Istilah wali berasal dari bahasa Arab, waliyy, yang berarti “pemegang suatu walayah, yaitu kuasa menangani suatu urusan, baik umum maupun khusus”. Dalam fikih, wali berarti “kewenangan melakukan akad tanpa harus menunggu persetujuan orang lain”.
Pengertian ini dapat dilihat pada firman Allah SWT dalam Al-Qur’an surah al-Ma’idah (5) ayat 56,
“Dan barangsiapa mengambil Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman menjadi penolongnya, maka sesungguhnya pengikut (agama) Allah itulah yang pasti menang.”
Menurut bahasa Arab, wali juga memiliki arti “yang menolong” dan “yang mencintai”. Perwalian (al-wilayah) berarti an-nusrah (pertolongan) atau mahabah (kecintaan).
Pengertian yang sama juga dapat dilihat pada surah at-Taubah (9) ayat 71, “Dan orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebagian yang lain.”
Perwalian dalam Fikih. Kekuasaan atau kewenangan untuk melakukan akad atau transaksi tanpa harus menunggu persetujuan orang lain. Perwalian dalam pengertian fikih terbagi tiga: perwalian jiwa, perwalian harta, perwalian jiwa dan harta sekaligus.
Perwalian badan. Meliputi kekuasaan seseorang atas orang lain atas dasar keturunan (orangtua atas anak), atas dasar laku kebajikan (misalnya terhadap yatim/piatu atau anak terlantar), atau atas dasar kedudukan sebagai petugas negara (misalnya hakim atas seseorang yang tidak punya wali). Uraian menyangkut perwalian badan adalah masalah wali nikah, sedangkan perwalian badan atas dasar kebajikan tidak terlalu menjadi persoalan dalam fikih.
Wali atau perwalian dalam nikah menurut jumhur ulama (Syafi‘i, Malik, dan Hanbali) merupakan salah satu syarat sahnya nikah, baik bagi gadis maupun bagi janda, baik masih kecil maupun sudah dewasa.
Adapun menurut Imam Hanafi, Zufar bin Hudail bin Qais (ahli fikih, imam mujtahid Mazhab Hanafi; 110 H/728 M–158 H/774 M), Amir bin Syurahil asy-Sya‘bi (rawi hadis dari golongan tabiin, ulama fikih; 17 H/638 M–104 H/723 M), az-Zuhri (rawi hadis dari golongan tabiin; w. 124 H/742 M), dan Abu Yusuf (ahli usul fikih, mujtahid; 113 H/731 M–182 H/798 M), perempuan yang sudah dewasa, sudah cakap dalam mengambil keputusan sendiri, baik gadis maupun janda, sah nikahnya meskipun tidak memakai wali.
Sementara itu, Daud az-Zahiri (200 H/815 M–270 H/884 M) menyatakan sah nikah tanpa wali bagi janda, tidak sah bagi gadis. Alasan pendapat kelompok pertama adalah hadis Nabi SAW, “Tidak sah nikah kecuali dengan wali dan dua orang saksi yang adil” (HR. Imam Hanbali).
Alasan kelompok kedua ialah bahwa ayat-ayat Al-Qur’an yang membicarakan wali, seperti surah al-Baqarah (2) ayat 232 dan 234, tidak membicarakan pelaksanaan pernikahan, dan karena itu tidak bisa dijadikan dalil untuk wajibnya nikah memakai wali; adapun hadis-hadis yang dijadikan dasar tentang hal ini hanya hadis ahad (hadis yang tidak memenuhi syarat mutawatir), bahkan hadis riwayat Imam Hanbali tersebut di atas itu munqathi‘ (sanadnya terputus).
Adapun pendapat kelompok ketiga berdasarkan pada hadis yang diriwayatkan oleh Daruqutni (Ali bin Umar bin Ahmad bin Maddi; w. 385 H/995 M) dan Imam Muslim, “Janda lebih berhak atas dirinya daripada walinya, gadis dimintai izin atas dirinya oleh bapaknya dan diamnya berarti izinnya.”
Dilihat dari segi besar-kecilnya wewenang, wali nikah dibagi atas dua macam. Pertama, wali ijbar, yaitu wali yang mempunyai kewenangan untuk memaksa tanpa harus meminta persetujuan terlebih dahulu orang yang diwalikan. Wali ijbar disebut juga “wali wajib” atau wali mujbir (wali yang berhak memaksa).
Termasuk di dalamnya ialah ayah dan kakek (ayah dari ayah) terus ke atas. Kedua, wali ikhtiyar (wali yang bisa dipilih di antara beberapa orang); disebut juga wali mukhtar (wali yang dipilih) atau “wali anjuran”. Perwalian pilihan ini diadakan jika wali mujbir sudah tidak ada lagi. Wali ini tidak mempunyai kewenangan penuh seperti wali ijbar; ia tidak bisa memaksa orang yang diwalikannya.
Imam Malik bin Anas melihat pembagian perwalian dari segi khusus-umumnya. Pertama, perwalian khusus, yaitu perwalian bapak, bapaknya bapak dan orang yang ada hubungan nasab, atau yang diberi wasiat oleh bapak atau pemilik budak. Kedua, perwalian umum, yaitu perwalian kaum muslimin umumnya atas wanita yang tidak punya wali, tidak tertentu keturunannya, sehingga setiap muslimin berhak menjadi walinya.
Perwalian harta. Perwalian dalam mengurus harta seseorang yang dipandang belum mampu mengurus sendiri hartanya, misalnya harta milik anak kecil atau orang yang sakit ingatan, atau perwalian orang yang diberi kepercayaan oleh pemilik harta untuk mengurusnya.
Kewajiban wali harta ini adalah memelihara harta itu, mengeluarkan zakatnya jika sudah mencapai nisab dan haul (satu tahun). Ia berhak mengambil sebagian dari keuntungan harta itu (kalau harta itu dapat menghasilkan keuntungan) sekadar yang wajar sebagai perongkosan perawatan.
Wali dalam Kalangan Sufi. Orang kudus, orang yang ada di bawah perlindungan khusus. Dalam literatur orientalis biasa disebut saint.
Teori perwalian di kalangan sufi muncul pada akhir abad ke-9, ketika sufi-sufi ahli tasawuf yakni al-Kharraj, Sahl at-Tustari dan Hakim at-Tirmizi menulis tentang itu. Abu Qasim Abdul Karim al-Qusyairi mengartikan wali denganpengertian pasif, yaitu seseorang yang diurutkan urusannya (tuwulliya), dan dalam pengertian aktif, yaitu orang yang melakukan ke patuhan kepada Tuhan; wali-wali (auliya’) diartikan sebagai teman-teman Tuhan seperti disebut dalam Al-Qur’an surah Yunus (10) ayat 62.
Seorang tokoh sufi pada awal abad ke-10, Abu Abdullah as-Salimi, mengemukakan definisi wali sebagai “mereka yang dapat dikenali karena bicara mereka yang baik-baik, tingkah laku yang sopan dan merendahkan diri, murah hati, tak su ka berselisih dan menerima permintaan maaf dari siapa saja yang meminta maaf kepadanya, halus budi terhadap segala ciptaan, baik yang bagus maupun jelek”.
Menurut Ibnu Arabi, seseorang bisa disebut wali apabila ia sudah mencapai tingkatan *makrifat (dalam literatur Barat disebut gnosis), tingkatan tertinggi dalam kalangan tasawuf akhlaqi. Kaum sufi yakin bahwa makrifat (gnosis) bukan hasil pemikiran manusia, tetapi tergantung kepada kehendak dan rahmat Tuhan; makrifat merupakan pemberian Tuhan kepada seorang sufi yang dipandang sanggup menerimanya.
Menurut al-Qusyairi, ada tiga alat untuk mencapai makrifat, yakni qalb atau kalbu (sering diterjemahkan dengan hati) untuk mengetahui sifat Tuhan, roh (rohani) untuk mencintai Tuhan, dan sirr (sering diartikan dengan rahasia) yaitu alat paling halus yang ada pada manusia untuk “melihat” Tuhan. Imam al-Ghazali mendefinisikan makrifat dengan “penglihatan terhadap rahasia-rahasia ketuhanan, pengetahuan terhadap susunan tata aturan ketuhanan yang mencakup seluruh yang wujud”.
Pengertian wali dalam dunia sufi sering menekankan dimensi mistiknya. Maqam (tingkatan) awal seperti tobat, warak, fakir, sabar, tawakal, dan rida perlu diperhatikan dalam memahami pengertian wali dalam dunia sufi.
Dalam dunia sufi dikenal pula hierarki kekuasaan kerohanian. Tingkatan-tingkatan hierarki itu ditempati para wali sesuai dengan tingkat kesempurnaan kewalian yang dicapainya. Tingkatan kekuasaan rohani tertinggi disebut qutub (poros, kutub) atau gauts (pertolongan); qutub atau gauts itu dikelilingi tiga nuqab’ (pengganti), empat autad (tiang-tiang), tujuh abrar (saleh), empat puluh abdal (para pengganti), tiga ratus akhyar (para terpilih) dan empat ribu wali tersembunyi.
Penguasa rohani itu berfungsi sebagai pemandu rohani kehidupan manusia. Kaum Syiah sering menghubungkan qutub/gauts ini dengan kedudukan imam-imam yang ter sembunyi. Dalam kalangan Suni, ada yang menghubung kannya dengan Imam Mahdi. Ada pula yang mempunyai paham bahwa yang menduduki hierarki qutub/gauts adalah Malaikat Jibril dan Israfil.
Konsep wali dalam dunia sufi ini merupakan masalah yang kontroversial. Muhammad Abduh, misalnya, dalam Tafsir al-Manar-nya ketika menafsirkan surah Yunus (10) ayat 62, mengartikan wali (aulia) sebagai lawan dari musuh-musuh Allah SWT, seperti orang kafir dan orang musyrik.
Wali atau aulia Allah SWT, menurut Abduh, adalah orang mukmin dan muttaqin (orang yang bertakwa) sebagaimana ditunjukkan pada ayat sesudahnya (surah Yunus [10] ayat 63). Konsep wali dalam pandangan sufi menurut Abduh adalah khayalan semata, oleh sebab itu bid’ah dan sesat.
Ibnu Kasir juga dalam tafsirnya tidak menyinggung konsep wali dengan pendekatan sufi. Menurutnya, wali Allah SWT ialah orang beriman dan bertakwa; barangsiapa yang takwa, itulah wali Allah SWT. Ia tidak takut terhadap apa-apa yang akan terjadi pada masa depan, termasuk hari akhirat, dan tidak menyesal atas apa yang telah diperbuatnya di masa silam.
Ibnu Mas‘ud meriwayatkan, seorang sahabat bertanya kepada Rasulullah SAW tentang siapa sebenarnya yang dimaksud dengan wali Allah SWT. Rasulullah SAW menjawab, “Wali/aulia Allah ialah orang-orang yang diingatkan Allah melalui mimpi mereka” (HR. Ahmad bin Hanbal).
Hadis yang teksnya hampir serupa banyak diriwayatkan orang, misalnya dari Abi Duha (Muslim bin Hamadani Subaih w. 100 H), dari Sa’id bin Jubair (624–692), “Wali/aulia Allah ialah orang-orang yang apabila mimpi diingatkan Allah.” Hadis-hadis yang diriwayatkan melalui beberapa sanad ini merupakan jawaban Rasulullah SAW atas pertanyaan sahabat berkaitan dengan surah Yunus (10) ayat 62 itu.
Untuk mengambil jalan tengah mengenai kontroversi pembicaraan tentang wali, ada ulama yang membagi dua wali/aulia atas wilayah al-‘ammah (kewalian umum), yaitu derajat kewalian yang dimiliki orang mukmin dan muttaqin pada umumnya, dan wilayah al-khassah (kewalian khusus), yaitu orang-orang tertentu yang mencapai atau dianugerahi derajat kewalian sebagaimana dapat dipahami dari hadis Ibnu Mas‘ud tersebut di atas. Wali/aulia dalam pengertian di kalangan sufi, terlepas dari kontroversi pembicaraan tentang itu, termasuk dalam kategori wilayah al-khassah.
Daftar pustaka
Abduh, Muhammad. Tafsir Al-Qur’an al-Manar. Beirut: Dar al-Ma‘arif, t.t.
Afifi, A.E.Filsafat Mistik Ibnu Arabi, terj. Jakarta: Media Pratama, 1989.
al-Ghazali, Abu Hamid Muhammad bin Muhammad. Ihya’ ‘Ulum ad-Din. Cairo: Mustafa al-Babi al-Halabi, 1929.
Ibnu Kasir, al-Hafidz Imaduddin Abu al-Fida’ Isma’il. Tafsir Ibn Katsir. Beirut: Dar Al-Qur’an al-Karim, t.t.
Ibnu Rusyd. Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtasid. Semarang: Maktabah Usaha Keluarga Semarang, t.t.
Mahmud, Abdul Qadir. al-Falsafah as-sufiyyah fi al-Islam. Cairo: Dar al-Fikr al-‘Arabi, 1970.
al-Qusyairi, Abu al-Qasim Abdul Karim. ar-Risalah al-Qusyairiyyah. Cairo: Muhammad ‘Ali Subaih, 1966.
Schimmel, Annemarie. Dimensi Mistik dalam Islam, terj. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1986.
Syarif, M.M., ed. A History of Muslim Philosophy. Wiesbaden: Otto Harrosowitzs, 1963.
az‑Zuhaili, Wahbah. al‑Fiqh al‑Islami wa Adillatuh. Damascus: Dar al‑Fikr, t.t.
Atjeng Achmad Kusaeri