Syah Waliyullah adalah seorang tokoh pembaruan pemikiran Islam di India pada abad ke-18. Nama lengkapnya Qutubuddin Ahmad bin Abdurrahim bin Wajihuddin bin Mu‘azzam bin Ahmad bin Muhammad bin Qawwamuddin.
Silsilah tokoh yang lahir pada 21 Februari 1703 (4 Syawal 1114 H) ini sampai kepada Khalifah Umar bin Khattab, sehingga di belakang namanya sering ditambah al-Umari al-Faruqi. Namanya yang demikian panjang secara umum menggambarkan penghormatan kepadanya dan kesalehannya, sehingga sejak bayi ia telah diberi gelar “wali” berdasarkan petunjuk para wali kepada orangtuanya melalui mimpi.
Sewaktu berumur 5 tahun, Waliyullah telah memasuki pendidikan dasar, dan pada umur 7 tahun ia telah menghafal Al-Qur’an. Pada saat berusia 15 tahun, ia telah menguasai berbagai cabang ilmu pengetahuan, seperti ilmu hukum, tafsir, hadis, ilmu logika, filsafat, astronomi, kedokteran, dan matematika.
Selain pengembangan intelektual, pendidikan Syah Waliyullah juga dilengkapi dengan pengembangan rohani melalui latihan dalam tarekat, sebab orangtuanya termasuk pemimpin lokal Tarekat Naqsyabandiyah.
Pada 1143 H/1731 M Syah Waliyullah pergi ke Hijaz selama 14 bulan untuk mendalami ilmu pengetahuan agamanya, terutama dalam bidang hadis, fikih, dan tasawuf. Dalam bidang ilmu yang disebut terakhir ia sempat memperoleh “ijazah” dari Syekh Abu Tahir al-Madani. Terdapat versi lain mengenai motivasi Syah Waliyullah berangkat ke Hijaz.
Ada yang menyebut keberangkatannya itu untuk menunaikan ibadah haji dan memperdalam pengetahuan agamanya. Ada pula yang menganggapnya sebagai suatu usaha untuk menghindari gelombang reaksi yang amat keras dari ulama konservatif India terhadapnya, sebab ia melakukan penerjemahan Al-Qur’an ke bahasa Persia, suatu hal yang dianggap tabu ketika itu.
Dalam bukunya, Fuyudh al-haramain (Limpahan Dua Kota Suci) dan al-Fatimah, ia menulis pengalamannya ketika di Mekah bahwa ia telah memperoleh hubungan spiritual secara langsung dengan Nabi SAW, dan ia telah memperoleh makrifat berupa ilmu dan bimbingan. Itulah sebabnya ia memakai gelar uwaisy dan mengangkat dirinya sebagai mujadid (pembaru).
Lebih jauh Syah Waliyullah menjelaskan dalam mukadimah (kata pendahuluan) kitabnya al-hujjah al-Baligah (Argumentasi yang Kuat) bahwa di dalam mimpi ia telah menerima pena dari Hasan bin Ali bin Abi Thalib dan Husein bin Ali bin Abi Thalib, cucu Rasulullah SAW, dan disebutkan bahwa pena tersebut adalah pena pemberian Rasulullah SAW.
Pemikirannya dalam bidang studi Al-Qur’an dapat ditemukan dalam kitabnya al-Fauz al-Kabir fi Usul at-Tafsir (Kemenangan Besar dalam Usul Tafsir). Buku ini penting bukan hanya karena keberaniannya mengemukakan pendapat yang orisinal, melainkan juga karena pendapatnya dalam bidang ilmu-ilmu Al-Qur’an.
Menurutnya, dalam memahami pesan Al-Qur’an, sangat penting mengetahui latar belakang sosial budaya masyarakat Arab pada masa turunnya Al-Qur’an, di samping asbab an-nuzul (sebab-sebab turunnya ayat).
Dalam pendahuluan kitabnya al-hujjah al-Baligah, ia menegaskan bahwa hadis merupakan dasar bagi semua cabang ilmu agama, sebab menurutnya tidak mungkin mengetahui syariat tanpa adanya riwayat dari Nabi SAW, dan tidak mungkin mengetahui riwayat dari Nabi SAW tanpa mengetahui bagaimana proses riwayat itu sejak dari Nabi SAW. Dalam hal inilah Syah Waliyullah menentukan peringkat kitab-kitab hadis menjadi empat.
Tingkat pertama adalah al-Muwatta’, sahih al-Bukhari, dan sahih Muslim. Tingkat kedua adalah kitab-kitab yang nilai kesahihannya berada di bawah tiga kitab tersebut, yaitu Sunan Abu Dawud, Sunan at-Tirmidzi, dan Sunan an-Nasa’i.
Tingkat ketiga adalah kitab-kitab Musnad Jami‘ dan Musannaf yang ditulis sebelum, semasa, dan sesudah Imam Bukhari dan Imam Muslim, yang memuat hadis-hadis sahih, hasan, dan daif, misalnya kitab al-Baihaqi, at-Tahawi, dan at-Tabrani.
Tingkat keempat adalah kitab-kitab yang penyusunannya dimaksudkan untuk mengum pulkan hadis-hadis yang terdapat dalam musnad-musnad (rawi hadis) yang tidak populer, termasuk di dalamnya antara lain kitab-kitab Abu Na’im, Ibnu Asakir, dan ad-Dailami.
Dalam bidang fikih, Syah Waliyullah menekankan larangan taklid buta. Taklid menurutnya hanya boleh apabila seseorang mengetahui secara jelas apa yang harus dia ikuti.
Syah Waliyullah telah berhasil menjembatani jurang pemisah antara kaum fukaha (ahli fikih) dan kaum sufi. Bahkan ia berhasil mendamaikan pemikiran ajaran wahdatul wujud Ibnu Arabi dengan ajaran wahdat asy-syuhud (suatu konsep keyakinan dalam tasawuf yang menganggap seolah-olah Tuhan bersatu dengan makhluk-Nya) yang dipelopori Syekh Ahmad Sirhindi (1564–1624), seorang tokoh pembaruan di India. Pemikiran Syah Waliyullah memiliki pengaruh besar di dunia Islam, termasuk di Indonesia.
Syah Waliyullah menyampaikan pemikirannya melalui karya tulis yang jumlahnya lebih dari seratus buah dalam bahasa Arab dan Persia. Dari jumlah tersebut sebanyak 28 di antaranya masih bisa dijumpai sekarang di dunia Islam.
Daftar pustaka