Secara bahasa wajib berarti mesti, harus, dan perlu atau fardu. Secara istilah wajib berarti perbuatan yang dituntut kitab syar‘i (lingkup syariat) untuk dikerjakan. Ahli fikih memberi batasan bahwa wajib adalah suatu perbuatan yang apabila dikerjakan mendapat pahala dan apabila ditinggalkan mendapat dosa serta siksa.
Dalam Islam, hukum syar‘i dibedakan menjadi dua macam. (1) Hukum taklifi, yaitu kitab syar‘i yang mengan dung tuntutan untuk para mukalaf agar dikerjakan, di tinggalkan atau dipilih antara dikerjakan dan ditinggalkan. Hukum taklifi ini memiliki lima kategori operatif, yaitu: wajib, sunah (nadb), haram, makruh, dan mubah.
(2) Hukum wadh’i, yaitu kitab syar‘i yang mengandung pengertian bahwa terjadinya sesuatu itu adalah sebagai sebab, syarat atau penghalang sesuatu. Misalnya, wajib berwudu untuk melakukan salat.
Jumhur (mayoritas) fukaha berpendapat bahwa istilah wajib dan fardu adalah satu arti. Wajib atau fardu adalah salah satu dari al-ahkam al-khamsah (hukum yang lima). Menurut jumhur ulama fikih, hukum yang lima ini adalah:
(1) wajib, yakni titah yang mengandung perintah yang harus dikerjakan, apabila tidak dikerjakan akan berdosa;
(2) mandub atau sunah, yakni perintah yang mengandung suruhan tetapi tidak harus dikerjakan;
(3) haram, yakni titah yang mengandung larangan yang harus ditinggalkan;
(4) makruh, yakni perkara yang tidak disukai; dan
(5) mubah, yakni perkara-perkara yang boleh dikerjakan dan boleh ditinggalkan.
Tetapi ulama Mazhab Hanafi membedakan kedua istilah ini. Mereka berpendapat, apabila tuntutan untuk mengerjakan sesuatu perbuatan itu didasarkan pada dalil-dalil qath‘i (ketetapannya secara eksplisit jelas dan tegas), baik dalil Al-Qur’an maupun hadis mutawatir, disebut fardu. Apabila ditunjuk oleh dalil-dalil zanni (ketetapannya tidak jelas dan tegas), yakni hadis-hadis ahad (hadis yang tidak memenuhi syarat mutawatir) disebut wajib.
Misalnya, membaca ayat Al-Qur’an dalam salat adalah fardu karena ditunjuk oleh dalil qath‘i (QS.73:20), sedangkan mengkhususkan untuk membaca surah al-Fatihah dalam salat adalah wajib karena hanya ditunjuk oleh dalil zanni, yaitu hadis ahad. Nabi Muhammad SAW bersabda, “Tidaklah bernama melakukan salat bagi orang yang tidak membaca al-Fatihah” (HR. Bukhari).
Oleh sebab itu, bagi ulama Mazhab Hanafi, untuk memenuhi fardu salat cukup membaca ayat Al-Qur’an yang mana saja yang diinginkan dan tidak harus al-Fatihah.
Hal ini karena bagi mereka membaca al-Fatihah hukumnya hanya wajib, bukan fardu. Meninggalkan fardu dalam salat akan membatalkan salat, sedangkan meninggalkan yang wajib tidak membatalkan salat, tetapi perlu sujud sahwi.
Suatu penetapan yang menuntut suatu perbuatan yang wajib dikerjakan dapat diketahui melalui beberapa petunjuk, antara lain:
(1) apabila dalam penetapan itu dicantumkan kata-kata yang tegas menunjukkan keharusan untuk dikerjakan, misalnya kata “kutiba” dalam surah al-Baqarah (2) ayat 183 yang mewajibkan berpuasa;
(2) apabila penetapan itu menggunakan fi‘il amar (kata kerja perintah), misalnya kata “atuhunna” dalam surah an-Nisa’ (4) ayat 24 dan kata “aqimu” dalam surah an-Nisa’ (4) ayat 103;
(3) apabila dalam penetapan tersebut diterangkan siksa bagi orang yang tidak melaksana kan perintah Allah SWT. Hal ini misalnya kewajiban membagi kan harta pusaka yang tercantum dalam surah an-Nisa’ (4) ayat 11, 12, dan 14 yang isinya mengancam orang yang tidak mau melaksanakan pembagian harta pusaka menurut ketentuan Allah SWT dan hukumannya akan dimasukkan dalam neraka.
Wajib menurut ketentuan hukum fikih dapat dibedakan dalam beberapa macam, tergantung pada sisi mana kita meninjaunya, seperti yang dijelaskan sebagai berikut.
Ditinjau dari ada dan tidaknya pilihan terhadap tuntutan yang diminta, wajib dibagi menjadi dua.
(1) Wajib atau fardu mu‘ayyan, yakni kewajiban yang telah ditentukan secara pasti wujud perbuatannya tanpa ada pilihan lain. Misalnya, kewajiban menjalankan salat, puasa, zakat, dan haji. Artinya, mukalaf tidak dapat bebas dari kewajiban, tetapi ia harus tetap menjalankan perbuatan/perintah sebagaimana yang telah ditentukan. Jadi ia tidak boleh menggantinya dengan perbuatan lain.
(2) Wajib atau fardu mukhayyar, yakni boleh memilih di antara kewajiban yang ditentukan. Misalnya, kewajiban membayar kafarat (tebusan) bagi pelanggar sumpah. Tebusan itu ada tiga macam pilihan, yaitu memberi makan sepuluh fakir miskin, memberi pakaian mereka atau memerdekakan seorang hamba sahaya (QS.5:89). Dengan melakukan salah satu dari tiga macam kafarat tersebut gugurlah kewajiban mukalaf.
Ditinjau dari segi jumlah yang ditentukan atau jumlah yang belum ditentukan dari satu kewajiban, wajib terbagi menjadi dua macam.
(1) Wajib atau fardu muhaddad, yakni suatu kewajiban yang telah ditetapkan jumlahnya oleh syarak (hukum Islam). Artinya, mukalaf tidak bebas dari tanggung jawab jika belum menjalankan seluruh jumlah dari satu kewajiban yang telah ditetapkan. Misalnya, jika mukalaf menjalankan salat fardu yang lima, tidaklah terbebas dari beban kewajiban sekiranya jumlah rakaat, syarat, dan rukun dari setiap salat itu tidak dipenuhi.
(2) Wajib atau fardu gair muhaddad, yaitu suatu kewajiban yang tidak ditetapkan jumlahnya oleh syarak. Misalnya, kewajiban memberikan infak (derma) fi sabilillah (pada jalan Allah) sebagaimana tertera dalam surah Muhammad (47) ayat 38 dan kewajiban memberi pertolongan dalam kebajikan (QS.5:2). Baik jumlah maupun ukuran yang diberikan tidak ditentukan batasnya.
Ditinjau dari segi pemberian beban pada mukalaf, wajib dibagi menjadi dua.
(1) Wajib atau fardu ain, yaitu suatu kewajiban yang dibebankan kepada setiap mukalaf. Kewajiban mukalaf tidak akan bebas selama ia sendiri tidak mengerjakannya. Misalnya, kewajiban menjalankan salat, membayar zakat, dan memenuhi janji yang pernah diucapkan.
(2) Wajib kifa’i (wajib atau fardu kifayah), yakni kewajiban yang dibebankan kepada sekelompok orang (mukalaf). Artinya, apabila ada salah seorang dari mereka telah mengerjakan kewajiban yang dituntut, mukalaf lain yang tidak mengerjakannya tidak dibebani dosa. Tetapi apabila tidak seorang pun mengerjakannya, maka seluruhnya memikul dosanya. Misalnya, memandikan, mengafani, menyembahyangkan, dan menguburkan jenazah.
Dalam hukum Islam, wajib kifayah dapat berubah menjadi wajib ain. Hal ini terjadi apabila orang yang sanggup menjalankan beban itu hanya satu orang, sedangkan yang lainnya tidak sanggup. Misalnya, jika dalam satu daerah hanya ada seorang dokter, baginya tugas itu menjadi wajib ain, meski semula kewajiban menjadi dokter adalah wajib kifayah.
Ditinjau dari segi waktu dalam menunaikan kewajiban, wajib dibagi menjadi dua.
(1) Wajib atau fardu mutlaq, yakni suatu kewajiban yang tidak ditentukan waktu mengerjakannya. Misalnya, kafarat wajib bagi pelanggar sumpah, tetapi kapan membayar kafarat tidak ditentukan waktunya. Oleh sebab itu, ia dapat segera membayar kafaratnya sesaat setelah sumpah dilanggarnya atau pada waktu yang lain.
(2) Wajib atau fardu muqayyad, yakni kewajiban yang telah ditentukan batas waktunya. Misalnya, kewajiban menjalankan salat lima waktu, puasa di bulan Ramadan. Semua ini telah ditentukan waktunya, sehingga tidak boleh dikerjakan sebelum atau sesudah batas waktunya.
Wajib muqayyad dibedakan menjadi tiga macam.
(a) Wajib atau fardu muwassa‘, apabila waktu yang telah ditentukan sangat longgar. Misalnya, salat zuhur memiliki batas waktu lama sehingga dapat dimanfaatkan pula untuk melakukan kewajiban sejenis (seperti salat sunah).
(b) Wajib atau fardu mudhayyaq, yakni waktu yang ditentukan sangat sempit. Misalnya, puasa Ramadan yang waktunya sangat sempit sehingga tidak memungkinkan untuk mengerjakan kewajiban serupa, seperti puasa sunah.
(c) Wajib atau fardu dzi syibhain, yakni waktu yang ditentukan dalam satu segi sempit dan dalam segi lain longgar. Misalnya, waktu mengerjakan ibadah haji pada bulan-bulan tertentu longgar, yaitu di samping untuk menunaikan ibadah haji juga untuk mengerjakan ibadah-iba-dah lain.
Tetapi jika ditinjau dari segi bahwa seorang mukalaf tidak boleh menunaikan haji pada tahun yang sama untuk dua kali, maka waktunya menjadi sempit. Sehubungan dengan masalah wajib muqayyad, ulama usul membahas tentang fungsi niat, nama, dan ketentuan perbuatan yang dilakukan di dalam atau di luar waktu yang telah ditentukan. Hal ini dijelaskan sebagai berikut.
Pertama, fungsi niat. Dalam waktu yang longgar (muwassa‘) suatu perbuatan tidak akan dapat memenuhi kewajiban, kecuali dengan niat yang tegas, karena dalam waktu yang longgar itu dimungkinkan pula untuk melakukan perbuatan lain. Misalnya, seseorang harus berniat untuk melakukan salat zuhur.
Apabila ia tidak berniat, ia belum dianggap menunaikan salat itu. Demikian untuk yang lainnya, misalnya untuk salat sunah, ia berniat untuk salat sunah untuk salat yang dilakukannya.
Untuk kewajiban yang waktunya sempit (mudhayyaq) tidak dituntut untuk menyatakan niatnya secara tegas di waktu melaksanakan perbuatan wajib itu karena pada saat itu semuanya hanya untuk melakukan kewajiban yang dituntut saja. Apabila seseorang berniat secara mutlak untuk berpuasa pada bulan Ramadan dan tidak menyatakan niatnya secara tegas untuk puasa wajib (mafrudh), puasa itu tetap menjadi puasa wajib.
Apabila ia berniat puasa sunah, puasa itu bukan puasa sunah lagi, akan tetapi menjadi puasa wajib. Hal serupa juga berlaku untuk kewajiban yang waktunya dzi syibhain. Namun berbeda apabila ia berniat sunah, maka perbuatan yang diniati sunah itu menjadi sunah pula. Dalam hal ini wajib dzi syibhain sebagai wajib muwassa‘.
Kedua, nama perbuatan dan ketentuannya. Apabila seseorang mengerjakan wajib muqayyad dengan sah, sempurna, dan tepat waktu, maka disebut dengan ada’ (tunai). Apabila dikerjakan dengansah tetapi tidak sempurna, kemudian ia mengulang kembali secara sempurna di waktu yang ditentukan itu, maka perbuatan itu disebut i‘adah (mengulang). Misalnya, mengulangi salat zuhur yang telah dilakukan.
Pengulangan itu disebabkan salat yang kedua kalinya dilakukan secara berjemaah dan salat sebelumnya dilakukan sendirian (tidak berjemaah). Pengulangan ini masih dalam batas waktu zuhur. Apabila kewajiban itu dilakukan setelah habis wak-tunya (bukan pada waktunya), perbuatan itu disebut kada (pengganti).
Daftar Pustaka
Abu Zahrah, Muhammad. Usul al-Fiqh. Beirut: Dar al-Fikr, 1976.
Bek, Muhammad Khudari. Usul al-Fiqh. Beirut: Dar al-Fikr, 1972.
Khalaf, Abdul Wahhab. ‘Ilm Usul al-Fiqh. Jakarta: al-Majlisu al-‘Ala Indonesiyi li a-Da‘wah al-Islamiyah, 1979.
Mugniyah, Jawad. Usul al-Fiqh. Beirut: Dar al-Ilmi li al-Malayin,
Mahdini