Sembilan ulama pelopor dan pejuang pengembangan Islam (islamisasi) di Pulau Jawa pada abad ke-15 (masa Kesultanan Demak) disebut Wali Songo. Mereka adalah Sunan Gresik, Sunan Ampel, Sunan Bonang, Sunan Giri Sunan Drajat, Sunan Kalijaga, Sunan Kudus, Sunan Muria, dan Sunan Gunung Jati.
Kata “wali” (Arab) antara lain berarti pembela, teman dekat, dan pemimpin. Dalam pemakaiannya, wali biasanya diartikan sebagai orang yang dekat denganAllah SWT (waliyullah). Adapun kata “songo” (Jawa) berarti sembilan. Wali Songo secara umum diartikan sebagai sembilan wali yang dianggap telah dekat dengan Allah SWT, terus-menerus beribadah kepada-Nya, serta memiliki kekeramatan dan kemampuan lain di luar kebiasaan manusia.
Dalam penyiaran Islam di Jawa, Wali Songo dianggap sebagai kepala kelompok dari sejumlah besar mubalig Islam yang mengadakan dakwah di daerah yang belum memeluk agama Islam. Namun masih terdapat perbedaan pendapat di kalangan ahli sejarah tentang nama-nama mereka yang termasuk kelompok sembilan wali tersebut. Secara singkat, apa dan siapa para Wali Songo tersebut adalah sebagai berikut.
NAMA | GELAR | TAHUN WAfAT | TEMPAT MAKAM | |||||||||||
1 | Maulana Malik Ibrahim | Sunan Gresik | 12 Rabiulawal 822/8 April 1419 | Pekuburan Gapura Wetan, Gresik | ||||||||||
2 | R. Rahmat | Sunan Ampel | 1481 | Masjid Ampel, Surabaya | ||||||||||
3 | R. Paku (R. Ainul Yakin) | Sunan Giri | awal abad ke-16 | Bukit Giri, Gresik | ||||||||||
4 | R. Maulana Makhdum Ibrahim | Sunan Bonang | 1525 | Tuban | ||||||||||
5 | R. Kosim Syarifuddin | Sunan Drajat | pertengahan abad ke-16 | Sedayu, Gresik | ||||||||||
6 | Syarif Hidayatullah | Sunan Gunung Jati | 1570 | Gunung Jati, desa Astana, Cirebon | ||||||||||
7 | R. Ja‘far Sadiq | Sunan Kudus | 1550 | Kudus | ||||||||||
8 | R. Mas Syahid | Sunan Kalijaga | pertengahan abad ke-15 | Kadilangu, Demak | ||||||||||
9 | R. Said (R. Prawoto) | Sunan Muria | abad ke-16 | Bukit Muria, Jepara | ||||||||||
Sunan Gresik (w. Gresik, 12 Rabiulawal 822/8 April 1419). Salah seorang dari Wali Songo yang diyakini sebagai pelopor penyebaran Islam di Jawa; menempati urutan pertama dalam Wali Songo. Ia jugadikenal dengan nama Maulana Malik Ibrahim, Maulana Magribi atau Syekh Magribi, karena diduga berasal dari wilayah Magribi, Afrika utara.
Ada pula yang mengenalnya sebagai Jumadil Kubra, nama yang berkaitan erat dengan nama ayahnya, yang menurut suatu sumber bernama Maulana Muhammad Kubra. Tetapi masyarakat umum di Jawa lebih mengenalnya sebagai Sunan Gresik, karena tempat tinggal untuk menyiarkan Islam dan pemakamannya berada di daerah Gresik.
Tidak ada kesepakatan di kalangan para ahli sejarah tentang asal, tempat, dan tahun kelahiran Sunan Gresik. Sunan Gresik diperkirakan lahir sekitar pertengahan abad ke-14 (1350). Ada yang berpendapat bahwa ia berasal dari Arab dan nasabnya bertalian dengan golongan Sayid dari Hadramaut.
Sumber lain menyebutkan bahwa ia keturunan Zainal Abidin bin Hasan bin Ali bin Abi Thalib dan dengan demikian mempunyai pertalian darah dengan Nabi Muhammad SAW, karena Ali bin Abi Thalib adalah keponakan sekaligus menantu Nabi SAW.
Pendapat lain menyebut bahwa ia berasal dari Gujarat (India) dan semula adalah seorang pedagang, kemudian datang ke Jawa untuk menyiarkan agama Islam. Sumber lain lagi menyebutkan, ia adalah pedagang dari Kashan, Iran.
Sunan Gresik sejak kecil sudah belajar agama Islam, karena ia dilahirkan dan dibesarkan di tengah keluarga muslim yang taat beragama. Tetapi tidak ada keterangan tentang siapa saja gurunya dan di mana saja ia belajar agama Islam sehingga menjadi seorang ulama. Setelah dewasa, ia menikah dengan seorang putri bangsawan bernama Dewi Candrawulan, putri pertama Ratu Campa yang telah menganut agama Islam dan istri Brawijaya, raja Majapahit terakhir.
Dalam berbagai literatur, kedatangan Sunan Gresik di tanah Jawa dicatat sebagai permulaan masuknya Islam di Jawa. Karena itu, ia dianggap sebagai orang yang mula-mula memasukkan Islam ke Jawa dan sebagai pendiri pondok pesantren pertama di Indonesia.
Tetapi keterangan nisan sebuah makam yang terdapat di Gresik, yaitu makam Fatimah binti Maimun yang wafat 475 H/1082 M, dapat menjadi petunjuk bahwa Islam sudah dibawa masuk ke Pulau Jawa oleh pedagang-pedagang muslim sebelum kedatangan Sunan Gresik.
Para ahli sejarah umumnya berpendapat bahwa sekitar tahun 1416 agama Islam sudah mulai dikenal masyarakat di Jawa. Bahkan menurut sumber Tiongkok, ketika perutusan Tiongkok datang ke Jawa Timur (1413), mereka melihat adanya tiga masyarakat: pertama, orang Islam yang berpakaian bersih, hidupnya teratur dan makanannya enak-enak; kedua, orang Cina yang pola hidupnya hampir sama dengan orang Islam, bahkan di antara mereka banyak yang sudah muslim; dan ketiga, penduduk setempat yang masih kotor-kotor, tidak bersongkok dan tidak bersepatu.
Orang Islam yang disebut berita Tiongkok tersebut diduga kebanyakan muslim penda-tang. Umumnya mereka pedagang yang tingkat ekonominya lebih baik dan hidupnya lebih teratur, sebab mereka datang dari masyarakat atau bangsa yang telah mencapai peradaban tinggi.
Delapan dasawarsa kemudian, sumber Portugis memberitakan bahwa pada 1498 penduduk beberapa kabupaten di pesisir Pulau Jawa bagian utara, mulai dari rakyat kecil hingga bupati, telah memeluk Islam. Artinya, telah ada komunitas-komunitas Islam. Hal ini sangat mungkin terjadi, sebab antara tahun berita Tiongkok dan Portugis telah hadir dua generasi, baik keturunan dari penduduk setempat yang beragama Islam maupun keturunan dari muslim pendatang yang biasanya menikah dengan gadis-gadis setempat.
Bahwa Sunan Gresik disebut sebagai orang yang pertama-tama memasukkan Islam ke Pulau Jawa, hal itu dilihat dari fakta bahwa usaha dakwah Islam lebih intensif setelah ia datang, dan dengan pendekatannya yang arif bijaksana penduduk dapat menerima Islam dengan lebih cepat.
Pada masa itu, masyarakat Jawa pada umumnya adalah pemeluk agama Hindu/Buddha dan berada di bawah pemerintahan Kerajaan Majapahit. Masyarakat menganut struktur sosial yang berkasta, yaitu kasta Sudra, Waisya, Ksatria, dan Brah-mana. Model masyarakat inilah yang menjadi objek dakwah para pedagang muslim dan Sunan Gresik.
Sekalipun ia bukan orang Jawa, ia dapat mengantisipasi keadaan masyarakat yang dihadapinya dan dapat menerapkan metode dakwah yang tepat untuk menarik simpati masyarakat terhadap Islam. Karena itu ia dapat menyumbangkan banyak jasa dalam pengembangan Islam di Pulau Jawa, bahkan di daerah lain di Nusantara.
Sunan Ampel (Campa, Aceh, 1401–Ampel, Surabaya, 1481). Nama aslinya Raden Rahmat. Ia adalah putra Maulana Malik Ibrahim dari istrinya yang bernama Dewi Candrawulan.
Sunan Ampel adalah penerus cita-cita serta perjuangan Maulana Malik Ibrahim, dan terkenal sebagai perencana pertama kerajaan Islam di Jawa. Ia memulai aktivitasnya de ngan mendirikan pesantren di Ampel Denta, dekat Surabaya, sehingga ia dikenal sebagai pembina pondok pesantren pertama di Jawa Timur. Di pesantren inilah Sunan Ampel mendidik para pemuda Islam untuk menjadi tenaga dai yang akan disebar ke seluruh Jawa.
Di antara pemuda yang dididik itu tercatat antara lain Raden Paku, yang kemudian terkenal dengan nama Sunan Giri, Raden Fatah yang kemudian menjadi sultan pertama kesultanan Islam di Bintoro, Demak, Raden Makhdum Ibrahim (putra Sunan Ampel sendiri) yang kemudian dikenal dengan Sunan Bonang, Syarifuddin yang kemudi-an dikenal dengan Sunan Drajat, Maulana Ishak yang pernah diutus ke daerah Blambangan untuk mengislamkan rakyat di sana, dan banyak lagi mubalig yang mempunyai andil besar dalam islamisasi Pulau Jawa.
Menurut Babad Diponegoro, Sunan Ampel sangat berpengaruh di kalangan istana Majapahit, bahkan istrinya pun berasal dari kalangan istana. Raden Fatah, putra Prabu Brawijaya, raja Majapahit, menjadi murid Sunan Ampel. Dekatnya Sunan Ampel dengan kalangan istana membuat penyebaran Islam di daerah kekuasaan Majapahit, khususnya di pantai utara Pulau Jawa, tidak mendapat hambatan yang berarti, bahkan mendapat izin dari penguasa kerajaan.
Sunan Ampel tercatat sebagai perancang kerajaan Islam pertama di Pulau Jawa dengan ibukota di Bintoro, Demak. Dialah yang mengangkat Raden Fatah sebagai sultan pertama Demak, yang dipandang punya jasa paling besar dalam meletakkan peran politik umat Islam di Nusantara.
Di samping itu Sunan Ampel juga ikut mendirikan Masjid Agung Demak pada 1479 bersama wali-wali yang lain. Ketika mendirikan masjid tersebut, para wali mengadakan pembagian tugas. Sunan Ampel diserahi tugas membuat salah satu dari saka guru (tiang kayu raksasa) yang kemudian dipasang di bagian tenggara.
Tiga tiang besar yang lain dikerjakan Sunan Kalijaga untuk tiang sebelah timur laut (bukan berupa tiang utuh, tetapi berupa beberapa balok yang diikat menjadi satu yang disebut “saka tatal”), Sunan Bonang untuk tiang sebelah barat laut, Sunan Gunung Jati untuk tiang sebelah barat daya, sementara bagian-bagian lain masjid dikerjakan oleh para wali yang lain.
Pada awal islamisasi Pulau Jawa, Sunan Ampel meng inginkan agar masyarakat menganut keyakinan yang murni. Ia tidak setuju bahwa kebiasaan masyarakat Jawa seperti kenduri, selamatan, sesaji, dan sebagainya tetap hidup dalam sistem sosio-kultural masyarakat yang telah memeluk agama Islam. Namun wali-wali yang lain berpendapat bahwa untuk sementara semua kebiasaan tersebut harus dibiarkan karena masyarakat sulit meninggalkannya secara serentak.
Akhirnya Sunan Ampel mentoleransinya. Hal tersebut terlihat dari persetujuannya ketika Sunan Kalijaga, dalam usahanya menarik penganut Hindu dan Buddha, mengusulkan agar adat-istiadat Jawa itulah yang diberi warna Islam. Sunan Ampel setuju walaupun ia tetap mengkhawatirkan adat dan upacara-upacara tersebut kelak menjadi bid’ah.
Sunan Bonang (Ampel Denta, Surabaya, 1465–Tuban, 1525). Dianggap sebagai pencipta gending pertama dalam rangka mengembangkan ajaran Islam di pesisir utara Jawa Timur. Ia adalah putra Raden Rahmat dari perkawinannya dengan Dewi Candrawati dan merupakan saudara sepupu Sunan Kalijaga.
Ia terkenal dengan nama Raden Maulana Makhdum Ibrahim, atau Raden Ibrahim (Makhdum adalah gelar yang biasa diberikan kepada ulama besar di India, yang berarti orang yang dihormati). Dari perkawinannya dengan Dewi Hiroh, ia memperoleh seorang putri bernama Dewi Rukhil yang diperistri Sunan Kudus.
Setelah mempelajari Islam di Pasai, Aceh, Sunan Bonang kembali ke Tuban, Jawa Timur, untuk mendirikan pondok pesantren. Santri-santri yang menjadi muridnya berdatangan dari berbagai daerah Nusantara. Setelah Sunan Ampel wafat, pesantren yang ditinggalkannya tidak lagi mempunyai pemimpin resmi.
Maka untuk mengisi kekosongan itu Sunan Bonang memprakarsai musyawarah para wali untuk membicarakan siapa yang akan memimpin pesantren tersebut. Hasil musyawarah wali memutuskan untuk mengangkat Raden Fatah menjadi pengganti almarhum Sunan Ampel.
Sunan Bonang dan para wali lainnya dalam menyebarkan agama Islam selalu menyesuaikan diri dengan corak kebudayaan masyarakat Jawa yang sangat menggemari wayang serta musik gamelan. Mereka memanfaatkan pertunjukan tradisional itu sebagai media dakwah Islam, dengan menyisipkan napas Islam ke dalamnya.
Syair lagu gamelan ciptaan para wali tersebut berisi pesan tauhid, sikap menyembah Allah SWT, dan tidak menyekutukan-Nya. Setiap bait lagu diselingi dengan syahadatain (ucapan dua kalimat syahadat); gamelan yang mengiringinya kini dikenal dengan istilah sekaten, yang berasal dari syahadatain.
Sunan Bonang sendiri menciptakan lagu yang dikenal dengan tembang durma, sejenis macapat yang melukiskan suasana tegang, bengis, dan penuh amarah.
Kegiatan dakwah Sunan Bonang dipusatkan di sekitar Jawa Timur, terutama daerah Tuban, denganbasis pesantren sebagai wadah mendidik kader. Dalam aktivitas dakwahnya, ia mengganti nama dewa-dewa dengan nama malaikat dalam Islam dengan maksud agar penganut Hindu dan Buddha mudah diajak masuk agama Islam.
Sunan Bonang memberikan pendidikan Islam secara mendalam kepada Raden Fatah, putra raja Majapahit Prabu Brawijaya V, yang kemudian menjadi sultan pertama Demak. Catatan-catatan pendidikan tersebut kini dikenal dengan “Suluk Sunan Bonang” atau “Primbon Sunan Bonang”. Isi buku tersebut berbentuk prosa ala Jawa Tengah, kalimatnya sangat banyak dipengaruhi bahasa Arab, dan sampai sekarang antara lain masih tersimpan di Universitas Leiden, Negeri Belanda.
Sunan Giri (Blambangan, pertengahan abad ke-15–Giri, 1506). Nama aslinya Raden Paku, disebut juga Prabu Satmata, dan kadang-kadang disebut Sultan Abdul Fakih. Ia adalah putra dari Maulana Ishak, yang ditugaskan Sunan Ampel untuk mengembangkan agama Islam di Blambangan.
Salah seorang saudaranya juga termasuk Wali Songo, yaitu Raden Abdul Kadir (Sunan Gunung Jati), dan ia mempunyai hubungan keluarga dengan Raden Fatah, karena istri mereka bersaudara.
Karena ayahnya, Maulana Ishak, ketika melaksanakan tugas menyebarkan Islam di Blambangan, pergi memperdalam ilmu ke Pasai dan tidak kembali lagi ke Jawa, Raden Paku di angkat anak oleh seorang wanita kaya bernama Nyai Gede Maloka, yang dalam Babad Tanah Jawa disebut Nyai Ageng atau Nyai Ageng Tandes.
Ketika usianya beranjak dewasa, Raden Paku belajar agama di Pondok Pesantren Ampel Denta (pimpinan Sunan Ampel), dan di sana berteman baik dengan Raden Maulana Makhdum Ibrahim, putra Sunan Ampel, yang kemudian terkenal dengan Sunan Bonang.
Dalam suatu perjalanan ibadah haji menuju Mekah, kedua santri ini lebih dahulu memperdalam pengetahuan di Pasai, yang ketika itu menjadi tempat berkembangnya ilmu ketuhanan, keimanan, dan tasawuf.
Di sini Raden Paku sampai pada tingkat ilmu laduni, sehing ga gurunya menganugerahinya gelar ‘Ain al-YaqÓn. Karena itulah ia kadang-kadang dikenal masyarakat dengan sebutan Raden Ainul Yakin.
Sunan Giri memulai aktivi-tas dakwahnya di daerah Giri dan sekitarnya dengan mendirikan pesantren, yang santrinya banyak be-rasal dari golongan masyarakat ekonomi lemah. Ia mengirim juru dakwah terdidik ke ber bagai daerah di luar Pulau Jawa, yaitu Madura, Bawean, Kangean, Ternate, dan Ti dore. Kegiatan-kegiatan ini menjadikan pesantren yang dipimpinnya menjadi terkenal di seluruh Nusantara.
Sunan Giri terkenal sebagai pendidik yang berjiwa demokratis. Ia mendidik anak-anak melalui berbagai per mainan yang berjiwa agama, misalnya Jelungan, Jamuran, Gendi Ferit, Jor, Gula Ganti, Cublak-cublak Suweng, Ilir-ilir, dan sebagainya. Ia juga dipandang sebagai orang yang sangat berpengaruh terhadap jalannya roda Kesultanan Demak Bintoro (Kesultanan Demak), sebab setiap kali muncul ma salah penting yang harus diputuskan, wali yang lain selalu menantikan keputusan dan pertimbangannya.
Sunan Drajat (Ampel Den ta, Surabaya, sekitar 1470–Sedayu, Gresik, pertengahan abad ke-16). Nama aslinya Raden Kosim atau Syarifuddin, tetapi karena ia dimakamkan di daerah Sedayu, maka kebanyakan masyarakat awam mengenalnya sebagai Sunan Sedayu.
Menurut silsilah, Sunan Drajat adalah putra Sunan Ampel dari istri keduanya yang bernama Dewi Candrawati. Ia mempunyai enam saudara seayah seibu, di anta ranya Siti Syareat (istri Raden Usman Haji), Siti Mutma’innah (istri Raden Muhsin), Siti Sofiah (istri Raden Ahmad, Sunan Malaka), dan Raden Maulana Makhdum Ibrahim (Sunan Bonang).
Di samping itu ia mempunyai dua saudara seayah lain ibu, yaitu Dewi Murtasiyah (istri Raden Fatah) dan Dewi Murtasimah (istri Raden Paku atau Sunan Giri). Istrinya sendiri, Dewi Sifiyah, adalah putri Sunan Gunung Jati.
Sunan Drajat turut-serta dalam musyawarah para wali untuk memutuskan siapa yang meng gantikan Sunan Ampel untuk memimpin pesantren Ampel Denta, dan ketika para wali me mutuskan untuk mengadakan pendekatan kultural pada ma syarakat Jawa dalam menyiarkan agama Islam, Sunan Drajat tidak ketinggalan untuk menciptakan tembang Jawa yang sampai saat ini masih banyak digemari masyarakat, yaitu tembang pangkur.
Hal yang paling menonjol dalam dakwah Sunan Drajat adalah perhatiannya yang sangat serius pada masalah-masalah sosial. Ia terkenal mempunyai jiwa sosial dan tema-tema dakwahnya selalu berorientasi pada kegotongroyongan. Ia selalu memberi pertolongan kepada umum, menyantuni anak yatim dan fakir miskin sebagai suatu proyek sosial yang dianjurkan agama Islam.
Sunan Kalijaga (akhir abad ke-14–pertengahan abad ke-15). Terkenal sebagai seorang wali yang berjiwa besar, berpandangan jauh, berpikiran tajam, intelek, serta berasal dari suku Jawa asli.
Nama Kalijaga konon berasal dari rangkaian bahasa Arab qadhi (pelaksana) dan zaka (membersihkan). Qadhazaka yang kemudian menurut lidah dan ejaan menjadi Kalijaga berarti pemimpin atau pelaksana yang menegakkan kebersihan atau kesucian.
Sunan Kalijaga bernama asli Raden Mas Syahid dan kadang-kadang dijuluki Syekh Malaya. Ayahnya bernama Raden Sahur Tumenggung Wilatikta yang menjadi bupati Tuban, sedang ibunya bernama Dewi Nawang Rum.
Daerah operasi dakwah Sunan Kalijaga tidak terbatas, bahkan sebagai mubalig ia berkeliling dari satu daerah ke daerah lain. Karena sistem dakwahnya yang intelek dan aktual, para bangsawan dan cendekiawan sangat bersimpati terhadapnya, demikian juga lapisan masyarakat awam, bahkan penguasa.
Dalam melaksanakan pemerintahan Kesultanan Demak Bintoro, Raden Fatah sangat menghargai berbagai nasihat dan petunjuk Sunan Kali jaga. Dalam pemerintahan Demak, di samping sebagai ulama dan juru dakwah, Sunan Kalijaga juga penasihat Kesultanan Demak Bintoro.
Ketika para wali memutuskan untuk mempergunakan pendekatan kultural terhadap masyarakat, termasuk di antaranya pemanfaatan wayang dan gamelan sebagai media dakwah, orang yang paling berjasa dalam hal ini adalah Sunan Kalijaga. Atas jasanya, Raden Fatah sebagai penguasa Kesultanan Demak Bintoro menghadiahkan sebidang tanah di sebelah tenggara Demak sebagai desa perdikan (bebas pajak) yang diperuntukkan bagi ahli waris dan keturunan Sunan Kalijaga.
Sunan Kalijaga juga sangat berjasa dalam perkembangan wayang purwa atau wayang kulit yang bercorak Islami seperti sekarang ini. Ia mengarang aneka cerita wayang yang bernapaskan Islam, terutama mengenai etika. Kecintaan masyarakat terhadap wayang digunakannya sebagai sarana untuk menarik mereka masuk Islam.
Jasa Sunan Kalijaga terhadap kesenian bukan hanya terlihat pada wayang dan gamelan, tetapi juga dalam seni suara, seni ukir, seni busana, seni pahat, dan kesusastraan. Banyak corak batik yang oleh Sunan Kalijaga diberi motif burung. Burung dalam bahasa Kawi disebut kukula. Kata tersebut ditulis dalam bahasa Arab menjadi qu dan qila yang berarti “peliharalah ucapanmu sebaik-baiknya”, dan menjadi salah satu ajaran etik Sunan Kalijaga melalui corak batik.
Sunan Kudus (abad ke-15–Kudus, 1550). Nama aslinya Ja‘far Sadiq, tetapi sewaktu kecil dipanggil Raden Undung. Kadang-kadang ia dipanggil dengan Raden Amir Haji, sebab ketika menunaikan ibadah haji ia bertindak sebagai pimpinan rombongan (amir).
Sunan Kudus adalah putra Raden Usman Haji, yang menyiarkan Islam di daerah Jipang Panolan, Blora. Menurut silsilah nya, Sunan Kudus masih mempunyai hubungan keturunan dengan Nabi Muhammad SAW. Silsilah selengkapnya: Ja‘far Sadiq bin Raden Usman Haji bin Raja Pendeta bin Ibrahim as-Samarkandi bin Maulana Muhammad Jumadalkubra bin Zaini al-Husein bin Zaini al-Kubra bin Zainul Alim bin Zainul Abidin bin Sayid Husein bin Ali RA.
Sunan Kudus menyiarkan agama Islam di daerah Kudus dan sekitarnya, dan dia memiliki keahlian khusus dalam bidang ilmu agama, terutama dalam ilmu fikih, usul fikih, tauhid, hadis, tafsir, serta logika. Karena itulah di antara Wali Songo hanya ia yang mendapat julukan sebagai wali al-‘ilmi (orang yang luas ilmunya), dan karena keluasan ilmunya ia didatangi banyak penuntut ilmu dari berbagai daerah di Nusantara.
Di samping menjadi juru dakwah, Sunan Kudus juga menjadi panglima perang Kesultanan Demak Bintoro yang tangguh, dan dipercaya untuk mengendalikan pemerintahan di daerah Kudus, sehingga ia menjadi pemimpin pemerintahan sekaligus pemimpin agama di daerah tersebut. Ada cerita yang mengatakan bahwa Sunan Kudus pernah belajar di Baitulmakdis, Palestina, dan pernah berjasa memberantas penyakit yang menelan banyak korban di Palestina. Atas jasanya itu, oleh pemerintah Palestina ia diberi ijazah wilayah (daerah kekuasaan) di Said.
Adapun nama kecilnya adalah Raden Prawoto. Namun ia lebih terkenal dengan nama Sunan Muria karena pusat kegiatan dakwahnya dan makamnya terletak di Gunung Muria (18 km di sebelah utara kota Kudus sekarang).
Sunan Muria (abad ke-15–abad ke-16). Salah seorang Wali Songo yang banyak berjasa dalam menyiarkan agama Islam di pedesaan Pulau Jawa. Ia adalah putra Sunan Kalijaga. Nama aslinya Raden Umar Said, atau Raden Said, sedang nama kecilnya adalah Raden Prawoto. Namun ia lebih terkenal dengan nama Sunan Muria karena pusat kegiatan dakwahnya dan makamnya terletak di Gunung Muria (18 km di sebelah utara kota Kudus sekarang).
Ciri khas Sunan Muria dalam upaya menyiarkan agama Islam adalah menjadikan desa-desa terpencil sebagai tempat operasinya. Ia lebih suka menyendiri dan bertempat tinggal di desa dan bergaul dengan rakyat biasa. Ia mendidik rakyat di sekitar Gunung Muria. Cara yang ditempuhnya dalam menyiarkan agama Islam adalah dengan mengadakan kursus bagi kaum pedagang, para nelayan, dan rakyat biasa.
Sunan Muria juga terkenal sebagai pendukung setia Kesultanan Demak Bintoro dan berperan dalam mendirikan Masjid Demak. Dalam rangka dakwah melalui budaya ia menciptakan tembang dakwah Sinom dan Kinanti.
Sunan Gunung Jati (Mekah, 1448–Gunung Jati, Cirebon, Jawa Barat, 1570). Salah seorang dari Wali Songo yang banyak berjasa dalam menyebarkan Islam di Pulau Jawa, terutama di daerah Jawa Barat; juga pendiri Kesultanan Cirebon. Nama aslinya Syarif Hidayatullah. Dialah pendiri dinasti raja-raja Cirebon dan kemudian juga Banten.
Sunan Gunung Jati adalah cucu raja Pajajaran, Prabu Siliwangi. Dari perkawinan Prabu Siliwangi dengan Nyai Subang Larang, lahirlah dua putra dan satu putri, masing-masing bernama Raden Walangsungsang, Nyai Lara Santang, dan Raja Sengara.
Setelah Nyai Subang Larang wafat, Raden Walang sungsang keluar dari kraton. Tidak lama setelah itu adik perempuannya menyusul. Keduanya belajar agama Islam kepada Syekh Datu Kahfi (Syekh Nurul Jati) di Gunung Ngamparan Jati. Setelah 3 tahun belajar, mereka diperintahkan gurunya untuk naik haji ke Mekah. Di Mekah, Nyai Lara Santang mendapat jodoh, yaitu Maulana Sultan Mahmud (Syarif Abdullah), seorang bangsawan Arab yang berasal dari Bani Hasyim.
Setelah menunaikan ibadah haji, Raden Walangsungsang kembali ke Jawa dan menjadi juru labuhan di Pasambangan, yang kemudian berkembang menjadi Cirebon. Sementara itu, Nyai Lara Santang melahirkan Syarif Hidayatullah. Setelah dewasa, Syarif Hidayatul-lah memilih berdakwah ke Jawa daripada menetap di tanah Arab.
Dia kemudian mene mui Raden Walangsungsang yang sudah bergelar Pangeran Cakrabuana. Setelah pamannya itu wafat, ia menggantikan kedudukannya dan kemudian berhasil meningkatkan status Cirebon menjadi sebuah kesultanan. Ia kemudian terkenal dengan gelar Sunan Gunung Jati.
Setelah Cirebon resmi berdiri sebagai sebuah kerajaan Islam yang bebas dari kekuasaan Pajajaran, Sunan Gunung Jati berusaha mempengaruhi kerajaan yang belum menganut agama Islam itu. Dari Cirebon, ia mengembangkan agama Islam ke daerah-daerah lain di Jawa Barat, seperti Majalengka, Kuningan, Kawali (Galuh), Sunda Kelapa, dan Banten.
Sunan Gunung Jati meletakkan dasar bagi pengembangan Islam dan perdagangan orang Islam di Banten pada 1525 atau 1526. Ketika ia kembali ke Cirebon, Banten diserahkan kepada anaknya, Sultan Maulana Hasanuddin yang kemudian menurunkan raja-raja Banten. Di tangan raja-raja Banten inilah kemudian Kerajaan Pajajaran dikalahkan.
Atas prakarsa Sunan Gunung Jati juga penyerangan ke Sunda Kelapa dilakukan pada 1527. Penyerangan ini dipimpin Faletehan atau Fatahillah (w. 1570), panglima perang Kerajaan Demak dan menantu Sunan Gunung Jati.
Menurut Purwaka Caruban Nagari, Sunan Gunung Jati, sebagai salah seorang Wali Songo, mendapat penghormatan dari raja-raja lain di Jawa, seperti kerajaan Demak dan Pajang. Karena kedudukannya sebagai raja dan ulama, ia diberi gelar Raja Pandita.
Setelah Sunan Gunung Jati wafat, Cirebon mengalami pasang surut. Kendati demikian, peranan historis keagamaan yang dijalankannya tak pernah hilang.
Daftar pustaka
Fruin-Mess, W. Sejarah Tanah Jawa, terj. S.M. Latif. Jakarta: Balai Pustaka, 1922.
de Graaf, H.J. & Th. G. Th. Pigeaud. Kerajaan-Kerajaan Islam Per-tama di Jawa. Kajian Sejarah Politik Abad ke -15 dan ke-16. Jakarta: Grafiti, 1986.
Noertjahjo, A.M. Cerita Rakyat Sekitar Wali Songo. Jakarta: Pradnya Paramita, 1974.
Ras, J.J. Babad Tanah Djawi. Amsterdam: Foris Publications, 1987.
Saksono, Widji. Mengislamkan Tanah Jawa: Telaah Atas Metode Dakwah Walisongo. Bandung: Mizan, 1996.
Salam, Solichin. Peranan Wali Songo Dalam Mengembangkan Islam. t.tp.: Majalah Pembina, 1962.
–––––––. Sekitar Wali Songo. Kudus: Menara Kudus, 1972.
Sunarno Sisworahardjo. Sunan Kalijaga. Surabaya: t.p., 1955.
Tanojo R. Riwayat Wali Songo. Surabaya: t.p., 1954.
Syahrin Harahap dan J. Suyuti Pulungan