Wahyu adalah pengungkapan realitas atau tujuan Ilahi kepada manusia, misalnya kepada para nabi. Menurut pandangan agama, pengungkapan seperti itu bisa terjadi melalui penglihatan mistik, peristiwa historis, atau pengalaman spiritual yang mengubah kehidupan seseorang atau kelompok.
Wahyu merupakan pesan atau rahasia yang dibisikkan atau diilhamkan ke dalam sukma berupa isyarat cepat atau sesuatu yang dituangkan Allah SWT dengan cepat ke dalam dada para nabi-Nya. Melalui wahyu Allah SWT menyampaikan kebenaran kepada para nabi.
Di dalam Al-Qur’an terdapat lafal “wahyu” dan lafal-lafal yang diambil daripadanya dalam lebih kurang tujuh puluh kali dan dipakai dalam beberapa arti. Misalnya, dalam surah Maryam (19) ayat 11 dipakai dalam arti “isyarat”, dalam surah an-Nahl (16) ayat 68 dipakai dalam arti “ilham”, dan dalam surah asy-Syura (42) ayat 13 diartikan sebagai “wasiat”.
Wahyu pada hakikatnya tidak dapat diketahui begitu saja oleh manusia biasa. Orang yang dapat menerima wah yu adalah orang yang memiliki kekuatan jiwa dalam segala segi, baik fiqrah (kecerdasan), iradah (kemauan), maupun wijdan (perasaan). Ketiga hal tersebut juga dilengkapi de ngan al-akhlaq al-karimah (budi pekerti luhur). Allah SWT memberikan wahyu-Nya kepada orang-orang seperti ini, yang kemudian disebut nabi dan rasul.
Wahyu diperuntukkan bagi nabi dan rasul dalam mengemban tugas dari Allah SWT untuk mengajak manusia menuju kebaikan dunia dan akhirat. Hal ini berbeda dengan ilham yang juga dapat berlaku pada manusia biasa. Allah SWT telah menerangkan dalam Al-Qur’an cara memberitahukan para nabi-Nya mengenai apa yang dikehendaki-Nya, dengan firman-Nya,
“Dan tidak ada bagi seorang manusia pun bahwa Allah berkata-kata dengan dia kecuali dengan perantaraan wahyu atau di belakang tabir atau dengan mengutus seorang utusan (malaikat) lalu diwahyukan kepadanya dengan seizin-Nya apa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Tinggi lagi Maha Bijaksana” (QS.42:51).
Dari kandungan ayat tersebut dapat dipahami bahwa Allah SWT menurunkan wahyu-Nya kepada nabi dan rasul dengan tiga cara.
(1) Allah SWT memberi pengetahuan dengan tidak memakai perantaraan. Pengetahuan itu tiba-tiba dirasakan se seorang dan timbul dalam dirinya secara tiba-tiba sebagai suatu cahaya yang menerangi jiwanya. Mimpi nabi yang benar (sadiqah) termasuk dalam bagian ini. Wahyu serupa ini telah diterima Nabi Ibrahim AS, yaitu tentang perintah Allah SWT untuk menyembelih anaknya, Ismail AS. Hal ini juga terjadi pada diri Nabi Muhammad SAW di masa permulaan turunnya wahyu.
(2) Memperdengarkan suara dari belakang tabir dan nabi mendengar wahyu dari belakang tabir itu. Hal ini diperoleh Nabi Musa AS di Bukit Tursina (Gunung Sina) dan Nabi Mu hammad SAW ketika melakukan isra mikraj.
(3) Mengutus Malaikat Jibril (sebagai pembawa wahyu), yang disebut dalam Al-Qur’an sebagai ar-Ruh al-Amin atau Rohul Kudus. Dalam surah asy-Syu‘ara (26) ayat 192–195 Allah SWT berfirman,
“Dan sesungguhnya Al-Qur’an ini benar-benar diturunkan oleh Tuhan semesta alam, dia dibawa turun oleh ar-Ruh al-Amin (Jibril), ke dalam hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang di antara orang-orang yang memberi peringatan, dengan bahasa Arab yang jelas.”
Malaikat Jibril kadangkala mendatangi Muhammad SAW dengan menyerupai seorang laki-laki yang tampan. Di saat lain Jibril memperlihatkan dirinya dalam bentuk yang asli, yang memiliki enam ratus sayap.
Nabi Muhammad SAW juga pernah menerima wahyu yang datang dengan suara keras menyerupai suara lonceng. Karena wahyu itu terasa berat, maka keluar peluh di dahinya meskipun cuaca dingin. Atas dasar inilah sementara orientalis menuduh Nabi Muhammad SAW ditimpa penyakit sawan.
Wahyu pada hakikatnya tidak dapat diketahui manusia biasa, selain oleh nabi dan rasul yang mendapat wahyu itu sendiri. Wahyu merupakan pembicaraan tersembunyi yang dapat ditangkap dengan cepat. Wahyu tidak tersusun dari huruf yang memerlukan gelombang suara.
Hasbi ash-Shiddieqy mengatakan bahwa wahyu berarti menerima pembicaraan secara rohani, kemudian pembicaraan itu berbentuk dan tertulis dalam hati. Wahyu merupakan limpahan ilmu yang dituangkan Allah SWT ke dalam hati para nabi dan rasul. Dengan demikian terukirlah ibarat-ibarat atau gambaran-gambaran, lalu dengan ibarat-ibarat itu nabi mendengar pembicaraan yang tersusun rapi. Muhammad Abduh juga mengambil arti wahyu sebagai ‘irfan (pengetahuan).
Syekh Muhammad Rasyid Rida mengatakan bahwa wahyu Allah SWT yang diturunkan kepada nabi-nabi-Nya adalah suatu ilmu yang dikhususkan untuk mereka dengan tidak dipelajari. Pengetahuan itu diperoleh dengan tidak lebih dahulu berpikir dan tidak berijtihad, yang disertai pera saan halus yang muncul dengan sendirinya. Adapun yang menuangkan ke dalam jiwa mereka itu adalah Allah Yang Maha Kuasa.
Kumpulan wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW disebut Al-Qur’an, yang merupakan pembawa rahmat bagi alam semesta dan petunjuk bagi manusia dalam hidup dan kehidupannya. Dalam hal ini Allah SWT berfirman,
“Janganlah kamu gerakkan lidahmu untuk (membaca) Al-Qur’an karena hendak cepat-cepat (menguasai)nya. Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah mengumpul kannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya. Apabila kamu telah selesai membacakannya, maka ikutilah bacaannya itu. Kemudian, sesungguhnya atas tanggungan Kamilah penjelasannya” (QS.75:16–19).
Menurut Muhammad Abduh, wahyu mempunyai dua fungsi pokok. Fungsi pokok pertama timbul dari keyakinan bahwa jiwa manusia akan terus ada dan kekal sesudah tubuh kasar mati.
Keyakinan akan adanya hidup kedua setelah hidup pertama ini bukan hasil dari pemikiran yang sesat dari akal dan bukan pula suatu khayalan karena umat manusia dalam keseluruhan, kecuali dalam sebagian kecil yang tak berarti, sepakat menyatakan bahwa jiwa akan tetap hidup sesudah ia meninggalkan tubuh.
Sungguhpun akal dapat mengetahui alam gaib, namun tidak akan sampai pada hakikat yang sebenarnya. Untuk memberi penjelasan tentang alam gaib yang penuh rahasia inilah maka nabi-nabi dikirim Allah SWT kepada umat manusia.
Fungsi wahyu yang kedua mempunyai kaitan erat dengan sifat dasar manusia sebagai makhluk sosial. Manusia harus hidup berkelompok. Untuk terwujudnya hidup sosial yang rukun dan damai, para anggotanya harus membina hubungan antara mereka atas dasar cinta dan mencintai.
Tetapi pada dasarnya kebutuhan manusia akan sesuatu tidak terbatas, sehingga selalu muncul konflik dan pertentangan. Untuk mengatasi masalah itu telah diusahakan menukar prinsip cinta dengan keadilan, tetapi manusia tidak sanggup meletakkan dasar-dasar kuat untuk keadilan yang dapat diterima semua orang. Untuk mengatur masyarakat manusia dengan baik, dibutuhkan wahyu yang dibawa oleh para nabi dan rasul.
Dengan demikian wahyu menolong akal untuk mengetahui alam akhirat serta keadaan hidup manusia di sana dan untuk mengetahui sifat kesenangan, kesengsaraan, dan bentuk perhitungan (pengadilan Allah SWT) yang akan dihadapinya di akhirat kelak.
Selanjutnya wahyu menolong akal dalam mengatur masyarakat atas dasar prinsip-prinsip umum yang dibawanya dan dalam mendidik manusia untuk hidup damai dan tenteram dengan sesamanya. Wahyu membawa syariat yang mendorong manusia untuk melaksanakan kewajiban seperti kejujuran, kebenaran, dan menepati janji.
Sungguhpun akal dapat mengetahui adanya Tuhan dan dapat mengetahui bahwa manusia wajib beribadah dan berterima kasih kepada-Nya, tetapi akal tidak sanggup mengetahui semua sifat-sifat Tuhan dan tidak dapat mengetahui cara yang paling baik untuk beribadah kepada-Nya. Dalam hal ini wahyulah yang menjelaskan kepada akal cara beribadah, berterima kasih, dan bersyukur kepada Tuhan.
Akal juga tidak dapat mengetahui perincian kebaikan dan kejahatan. Di antara perbuatan manusia ada yang tidak dapat diketahui akal, apakah baik atau buruk. Dalam hal ini baik buruknya perbuatan ditentukan oleh perintah dan larangan Tuhan. Perbuatan yang diperintahkan Tuhan adalah baik dan yang dilarang adalah jahat. Hanya Tuhanlah yang mengetahui apa sebab perbuatan demikian baik atau buruk.
Fungsi lain dari wahyu adalah menguatkan pendapat akal dan meluruskannya melalui sifat sakral dan absolut yang terdapat dalam wahyu. Sifat sakral dan absolut inilah yang membuat orang mau tunduk kepada sesuatu.
Memang akal manusia dapat mengetahui kewajiban berterima kasih kepada Tuhan, kewajiban berbuat baik serta menjauhkan perbuatan jahat, dan selanjutnya akal dapat membuat hukum dan peraturan mengenai kewajiban-kewajiban itu dan dapat mengajak manusia lain mematuhinya, tetapi sungguhpun demikian akal tidak dapat memaksa umat manusia untuk tunduk pada hukum dan peraturan yang dibuatnya itu.
Oleh karena itu manusia berhajat pada konfirmasi dari kekuatan gaib yang lebih tinggi. Konfirmasi itu datang dalam bentuk wahyu, yang membawa pengetahuan yang mampu menen-teramkan jiwa manusia.
Daftar pustaka
Haekal, Muhammad Husain. Fi Manzil al-Wahyi. Cairo: Dar al-Ma‘arif, t.t.
Nasution, Harun. Akal dan Wahyu dalam Islam. Jakarta: UI Press, 1986.
Qaththan, Manna’. Mabahits fi ‘Ulum Al-Qur’an. Beirut: Muassasah ar-Risalah, 1976.
as-Sabuni, Muhammad Ali. at-Tibyan fi ‘Ulum Al-Qur’an atau Pengantar Studi Al-Qur’an, terj. Drs. H. Moh. Chuldori Umar dan Drs. Moh. Hatsna H.S. Bandung: al-Ma‘arif, 1984.
ash-Shiddieqy, T.M. Hasbi. Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an. Jakarta: Bulan Bintang, 1990.
Shihab, M. Quraish. “Membumikan” Al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat. Bandung: Mizan, 1992.
as-Suyuti, Jalaluddin Abdur Rahman bin Abu Bakar. al-Itqan fi ‘Ulum Al-Qur’an. Beirut: Dar al-Fikr, t.t.
az-Zarkasyi, Badruddin Muhammad bin Abdullah. al-Burhan fi ‘Ulum Al-Qur’an. Beirut: Dar al-Fikr, 1988.
Mahdini