Wakil

Menurut bahasa, wakil berarti al-Hafiz (yang memelihara) dan at-tafwid (penyerahan kuasa). Dalam fikih, wakil berarti “penerima kuasa untuk melakukan transaksi atas nama pemberi kuasa mengenai hal yang boleh diwakilkan ketika pemberi kuasa masih hidup”. Transaksi setelah pemberi kuasa wafat disebut wasiat.

Wakil dalam arti al-hafiz dapat dilihat pada kandungan surah Ali ‘Imran (3) ayat 173, al-Ahzab (33) ayat 3, dan al- Muzzammil (73) ayat 9. Adapun wakil dalam arti at-tafwid dapat dilihat pada surah Yusuf (12) ayat 67 dan Ibrahim (14) ayat 12. Dalam fikih Islam, pembicaraan tentang wakil merupakan bagian dari al-wakalah (pemberian kuasa).

Banyak ayat yang berbicara tentang penyerahan kuasa kepada orang lain, misalnya surah al-Kahfi (18) ayat 19, an-Nisa’ (4) ayat 35, dan Yusuf (12) ayat 93. Bukhari dan Muslim meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW pernah mengutus seseorang untuk mengambil zakat.

Abu Dawud meriwayatkan bahwa Rasu-lullah SAW memberi kuasa (mewakilkan) kepada Amru bin Umayah ad-Damiry untuk mewakili Rasulullah SAW dalam menerima ijab pernikahan Ummu Habibah binti Abu Sufyan.

Imam Malik dalam al- Muwatta’, Imam Syafi‘i, Imam Hanbali, at-Tirmizi, dan Ibnu Hibban dari Sulaiman meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW mengutus Aba Rafi dan seorang sahabat dari golongan Ansar untuk menikahi Maimunah binti Haris atas nama Rasulullah SAW. Ketika itu Rasulullah SAW berada di Madinah sebelum pergi haji.

Dalam kehidupan modern, soal wakil-mewakilkan merupakan kebutuhan, sehingga dikenal adanya dewan perwakilan rakyat, perwakilan dagang, atas nama, kuasa hukum, dan sebagainya. Rukun al-wakalah (pemberian kuasa) ada empat, yaitu: al-muwakkil (yang mewakilkan), al-wakil (yang diberi kuasa), al-muwakkal fih (hal yang dikuasakan), dan as-sigah (akta pemberian kuasa).

Pertama: al-Muwakkil atau pemberi kuasa atau yang me­wakilkan harus orang yang berakal, tidak gila, bukan anak-anak yang belum dewasa (jika anak-anak harus seizin walinya), pemilik sah dari apa yang akan ditransaksikan, dan boleh nonmuslim (menurut Imam Hanafi).

Kedua: al-Wakil (yang diberi kuasa) harus orang berakal yang mampu melakukan transaksi-transaksi yang dikua­sakannya, tidak akan merugikan yang memberi kuasa, dan balig. Imam Syafi‘i dan golongan Mazhab Maliki dan Hanbali mengatakan bahwa tidak sah memberi kuasa mengenai muamalah yang penting kepada anak-anak.

Ketiga: al-Muwakkal fih disyaratkan harus milik atau wewe­nang sah dari al-muwakkil, masalahnya harus jelas sehingga tidak mungkin terjadi penipuan, dan masalah itu harus merupakan sesuatu yang dapat diwakilkan kepada orang lain. Misalnya, transaksi jual beli dan menerima atau menge­ luarkan zakat dan sedekah.

Ibadah-ibadah yang bersifat badaniah, seperti salat, puasa, dan menghilangkan­ hadas, tidak boleh diwakilkan kepada orang lain, kecuali ibadah haji atau umrah bagi orang yang diduga tidak akan mampu melaksanakannya karena lemah atau meninggal.

Dalam fikih klasik, yang menjadi perbincangan sering ditekankan pada masalah tuntutan dan pelaksanaan hukuman. Tuntutan dan pelaksanaan hukuman itu ada yang bersifat huquq Allah (yang menjadi hak Allah), seperti had dan sebagian takzir, dan ada yang menjadi huquq al-‘ibad (yang menjadi hak hamba), seperti kisas dan hukum perdata lainnya.

Adapun yang berhubungan dengan huquq Allah ada dua macam.

(1) Yang tidak memerlukan dakwaan, misalnya menetapkan seseorang berzina atau minum khamar. Yang demikian ini semata-mata merupakan wewenang hakim/ penguasa, tidak dapat diwakilkan kepada orang lain.

(2) huquq Allah yang memerlukan dakwaan, misalnya dakwaan terhadap pencuri dan qadzf (menuduh zina). Dalam hal ini boleh diwakilkan kepada penuntut, misalnya kuasa hukum, dengan mengemukakan bayyinah (bukti atau saksi). Adapun untuk pelaksanaan hukuman itu sen­diri (eksekusi), seorang hakim bisa mewakilkan kepada orang lain.

Yang berhubungan dengan huquq al-‘ibad atau haq adami (hak perorangan) juga terbagi menjadi dua.

(1) Sesuatu­ yang dalam pelaksanaannya tidak boleh ada syubhat (keraguan), menetapkannya boleh memakai wakil (kuasa hukum) tetapi dalam pelaksanaan hukumannya harus hadir yang memberi kuasa. Misalnya, penetapan kisas boleh diwakilkan, tetapi pelaksanaannya harus dihadiri yang memberi kuasa karena masih ada kemungkinan­ si penuntut akan memberi maaf kepada si terdakwa.

(2) Sesuatu yang dalam pelaksanaannya bisa saja terjadi syubhat. Misalnya, pembayaran utang dan lain sebagainya selain kisas. Hal ini bisa diwakilkan kepada seorang kuasa hukum, baik ketika menuntut, menetapkan, maupun melaksanaan penerimaan atau pembayar utang tersebut.

Keempat: as-Sigah (akta atau ikrar) dalam memberi kuasa. Ulama klasik tidak menyebut-nyebut tentang perlunya ada akta tertulis dalam al-wakalah. Jika melihat makna surah al-Baqarah (2) ayat 282 dan dihubungkan dengan situasi kekinian, kata kerja “fa uktubuh” dapat diartikan wajib mencatat setiap akta transaksi utang-piutang atau yang dapat disamakan dengannya, seperti perjanjian dalam kuasa-menguasakan.

Tentang pemberian kuasa bersyarat, baik mengenai waktu, tempat, dan syarat-syarat lain, ulama fikih klasik belum membahasnya secara tegas dan dalam. Misalnya, Mazhab Hanafi dan Hanbali membolehkan pemberian kuasa bersyarat dengan contoh: “Jika Zaid datang, maka engkau wakilku dalam menjual barang ini.” Adapun Imam Syafi‘i tidak membolehkan pemberian kuasa bersyarat seperti itu.

DAFTAR PUSTAKA

Ibnu Rusyd. Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtasid. Semarang: Maktabah Usaha Keluarga Semarang, t.t.
al-Jaziri, Abdurrahman. al-Fiqh ‘ Ala al-Madzahib al-Arba‘ah, Qism al-‘Ibadah. Beirut: Dar al-Fikr, t.t.
as-Sabuni, Abdur Rahman. al-Madkhal li Dirasah at-Tasyri‘ al-Islami. Damascus: Matba‘ah Riyadh, 1980.
az‑Zarqa’, Mustafa Ahmad. al‑Madkhal ila al‑Fiqh al‑Am: al‑Fiqh al‑Islami fi Tsaubihi al‑Jadid. Beirut: Dar al‑Fikr, 1968.
az-Zuhaili, Wahbah. al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh. Damascus: Dar al-Fikr, 1985.

ATJENG ACHMAD KUSAERI