Secara kebahasaan wakalah berarti “menolong”, “memelihara”; atau “mendelegasikan”. Dalam istilah fikih, wakalah berarti “tolong-menolong antarpribadi dalam suatu persoalan ketika seseorang tidak mampu secara hukum atau berhalangan untuk melakukannya.
Objek yang diwakilkan itu dapat menyangkut masalah harta benda dan juga masalah pribadi lainnya, seperti nikah. Secara bahasa, wakalah dapat diartikan sebagai perwakilan yang bertindak atas nama orang yang diwakilinya.
Ada beberapa definisi yang dikemukakan ulama tentang wakalah. Ulama Mazhab Hanafi mendefinisikannya sebagai “pendelegasian suatu tindakan hukum kepada orang lain yang bertindak sebagai wakil”. Ulama Mazhab Syafi‘i mendefinisikannya sebagai “pendelegasian hak kepada sese orang dalam hal-hal yang dapat diwakilkan kepada orang lain selama ia hidup”. Ungkapan “selama ia hidup” menunjukkan adanya perbedaan antara wakÎlah dan wasiat.
Akad wakalah dibolehkan dalam Islam berdasarkan firman Allah SWT dalam surah al-Kahfi (18) ayat 19, “…maka suruhlah salah seorang di antara kamu pergi ke kota membawa uang perakmu ini, dan hendaklah dia lihat manakah makanan yang lebih baik, maka hendaklah dia membawa makanan itu untukmu….”
Ayat ini menunjukkan perwakilan dalam membeli sesuatu. Kemudian firman Allah SWT dalam surah an-Nisa’ (4) ayat 35,
“Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam (juru damai) dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan….”
Ayat ini menunjukkan pendelegasian tugas dalam menyelesaikan perselisihan antara suami-istri kepada dua orang juru damai dari masing-masing pihak.
Dalam hadis diriwayatkan bahwa Rasulullah SAW mengutus seorang pemungut zakat untuk memungut zakat (HR. Bukhari dan Muslim) dan menunjuk Amr bin Umayah ad-Damiri sebagai wakilnya dalam menerima nikah Ummu Habibah binti Abu Sufyan (HR. Abu Dawud).
Dalam hadis lain, Rasulullah SAW menunjuk Hakim bin Hizam bin Khuwailid sebagai wakilnya untuk membeli hewan kurban (HR. Abu Dawud dan at-Tirmizi) dan menunjuk Urwah al-Bariqi sebagai wakilnya untuk membeli kambing (HR. Bukhari, Ahmad bin Hanbal, Abu Dawud, dan at-Tirmizi).
Menurut ulama Mazhab Hanafi, rukun wakalah itu hanya ijab (pernyataan pendelegasian tugas) dan kabul (pernyataan menerima tugas dari orang yang mewakili). Akad wakalah tidak sah jika ijab kabul tidak ada.
Adapun syarat wakalah itu terkait dengan kedua orang yang berakad. Orang yang diwakili, baik dalam keadaan gaib (tidak berada di tempat) atau berada di tempat maupun sakit atau sehat, dan orang yang mewakili disyaratkan telah cakap bertindak hukum. Orang gila atau anak kecil tidak dapat mendelegasikan sesuatu kepada orang lain, karena ia sendiri belum cakap bertindak hukum.
Di samping cakap bertindak hukum, orang yang mewakili juga disyaratkan memiliki pengetahuan yang memadai tentang persoalan yang diwakilkan kepadanya. Ia bertindak sebagai wakil secara serius. Wakil itu ditunjuk secara langsung oleh orang yang diwakili.
Berkenaan dengan tugas yang diwakilkan, ulama mengemukakan syarat-syarat sebagai berikut.
1) Yang di wakilkan itu bukan sesuatu yang mubah (boleh) dilakukan oleh setiap orang, seperti mewakilkan seseorang untuk menggali barang tambang yang bukan miliknya. Karena, barang tambang seperti itu merupakan milik semua orang.
Jika orang yang ditunjuk sebagai wakil mendapatkan barang tambang itu, menurut Mazhab Hanafi, hasil galian itu menjadi milik yang menggali, bukan milik orang yang memberi tugas. Namun menurut jumhur (mayoritas) ulama, boleh saja dilakukan perwakilan dalam hal ini.
2) Yang diwakilkan itu merupakan milik orang yang diwakili.
3) Yang diwakilkan itu jelas.
4) Yang diwakilkan itu bukan berbentuk utang kepada orang lain, seperti pernyataan “saya tunjuk engkau sebagai wakil saya untuk meminjam uang kepada si Fulan”. Jika ini terjadi, utang itu menjadi utang orang yang mewakili. 5) Yang diwakilkan itu adalah sesuatu yang dibolehkan menurut syarak (hukum Islam).
Ada dua bentuk wakalah jika dilihat dari segi objeknya, yaitu yang menyangkut hak Allah SWT meliputi seluruh bentuk jarimah hudud (tindak pidana yang jenis dan jumlah hukumannya telah ditentukan Allah SWT)–dan hak pribadi. Yang menyangkut hak Allah SWT dapat dibedakan antarayang memerlukan dakwaan/gugatan kepada hakim, seperti tindak pidana pencurian, dan yang tidak memerlukan dakwaan/gugatan kepada hakim, seperti tindak pidana zina dan meminum minuman keras.
Penunjukan wakil untuk menetapkan hudud yang sifatnya tidak memerlukan pengajuan gugatan kepada hakim, menurut ulama Mazhab Hanafi, tidak dibolehkan. Dalam hal-hal seperti ini, akad wakalah tidak berlaku, karena jarimah hudud dibuktikan berdasarkan alat bukti, kesaksian, dan pengakuan di hadapan hakim, tanpa didahului dengan gugatan.
Apabila tindak pidana tersebut memerlukan pengajuan gugatan kepada hakim, seperti tindak pidana pencurian dan menuduh orang lain berbuat zina (qadzf), menurut Imam Hanafi dan Muhammad bin Hasan asy-Syaibani (sahabat Imam Hanafi, 132 H/750 M–189 H/805 M), maka boleh diwakilkan. Sementara Imam Abu Yusuf (sahabat Imam Hanafi, 113 H/732 M–182 H/798 M), mengatakan bahwa dalam tindak pidana seperti ini pun tidak berlaku wakalah.
Ulama Mazhab Syafi‘i berpendapat bahwa jika tindak pidana tersebut menyangkut hak Allah SWT, pembuktiannya tidak boleh diwakilkan; jika menyangkut tindak pidana pembunuhan dan tuduhan berbuat zina, pembuktiannya boleh diwakilkan karena kedua tindak pidana tersebut termasuk hak pribadi.
Ulama Mazhab Hanbali mengatakan bahwa boleh mewakilkan pembuktian dan pelaksanaan hukuman yang berkaitan dengan hak Allah SWT (seperti zina) dan hak pribadi (seperti tindak pidana pencurian). Hal ini didasarkan pada hadis Nabi SAW.
Diriwayatkan bahwa Rasulullah SAW telah mewakilkan pembuktian dan pelaksaan hukuman zina kepada para sahabatnya ketika Ma‘iz mengaku telah me lakukan zina. Ketika itu Rasulullah SAW berkata, “Bawa dia, lalu rajam” (HR. Bukhari, Muslim, Abu Dawud, dan at-Tirmizi dari Abu Hurairah).
Ulama sepakat membolehkan wakalah dalam melaksanakan hukuman terhadap suatu tindak pidana yang telah dibuktikan dan diputuskan peradilan. Tidak harus hakim yang akan melaksanakan hukuman itu.
Terhadap tindak pidana yang termasuk ke dalam jarimah ta‘zir (tindak pidana yang diancam dengan satu atau beberapa macam hukuman), para ahli fikih sepakat membolehkan wakalah dalam membuktikan dan melaksanakan hukumannya, baik orang yang diwakili itu berada di tempat atau dalam keadaan gaib. Karena, jarimah ta‘zir termasuk hak pribadi.
Adapun wakalah dalam melaksanakan kisas dibolehkan jika yang menjadi pelaksana adalah ahli waris terbunuh dan dia berada di tempat, karena dia mungkin tidak mampu melak sanakannya. Akan tetapi jika ahli warisnya itu sedang gaib, pelaksanaan kisas tidak boleh diwakilkan, karena masih ada kemungkinan ahli waris tersebut memaafkan pembunuh.
Ulama Mazhab Maliki, Syafi‘i, dan Hanbali berpendapat bahwa mewakilkan pelaksanaan hukuman tersebut boleh saja, tanpa membedakan apakah orang yang diwakili itu berada di tempat atau sedang gaib. Alasan mereka adalah hadis tentang seorang perempuan yang berbuat zina pada zaman Rasulullah SAW. Ketika itu Rasulullah SAW mewakilkan pelaksanaan hukumannya kepada Unais (HR. Bukhari, Muslim, an-Nasa’i, Abu Dawud, at-Tirmizi, dan Ahmad bin Hanbal dari Abu Hurairah).
Wakalah dalam hak pribadi dibolehkan. Hak tersebut dapat berbentuk melunasi utang, bersedekah, melakukan perdamaian dalam masalah pembunuhan, wadi‘ah (titipan), pinjam-meminjam, gadai, dan serikat dagang. Kaidah yang ditetapkan para ahli fikih dalam masalah ini adalah “setiap akad yang boleh dilaksanakan semua manusia boleh diwakilkan kepada orang lain”.
Adapun wakalah melalui pengacara dalam masalah persengketaan yang dikenal sekarang, menurut para ahli fikih, hukumnya boleh. Karena, Ali bin Abi Thalib pernah meminta Uqail untuk mewakilinya dalam suatu perkara. Begitu pula yang dilakukan Abu Bakar as-Siddiq, Umar bin Khattab, dan Usman bin Affan.
Di samping itu, dalam persoalan persengketaan sering kali seseorang tidak mampu membela diri dari tuduhan yang ditujukan kepadanya. Oleh sebab itu, wajar jika seseorang mencari seorang ahli untuk mewakilinya dalam persoalan persengketaan tersebut.
Wakalah dalam masalah jual beli juga dibolehkan. Dalam hal ini tidak ada perbedaan pendapat di antara ulama fikih. Ulama Mazhab Hanafi membagi wakalah dalam masalah jual beli atas dua bentuk, yaitu umum dan khusus. Wakalah secara umum dapat terjadi apabila orang yang diwakili itu tidak menentukan jenis dan jumlah barang yang akan dibeli atau dijual.
Menurut ulama Mazhab Hanafi dan Maliki, wakalah dalam bentuk umum dibolehkan. Namun ulama Mazhab Syafi‘i dan Hanbali tidak membolehkannya, karena akad seperti ini mengandung banyak kemungkinan terjadinya penipuan. Adapun wakalah secara khusus terjadi apabila orang yang diwakili menunjuk secara jelas jenis dan jumlah barang yang akan dibeli atau dijual, seperti membeli sebuah mobil yang jenis, tipe, tahun, warna, dan ciri-ciri khususnya disebutkan secara terperinci.
Apabila suatu akad wakalah telah memenuhi syarat dan rukun, akibat hukumnya adalah sebagai berikut.
1) Wakil bebas bertindak hukum sebagai wakil yang ditunjuk sesuai dengan kualitas dan kuantitas per wakilan. Jika ia seorang pengacara, ia bebas melakukan pembelaan terhadap hak orang yang diwakilinya. Pengacara itu berhak me nerima harta yang dipersengketakan jika hakim memutuskan kliennya yang menang dan menyerahkan harta itu kepadanya. Pengacara tersebut berhak pula melakukan per-damaian dengan lawan sengketa kliennya.
2) Jika wakalah itu berhubungan dengan masalah jual beli, wakil bebas bertindak sesuai dengan batas yang ditentukan orang yang diwakilinya. Dia tidak dibenarkan membeli atau menjual barang melebihi apa yang ditentukan orang yang diwakilinya kecuali jika akad perwakilan tersebut memang memberi kebebasan kepada wakil. Jika akad wakalah itu tidak menentukan kuantitas dan kualitas barang yang akan dibeli, pihak yang mewakili harus melakukan pembelian atas dasar kemaslahatan orang yang diwakilinya.
3) Jika yang diwakilkan itu adalah akad nikah, wakil harus secara nyata mengungkapkan bahwa ia menerima nikah itu atas nama orang yang diwakilinya. Demikian juga dalam masalah talak.
Masa akad wakalah akan berakhir dalam hal-hal berikut.
1) Menurut kesepakatan ulama, orang yang diwakili menca but akad wakalah. Ulama Mazhab Hanafi mengemukakan beberapa syarat dalam pencabutan wakil tersebut, yaitu:
(a) wakil mengetahui bahwa tugasnya dicabut, baik secara lisan maupun tulisan, dan
(b) dalam perwakilan itu tidak tersangkut hak orang lain, seperti perwakilan dalam menjual harta yang digadaikan untuk membayar utang orang yang diwakili. Dalam kasus seperti ini, orang yang diwakili tidak boleh mencabut wakilnya dalam menjual barang gadaian itu, kecuali seizin orang-orang yang punya piutang.
2) Orang yang diwakili melakukan suatu tindakan hukum terhadap objek yang telah diwakilkannya kepada orang lain (wakil nya).
3) Tujuan yang ingin dicapai dari wakalah itu telah tercapai.
4) Orang yang diwakili atau yang mewakili berubah status menjadi orang yang tidak cakap bertindak hukum, seperti meninggal dunia, gila atau dikenakan status di bawah pengampuan.
5) Orang yang diwakili murtad dan melarikan diri ke negeri yang sedang berperang dengan umat Islam. Menurut Imam Hanafi, dalam kasus seperti ini wakÎlah menjadi gugur, karena tindakan orang murtad tidak dapat dilaksanakan kecuali ia masuk Islam kembali. Apabila wakil yang murtad, menurut ulama Mazhab Hanafi, Syafi‘i, dan Hanbali, wakalah tidak gugur; sedangkan menurut ulama Mazhab Maliki, wakalah itu batal.
6) Wakil mengundurkan diri dengan syarat diketahui oleh orang yang diwakili.
7) Barang yang menjadi objek wakalah hilang.
8) Barang yang diwakilkan tidak lagi menjadi milik orang yang diwakili. Misalnya, seseorang mewakilkan penjualan rumahnya, tetapi ternyata setelah akad itu sempurna, rumah itu disita negara.
9) Orang yang diwakili jatuh pailit.
10) Menurut ulama Mazhab Hanafi dan Syafi‘i, masing-masing pihak melakukan penipuan.
11) Menurut ulama Mazhab Syafi‘i, terjadi tindakan sewenang-wenang dari masing-masing pihak terhadap objek yang diwakilkan.
12) Berakhirnya masa wakalah yang disepa kati kedua belah pihak.
Daftar Pustaka
Abu Zahrah, Muhammad. Usul al-Fiqh. Cairo: Dar al-Fikr al-‘Arabi, 1958.
Bek, Muhammad Khudari. Tarikh at-Tasyri‘ al-Islami. Cairo: al-Babi al-Halabi, t.t.
Ibnu Rusyd. Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtasid. Semarang: Maktabah Usaha Keluarga Semarang, t.t.
al-Jaziri, Abdurrahman. al-Fiqh ‘ Ala al-Madzahib al-Arba‘ah, Qism al-‘Ibadah. Beirut: Dar al-Fikr, t.t.
al-Kasani. Bada’i‘ as-sana’i‘. Cairo: Mustafa al-Babi al-Halabi, t.t.
Khalaf, Abdul Wahhab. ‘Ilm Usul al-Fiqh. Kuwait: Dar al-Qalam, 1978.
as-Sabuni, Abdur Rahman. al-Madkhal li Dirasah at-Tasyri‘ al-Islami. Damascus: Matba‘ah Riyadh, 1980.
az‑Zarqa’, Mustafa Ahmad. al‑Madkhal ila al‑Fiqh al‑Am: al‑Fiqh al‑Islami fi Tsaubihi al‑Jadid. Beirut: Dar al‑Fikr, 1968.
az‑Zuhaili, Wahbah. al‑Fiqh al‑Islami wa Adillatuh. Damascus: Dar al‑Fikr, 1985.
Nasrun Haroen