Wahid Hasyim, Abdul

(Jombang, 1914–Cimahi, 19 April 1953)

Abdul Wahid Hasyim adalah seorang pemuka Islam dan tokoh Nahdlatul Ulama (NU). Ia tiga kali berturut-turut memangku jabatan menteri agama: dalam Kabinet Hatta (19 Desember 1949–16 Januari 1950), Kabinet Natsir (6 September 1950–26 April 1951), dan Kabinet Sukiman­ (26 April 1951–April 1952).

Wahid Hasyim berasal dari keluarga pesantren yang taat beragama serta berpegang erat pada tradisi. Ia lahir, tumbuh, dan dewasa dalam lingkungan pesantren. Ibunya bernama Nafiqah, putri KH Ilyas, pemimpin Pesantren Se­wulan di Madiun. Garis keturunan ayah dan ibu­nya bertemu pada Lembu Peteng (Brawijaya VI), yaitu dari pihak ayah melalui Joko Tingkir (sultan Pajang, 1569–1587) dan dari pihak ibu melalui Kiai Ageng Tarub I.

Sejak usia 5 tahun ia belajar membaca Al-Qur’an pada ayahnya setiap selesai salat magrib dan zuhur, sedang pada pagi hari ia belajar di Madrasah­ Salafiyah di dekat rumahnya. Dalam usia 7 tahun ia mulai mempelajari kitab Fathal-Qarib (Kemenangan bagi yang Dekat) dan al-Minhaj al-Qawim (Jalan Yang Lurus).

Sejak kecil minat bacanya­ sangat tinggi. Berbagai macam ki­tab ditelaahnya. Ia sangat menggemari buku-buku­ kesusastra­an­ Arab, khususnya buku Diwan asy-Syu‘ara’ (Kum­pulan Penyair dengan Syair-Syairnya).

Pada usia 13 tahun Wahid Hasyim meninggal­kan Tebuireng menuju Pondok Siwalah Panji, tempat ayahnya pernah berguru­. Di sana ia mempelajari berbagai­ cabang ilmu agama. Buku-buku yang dibacanya di antaranya Sullam at-Taufiq (Tangga untuk Mendapat Taufik), Taqrib (Mendekatkan),­ Bidayah al-Mujtahid (Permulaan­ bagi Mujtahid), dan Tafsir al-Jalalain (Tafsir bagi Dua Tokoh yang Bernama Jalal).

Tidak berapa lama ia di sini, lalu ia pindah ke Pesantren Lirboyo di Ke­diri. Setelah itu ia kembali ke pesantren ayahnya untuk selanjutnya lebih banyak belajar sendiri. Ia belajar aksara Latin pada usia 15 tahun.

Dengan berbekal pengetahuan aksara Latin ia me­nambah bacaannya dengan berlangganan berbagai surat kabar­ dan majalah. Tidak puas dengan­ hanya mengua­sai­ bahasa Arab dan aksara Latin, Wahid Hasyim lalu belajar bahasa Belanda dengan jalan berlangganan Sumber Pengetahuan­.

Dengan banyak­ membaca buku dan surat kabar, Wahid Hasyim tumbuh menjadi pemuda yang berwawasan luas. Pada usia 17 tahun Wahid Hasyim­ mulai meniti­ kariernya­ sebagai guru di pesantren ayahnya.

Pada 1932 Wahid Hasyim menunaikan ibadah haji pertama bersama KH Mohammad Ilyas (mantan menteri agama RI, kelahiran Pro­boling­go 1911), saudara sepupunya. Kesempatan selama di Tanah Suci dimanfaatkan Wahid Hasyim untuk memperlancar bahasa Arabnya sehingga­ ia menjadi fasih dalam bahasa itu.

Ia melakukan perubahan dalam pesantrennya­ dengan mendirikan Madrasah Nizamiyah yang di dalamnya diajarkan­ ilmu-ilmu agama dan umum sekaligus. Berbagai kritikan dan protes ulama dilontarkan­ kepadanya, namun semuanya ditanggapi­ dengan kepala dingin. Ternyata madrasah itu da­pat berkembang­ dengan pesat. Muridnya pun bertambah dari tahun ke tahun.

Untuk mengorganisasikan kegiatan para pemuda,­ Wahid Hasyim mendirikan Ikatan Pelajar Islam (IKPI) tahun 1936. Ia sendiri yang menjadi pemimpinnya. Usaha ikatan ini antara lain mendirikan taman bacaan.

Sejak 1938 Wahid Hasyim banyak mencurahkan perhatian­ pada kegiatan NU. Kariernya di NU dimulai dari bawah, yaitu se­bagai sekretaris pengurus Ranting Tebu­ireng, la­lu menjadi anggota pengurus Cabang Jombang, kemudian terpilih sebagai anggota Pengurus Besar­ NU yang berkedudukan di Surabaya.

Dari sini kariernya te­rus meningkat sampai menjadi ketua Lembaga Pendidikan­ Ma’arif NU 1938. Setelah­ NU berubah menjadi partai politik, ia pun dipilih sebagai­ ketua Biro Politik NU 1950.

Pada usia yang ke-25 (1938) Wahid Hasyim menikah dengan Siti Salehah, putri KH Bisri Syamsuri, pengasuh Pesantren Dinanyar, Jombang, dan salah seorang yang ikut mendukung berdirinya NU.

Pada 1939, ketika Majlis Islam A’la Indo­ne­sia (MIAI) mengadakan kon­ ferensi, Wahid Hasyim terpilih sebagai ketua. Setahun kemudian ia meng­ undurkan diri. Keputusan itu diambil­nya seusai konferensi MIAI dan Kongres Muslimin Indonesia­ III yang hangat membicarakan perbe­daan paham antara GAPI dan MIAI mengenai Indonesia­ berparlemen serta milisi dan transfusi darah.

Pendapat lain mengemukakan­ bahwa alasan pengun­duran­ diri Wahid Hasyim adalah panggilan ayahnya untuk pulang dan memimpin Pondok Pesantren Tebuireng, karena ayahnya merasa tidak mampu lagi.

Wahid Hasyim pernah aktif di Masyumi dan mener­bit­­kan majalah Suara Muslimin Indonesia. Isinya keba­nyakan berupa imbauan kepada para pemuda untuk mengobarkan semangat jihad dan peperangan melawan Jepang. Di samping itu, Wahid­ Hasyim juga memelopori berdirinya Badan­ Propaganda­ Islam (BPI) yang anggota-anggotanya dikader untuk terampil dan mahir berpidato di hadapan­ umum.

Pada akhir 1944 Wahid Hasyim memboyong­ keluarganya­ pindah ke Jakarta. Sejak itu perhatiannya tercurah sepenuhnya untuk kegiatan­ politik­. Kariernya dalam bidang politik berawal­ dari kedudukannya sebagai ketua II Majlis Syura (De­wan Partai Masyumi) 1945. Ketua­ umumnya adalah ayahnya sendiri, sedangkan ketua I dan ke­tua III masing-masing Ki Bagus Hadikusumo dan Mr. Kasman Singodimejo. Partai Masyumi ketika itu dinyatakan sebagai satu-satunya partai politik Islam di Indonesia.

Pada 20 Desember 1949 Wahid Has­yim diangkat menjadi menteri agama dalam Kabinet­ Hatta. Sebelumnya, yaitu sebelum penyerahan­ kedaulatan,­ ia menjadi menteri negara. Pada periode Kabinet Natsir dan Kabinet Sukiman,­ Wahid Hasyim tetap memegang jabatan menteri agama sampai akhir hayatnya.

Selama menjadi menteri agama, usahanya antara lain: 1) mendirikan Jam‘iyyah al-Qurra’ wal-huffaz (Organisasi Qari dan Penghafal Al-Qur’an) di Jakarta, 2) menetapkan tugas kewajiban­ Kementerian­ Agama melalui Peraturan Pemerintah­ No. 8/1950, 3) merumuskan dasar-dasar Peraturan­ Perjalanan Haji Indonesia, dan 4) menyetujui berdirinya­ Perguruan Tinggi Agama­ Islam Negeri (PTAIN) dalam Kementerian­ Agama.

Pada 1952 ia memprakarsai berdirinya Liga Muslimin Indonesia, suatu badan federasi yang anggotanya terdiri atas wakil-wakil NU, Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII, Sarekat Islam),­ Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti), dan Darul Dakwah wa al-Irsyad (Tempat Melaksana­kan Dakwah dan Bimbingan).

Susunan pengurusnya adalah KH Abdul Wahid Hasyim sebagai ke­tua, Abikusno Cokrosuyoso sebagai wakil ketua I, dan H Sirajuddin Abbas sebagai wakil ketua II. Ia senang menulis. Tulisannya tersebar dalam bentuk pidato resmi, ceramah keagamaan,­ dan artikel-artikel di berbagai media mas­sa.

Karya-karya tulisnya antara lain Nabi Muhammad­ dan Persaudaraan Manusia, Berimanlah­ dengan Sungguh dan Ingatlah Kebesaran Tuhan, Kebangkitan­ Dunia Islam, Apakah Meninggalnya­ Stalin­ Berpengaruh pada Islam?, Umat Islam Indonesia dalam Menghadapi Perimbangan Kekuatan Politik dari Partai-Partai dan Golongan-Golongan, Kedudukan­ Ulama dalam Masyarakat Islam di Indo­nesia,­ dan Islam antara Materialisme dan Mistik.

KH Abdul Wahid Hasyim wafat dalam suatu kecelakaan mobil antara Cimahi dan Bandung 19 April 1953. Jenazah­ nya diterbangkan ke Tebuireng, dimakamkan di samping makam ayahnya.

Daftar pustaka

Atjeh, Abubakar. Sejarah Hidup KH A. Wahid Hasjim dan Karangan Tersiar. Jakarta: Panitia Buku Peringatan Alm. KH A. Wahid Hasjim, 1957.
Dhofier, Zamakhsyari. Tradisi Pesantren. Jakarta: LP3ES, 1985.
Thahir, Anas. Kebangkitan Umat Islam dan Peran NU di Indonesia. Surabaya: Bina Ilmu, 1980.
Wahid, Abdurrahman. Bunga Rampai Pesantren. Jakarta: Dharma Bhakti, t.t.
Zuhri, Saifuddin. Berangkat dari Pesantren. Jakarta: Gunung Agung, 1987.

MusdaH Mulia