Ijabi dan Salabi

Ijabi secara kebahasaan berarti  “mengiyakan atau menetapkan” dan salabi “menidakkan atau menyangkal”. Secara umum istilah ijabi berarti “sifat yang menandai adanya hubungan sesuatu dengan yang lain”. Adapun salabi berarti “segala sesuatu yang bersifat negatif, yakni menyangkal adanya hubungan­ antara sesuatu dan yang lain”. Kedua istilah itu dipakai dalam filsafat, matematika, dan ilmu pengetahuan alam.

Ijabi dalam filsafat diterapkan pada tiga hal. Pertama, Ijabi dipakai sebagai padanan kata idhtirari (bersifat memaksa), lawan ikhtiyari (bersifat bebas memilih). Ijabi merupakan sifat memaksa dari suatu perintah yang datang dari pihak yang lebih tinggi. Contoh: Allah SWT meme­rintahkan kaum beriman untuk berpuasa dengan perintah Ijabi se­hingga puasa menjadi wajib baginya.

Kedua, Ijabi dipakai untuk menyebut sifat kesempurnaan­ Allah SWT. Sifat ma‘ani yang disebut sebagai sifat Ijabi Allah SWT antara lain adalah qudrah (kuasa), iradah (kehendak), sama‘ (mendengar), dan basar (melihat). Adapun sifat seperti qidam (tidak berawal), baqa’ (kekal), dan mukhalafatuhu li al-hawadits (tidak sama dengan alam) dikatakan sebagai sifat salabi.

Ketiga,­ Ijabi sebagai salah satu sifat qadhiyyah (proposisi, yakni rangkaian kata yang mengandung adanya suatu hukum/ke­tentuan). Proposisi dikatakan bersifat ijabi apabila di dalam proposisi itu terkandung hu­kum kebenar­an­ subjek (maudhu‘) yang dinyatakan oleh predikat (mahmul). Sifat ijabi adakalanya bersifat­ universal (al-ijabi al-kulli), seperti pada pro­posisi: segenap manusia adalah binatang yang berbicara/berakal­. Adakala­nya pula bersifat sebagian (al-ijabi al-juz’i), seperti: sebagian manusia adalah pedagang.

Sifat ijabi dipakai pula dalam ilmu pengetahuan alam dan matematika. Dalam ilmu pengetahuan alam, arus listrik yang bersumber pada kutub yang bermuatan listrik lebih besar dari kutub yang lain disebut arus listrik yang bersifat ijabi (positif). Ke­dua sifat tersebut tidak dapat berdiri sendiri.

Contoh: muatan listrik tidak akan ada tanpa kutub bermuatan­ positif (ijabi) dan negatif (salabi). Dalam matematika, simbol (+) disebut ijab dan semua yang dikategorikan bersifat demikian disebut­ ijabi. Salabi dipakai sebagai lambang dalam matematika dengan simbol (-), yang berarti pengu-rangan dari jumlah yang ada.

Sifat salabi dipakai dalam filsafat pada dua hal. Pertama, sebagai nama bagi sifat Allah SWT yang menolak menyama­ kan Allah SWT dengan makhluk. Sifat salabi ada lima. (1) Qidam (tidak berawal), dalam arti Allah SWT ada sebelum segala sesuatu ada dan ada-Nya itu tidak berpermulaan. (2) Baqa’ (kekal), tidak ada akhirnya. Allah SWT tetap ada selama-lamanya. (3) Mukhalafatuhu li al-hawadits (tidak sama dengan­ alam). (4) Qiyamuhu bi nafsihi (berdiri sendiri),­ tidak memerlukan teman, waktu, tempat, dan sesuatu apa pun. (5) WahaÎniyyah (Maha Esa).

Kedua, salabi sebagai salah satu sifat proposisi. Qadhiyyah (proposisi) dikatakan bersifat negatif apabila di dalamnya terdapat hukum nafy (penyang­kalan)­ terhadap subjek yang terdapat pada predi­kat, seperti pada kali­mat: es bukan benda cair. Sifat salabi pada proposisi dapat dibagi dua. (1) Sifat salabi yang bersifat universal (as-salabi al-kulli), seperti: segenap manusia tidak kekal. (2) Sifat salabi yang bersifat sebagian (as-salabi al-juz’i), seperti:­ sebagian­ manusia­ bukan orang yang berbahagia­.

Sifat salabi dipakai dalam ilmu jiwa sebagai padanan­ kata “negativisme,” yaitu tabiat yang cende­rung menentang pikiran, perkataan, dan perbuatan orang lain. Termasuk dalam kategori ini adalah orang yang mempunyai sikap batin tidak acuh kepada­ orang lain dan orang yang senantiasa melihat seseorang dari segi negatifnya.

Daftar Pustaka

Abdul Mu‘in, M. Taib Thahir. Ilmu Mantiq (Logika). Jakarta:­ Wijaya, 1981.

Saliba, Jamil. al-Mu‘jam al-Falsafi. Cairo: Dar al-Kitab al-Misri, 1978.

Yunasril Ali