Walimatul ‘urs berasal dari kata walimah (berkumpul) dan al-‘urs (perkawinan). Walimatul ‘urs adalah kenduri yang diselenggarakan dengan tujuan menyebarkan berita tentang telah terjadinya pernikahan agar diketahui umum, sehingga terhindar dari fitnah.
Jumhur (mayoritas) ulama berpendapat bahwa hukum walimatul ‘urs adalah sunah. Pendapat ini dikenal di dalam Mazhab Maliki, Mazhab Hanbali, dan sebagian golongan dari Mazhab Syafi‘i. Menurut mereka walimatul ‘urs ada lah jamuan makan yang diselenggarakan dalam rangka menyambut suatu peristiwa yang menggembirakan.
Bahkan Imam Malik dalam karya Imam Syafi‘i, al-Umm, dan pengikut Mazhab az-Zahiri berpendapat bahwa hukum penyelenggaraan walimatul ‘urs adalah wajib. Pendapat ini didasarkan atas sabda Nabi SAW kepada Abdur Rahman bin Auf, “Selenggarakanlah walimah, meskipun hanya dengan seekor kambing” (HR. Bukhari dan Muslim).
Orang yang menentukan bahwa hukum walimatul ‘urs itu adalah sunah disebabkan karena ia bersandar pada pendapat Imam Syafi‘i,
“Saya tidak mengetahui ada orang yang diperintahkan untuk menyelenggarakan walimah selain Abdur Rahman. Saya pun tidak mengetahui Nabi SAW meninggalkannya.”
Ulama berselisih pendapat mengenai waktu penyelenggaraan walimatul ‘urs: apakah pada waktu akad nikah, sesudah akad nikah atau ketika dukhul (bersetubuh). Di kalangan para pengikut Mazhab Maliki terdapat perbedaan pendapat. Sebagian berpendapat, disunahkan penyeleng garaan walimatul ‘urs sesudah dukhul, sedangkan sebagian lainnya beranggapan, disunahkan penyelenggaraannya ketika akad nikah.
Menurut Ibnu Jundub, penyelenggaraan walimatul ‘urs adalah pada waktu akad dan sesudah dukhul. Imam al-Mawardi (w. 405 H/1058 M; ahli fikih Mazhab Syafi‘i) berpendapat, disunahkan penyelenggaraan walimatul ‘urs ketika dukhul.
Adapun menurut as-Subki, perbuatan Nabi SAW menunjukkan penyelenggaraannya sesudah dukhul. Hal ini didasarkan antara lain pada hadis riwayat Anas bin Malik dalam kitab Bukhari yang menyatakan bahwa walimatul ‘urs itu diselenggarakan sesudah dukhul.
Ketika itu Nabi SAW menikahi Zainab binti Jahsy dan kemudian mengundang orang-orang. Hadis ini dijadikan sandaran oleh pengikut Mazhab Maliki. Di pihak lain pengikut Mazhab Hanbali mengatakan bahwa walimatul ‘urs itu disunahkan bersamaan dengan akad nikah dan sesuai dengan adat dilakukan tidak lama sebelum dukhul.
Ulama juga memperdebatkan hukum memenuhi undangan. Mazhab Hanafi berpendapat bahwa hukum meng hadiri undangan adalah sunah. Adapun jumhur ulama yang terdiri dari Mazhab Maliki, Mazhab Syafi‘i, dan Mazhab Hanbali, menentukan hukumnya wajib ain (kewajiban pribadi) jika orang yang diundang tidak mempunyai halangan.
Di antara halangan yang menggugurkan kewajiban itu adalah penuh sesaknya orang, tertutupnya pintu baginya, dan halangan lain yang membolehkan seseorang tidak mengikuti salat Jumat (seperti hujan lebat, jalan becek, dan sakit). Bagi orang yang sedang menjalani saum (puasa), memenuhi undangan walimatul ‘urs tetap wajib, tetapi hendaknya dia meneruskan saumnya.
Menurut Mazhab Syafi‘i, jika seseorang diundang ke suatu walimatul ‘urs yang mengandung kemunkaran, dia wajib menghadirinya jika mampu melenyapkan kemunkaran itu. Hal ini disebabkan karena adanya kewajiban memenuhi undangan dan melenyapkan kemunkaran.
Akan tetapi, jika tidak mampu melenyapkannya, dia tidak berkewajiban menghadirinya. Adapun menurut Mazhab Hanbali, meme nuhi undangan walimatul ‘urs yang diketahui akan meng hidangkan makanan yang haram adalah makruh.
Memakan makanan dalam walimatul ‘urs adalah mus tahabb (disukai), bahkan bagi orang yang sedang menjalani saum sunah, karena hal itu akan mendatangkan kegembiraan bagi orang yang mengundang. Jika orang yang diundang itu banyak, jika mungkin seluruhnya memenuhi undangan itu; dan jika tidak mungkin, cukup wakilnya saja.
Hukum mengundang orang kaya tanpa mengundang fakir miskin untuk menghadiri walimatul ‘urs adalah makruh. Hal ini didasarkan pada hadis Nabi SAW yang diriwayatkan Muslim dari Abu Hurairah RA,
“Seburuk-buruk makanan adalah makanan walimah di mana orang-orang fakir yang mendatanginya tidak diperkenankan memakannya, tapi orang-orang kaya yang enggan memakannya justru diundang untuk mendatanginya.” Jika undangan ditujukan kepada orang-orang kaya dan fakir miskin, keburukan makanan itu hilang.
Walimatul ‘urs sering disertai dengan musik dan nyanyian. Mengenai hal ini terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama. Al-Ghazali berpendapat bahwa hukum mendengarkan nyanyian dan alat-alat musik (seperti beduk dan rebana), menurut nas dan kias, adalah mubah, kecuali alat-alat yang menurut syariat memang dilarang. Mengenai tari-tarian, sebagian ulama menentukan hukumnya makruh, dan sebagian lainnya menentukan mubah.
Etika menghadiri walimatul ‘urs juga dijelaskan dalam Al-Qur’an surah al-Ahzab (33) ayat 53, “…dan apabila kamu selesai makan, keluarlah kamu tanpa asyik memperpanjang percakapan.” Larangan memperpanjang percakapan ini didasarkan atas kekhawatiran akan mengganggu kedua mempelai dan ahli rumah. Menurut al-Maraghi, meskipun ayat ini diturunkan sehubungan dengan walimatul ‘urs Nabi SAW dengan Zainab binti Jahsy, kaum muslimin hendaknya meneladaninya.
Daftar Pustaka
al-Bukhari, Abu Abdullah Muhammad bin Ismail. Sahih al-Bukhari. Beirut: Dar al-Fikr, 1981.
al-Jaziri, Abdurrahman. al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Arba‘ah. Beirut: Dar al-Fikr, 1986.
an‑Naisaburi, Ibnu al‑Husain Muslim. Sahih Muslim. Beirut: Dar al‑Fikr, 1988.
Sabiq, Sayid. Fiqh as-Sunnah. Kuwait: Dar al-Bayan, 1971.
as-San’ani, Muhammad bin Isma’il al-Kahlani. Subul as-Salam. Damascus: Dar al-Fikr, 1984.
asy-Syafi‘i, Abi Abdillah Muhammad bin Idris. al-Umm. Beirut: Dar al-Fikr, 1973.
az‑Zuhaili, Wahbah. al‑Fiqh al‑Islami wa Adillatuh. Damascus: Dar al‑Fikr, 1984.
Hery Noer Aly