkan diri dari tindakan yang bukan mengarah pada penghampiran diri kepada Allah SWT.
Masing-masing tingkatan warak di atas tergambar dari beberapa sabda Nabi SAW. Warak tingkat pertama terlihat dari hadis Nabi SAW,
“Yang halal itu jelas dan yang haram pun jelas, di antara keduanya terdapat hal-hal yang syubhat, yang tidak diketahui oleh kebanyakan orang. Siapa yang berhati-hati terhadap yang syubhat, terpeliharalah kehormatan dan agamanya dan siapa yang terjerumus kepada yang syubhat berarti ia jatuh kepada yang haram” (HR. Bukhari dan Muslim dari Nu‘man bin Basyir).
Selanjutnya warak tingkat kedua tercermin pula dalam hadis Nabi SAW, “Yang dikatakan dosa itu ialah sesuatu yang diragukan oleh hati” (HR. Ahmad dari Wabisah).
Warak tingkat ketiga tercermin dari ungkapan asy-Syibli yang menyatakan bahwa orang yang warak hatinya tak pernah lupa mengingat Allah SWT. Ucapan ini sejalan dengan firman Allah SWT,
“Orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), ‘Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka” (QS.3:191).
Sifat tersebut merupakan ciri orang yang berpikir (ulu al-albab). Yang dimaksud dengan berpikir di sini ialah yang betul-betul menghayati kehidupan dengan segala aneka peristiwa yang mengitarinya, sehingga ia dapat menentukan pilihan antara baik dan buruk, di sampingia juga tak pernah lupa mengingat Allah SWT.
Dari pandangan di atas terlihat bahwa pengertian pokok warak ialah terjauhnya manusia dari sesuatu yang dapat memalingkannya dari mengingat Allah SWT. Karena itu, permasalahan halal dan haramnya sesuatu yang akan diper gunakan perlu mendapat perhatian yang serius dari sese orang yang ingin menghampirkan dirinya kepada Allah SWT, yakni sufi.
Mereka sangat anti terhadap sesuatu yang haram karena yang haram itu di samping mendatangkan dosa juga akan membutakan hati dan menutupinya dari mengingat Allah SWT. Demikian pula mereka juga berhati-hati terhadap yang halal, karena berlebihan pada yang halal akan mengakibatkan lupa kepada Allah SWT.
Berdasarkan pandangan terhadap yang halal, al-Ghazali membagi tingkatan warak menjadi empat tingkatan, yaitu:
(1) wara‘ al-‘udul, yaitu menjauhkan diri dari segala yang diharamkan oleh para penguasa dan masyarakat umum atas dasar ketentuan Allah SWT;
(2) wara‘ as-salihin, yaitu menjauhkan diri dari yang syubhat;
(3) wara‘ al-muttaqin, yaitu menahan diri dari yang halal tetapi dikhawatirkan membawa pada yang haram; dan
(4) wara‘ as-siddiqin, yaitu menahan diri dari yang halal, yang dapat membawa kelalaian hati dari mengingat Allah SWT.
Menurut al-Ghazali, warak tingkat pertama wajib dimiliki setiap muslim, sebab kalau tidak maka otomatis orang akan hanyut dalam maksiat dan kejahatan. Warak tingkat kedua pada pokoknya adalah menjauhi sesuatu yang sunah karena diragukan atau dikhawatirkan akan halalnya.
Hal ini sesuai dengan sabda Nabi SAW, “Tinggalkanlah apa yang engkau ragukan pada apa yang tidak engkau ragukan” (HR. at-Tirmizi, an-Nasa’i, dan al-Hakim dari Hasan bin Ali bin Abi Thalib).
Karena itu Ibnu Sirin (32–110 H/651–729 M), salah seorang periwayat dan ahli hadis, tidak mau mempergunakan uang (sebesar 4.000 dirham) yang dimilikinya, meskipun oleh ulama fikih disepakati kehalalannya, karena ia merasa ragu terhadapnya. Selanjutnya, warak tingkat ketiga diperjelas oleh perkataan Umar bin Khattab, “Kami menjauhi enam persepuluh dari yang halal karena takut jatuh kepada yang haram.”
Adapun tingkat keempat adalah waraknya orang yang telah mengkhususkan diri mereka di jalan Allah SWT dan menjauhkan diri dari pengaruh hawa nafsu. Mereka menjauhkan diri dari apa yang diisyaratkan oleh firman Allah SWT, “Katakanlah, Allah (yang menurunkannya), kemudian (sesudah kamu menyampaikan Al-Qur’an kepada mereka) biarkanlah mereka bermain-main dalam kesesatannya” (QS.6:91).
Warak tingkat awal berpangkal dari wara‘ al-‘udul, yakni menjauhi yang haram berdasarkan fatwa ulama. Selanjutnya warak ini mengacu pada wara‘ as-siddiqin, yakni menjauhi segala sesuatu selain Allah SWT.
Di dalam tasawuf, warak merupakan salah satu maqam (station) dalam menghampirkan diri kepada Allah SWT. Oleh sebab itu seseorang yang ingin menghampirkan diri kepada Allah SWT, setelah bertobat harus bersikap warak. Setelah itu ia harus menempuh maqam-maqam lainnya yang lebih tinggi, sehingga ia merasa betul-betul dekat dengan Tuhan.
Daftar Pustaka
al-Ghazali, Abu Hamid Muhammad bin Muhammad. ‘Ihya’ ‘Ulum ad-Din. Cairo: Mustafa al-Babi al-Halabi, 1939.
al-Qusyairi, Abu al-Qasim Abdul Karim. ar-Risalah al-Qusyairiyyah. Cairo: Mustafa al-Babi al-Halabi, 1959.
at-Tusi, Abu Nasr as-Sarraj. al-Luma‘. Cairo: Dar al-Kutub al-Hadisah, 1960.
Yunasril Ali