Paham wahdatul wujud Ibnu Arabi (Andalusia, 1165–Damascus, 1240) mengajarkan bahwa tidak ada sesuatu pun yang berwujud kecuali Tuhan. Hanya ada satu wujud hakiki, yaitu Tuhan. Segala yang lain hanyalah penampakan lahiriah Tuhan. Eksistensi makhluk tergantung pada keberadaan Tuhan.
Seandainya Tuhan tidak ada, yang merupakan sumber bayang-bayang, yang lain pun tidak ada, karena seluruh alam ini tidak memiliki wujud dan yang sebenarnya memiliki wujud hanya Tuhan. Dengan kata lain, yang ada hanya satu wujud, yaitu wujud Tuhan, dan yang lainnya hanya merupakan bayang-bayang.
Paham ini tampaknya merupakan kelanjutan dari paham hulul yang dibawa oleh Mansur al-Hallaj; an-nasut (sifat kemanusiaan) dalam hulul diistilahkan oleh Ibnu Arabi menjadi al-khalq dan al-lahut (sifat ketuhanan) menjadi al-haqq.
Al-Khalq dan al-haqq adalah dua aspek yang terdapat pada segala sesuatu; al-khalq adalah aspek luar dan al-haqq merupakan aspek dalam. Dapat juga dikatakan bahwa al-haqq adalah substansi atau jauhar dan al-khalq adalah ‘ardh (hal-hal yang melekat pada zat, bukan hakikat). Yang terpenting di antara keduanya adalah aspek dalam.
Segala sesuatu itu keberadaannya bergantung pada Yang Satu dan Mutlak. Yang Satu ini merupakan sumber segala wujud. Dia-lah Tuhan dan wujud selain Tuhan tidak akan ada sekiranya Tuhan tidak ada. Tuhan-lah sebenarnya yang mempunyai wujud hakiki dan yang lain hanya memiliki wujud nisbi serta bergantung pada wujud di luar dirinya, yaitu Tuhan. Dengan demikian, segala sesuatu itu sebenarnya tidak memiliki wujud. Semuanya kembali pada satu wujud, yaitu wujud Tuhan. Hal ini tampak dari ungkapan Ibnu Arabi sendiri, “Maha Suci Zat yang menciptakan segala sesuatu dan Dia adalah esensi segala sesuatu itu.”
Paham wahdatul wujud timbul dari filsafat bahwa Tuhan ingin melihat diri-Nya di luar diri-Nya. Kemudian diciptakan-nya alam sebagai cermin yang merefleksikan gambaran diri-Nya. Setiap kali Ia ingin melihat diri-Nya maka Ia melihat alam karena pada setiap benda alam terdapat aspek al-haqq. Jadi, walaupun segala benda ini kelihatannya banyak, tetapi sebenarnya yang ada hanya satu wujud, yaitu al-haqq.
Pengumpamaan Tuhan dengan ciptaan-Nya bagaikan seseorang yang melihat cermin di sekelilingnya. Di dalam setiap cermin tersebut ia dapat melihat dirinya dan akan terlihat banyak sebanyak cermin yang diletakkan, tetapi hakikat yang sebenarnya hanya satu. Al-Qasani berkata,“Wajah sebenarnya satu, tetapi jika engkau perbanyak cermin ia menjadi banyak.”
Hal demikian sama seperti sebatang pohon dengan bayangannya; bayangan tersebut tidak akan tampak apabila pohon sebagai sumber bayangan tidak ada. Tetapi ke balikannya, dapat saja terjadi pohon tanpa bayangan jika berada dalam gelap.
Filsafat tentang keinginan Tuhan melihat diri-Nya dan agar dapat dikenali melalui ciptaan-Nya didasarkan pada hadis qudsi (hadis yang maksudnya berasal dari Allah SWT, lafalnya berasal dari Nabi SAW),
“Aku pada mulanya adalah harta yang tersembunyi, kemudian aku ingin dikenal. Maka Kuciptakanlah makhluk dan mereka pun kenal pada-Ku melalui diri-Ku.”
Dalam mengartikan hadis ini Ibnu Arabi mengatakan bahwa Tuhan tidak akan dikenal apabila tidak menciptakan alam. Dengan kata lain, alam ini merupakan penampakan lahir Tuhan; karena dalam dunia tasawuf setiap kali Tuhan menciptakan benda (manusia) pasti meninggalkan bekas atau kesan pada benda tersebut dan inilah yang dikenal dengan hadhrah.
Selanjutnya Ibnu Arabi menerangkan bahwa selain untuk dikenal melalui ciptaan-Nya, Tuhan juga ingin mengenal dan melihat diri-Nya sendiri dalam bentuk yang menampakkan sifat-sifat dan nama-nama-Nya secara detail dan sesempurna mungkin dalam cermin alam.
Ketergantungan keberadaan segala sesuatu pada Tuhan itu dapat digambarkan dalam teori kausalitas yang harus berhenti pada sesuatu yang mutlak dan wajib keberadaannya. Alam yang memiliki sifat mungkin, keberadaannya berhajat pada yang lain. Hajat ini berlanjut terus dan berhenti pada sesuatu yang memiliki esensi wujud yang mutlak, berdiri sendiri, dan tidak berhajat pada yang lain serta bersifat wajib, yakni Tuhan Sang Pencipta. Bahkan Dia-lah yang memberikan wujud pada yang lain.
Dalam paham wahdatul wujud dikenal keberadaan Tuhan dalam kesendirian-Nya yang mutlak, tidak dikenal, dan tidak mempunyai sifat. Keadaan ini disebut ‘ama’ atau ahadiat. Kemudian Ia berada dalam keadaan dengan sifat-sifat-Nya yang potensial agar dapat terlihat oleh diri-Nya sendiri. Ke adaan ini disebut huwiyyah. Barulah Ia ingin dikenal dan bertajali kepada makhluk-Nya dengan menciptakan alam.
Pada mulanya Ia menciptakan Nur Muhammad (Hakikat Muhammad) atau Insan Kamil (Manusia Sempurna). Nur Muhammad ini merupakan dasar atau materi awal alam; terdapat pada seluruh benda alam sebagai bahan dan po tensi dasar. Nur Muhammadlah yang merupakan cermin dan tajali Tuhan pada setiap benda. Tajali terjadi ketika Tuhan berada dalam keadaan Aniyah (hakikat yang bersifat parsial), agar dapat dikenal.
Di atas telah dikatakan bahwa Tuhan ingin menampilkan diri secara sempurna dalam cermin tersebut. Namun, ternyata pada alam kebendaan tidak ditemukan kesempurnaan. Maka diciptakanlah manusia agar menjadi cerminan yang sempurna, seperti dinyatakan dalam hadis, “Dan diciptakanlah Adam seperti bentuk Tuhan” (HR. Bukhari, Muslim, dan Ahmad).
Di antara manusia yang sempurna untuk mentajalikan Tuhan adalah diri para nabi. Adapun di antara para nabi, Nabi Muhammad SAW-lah yang paling sempurna.
Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa Nur Muhammad dan Muhammad SAW secara pribadi adalah dua istilah yang berbeda. Nur Muhammad merupakan sesuatu yang memancar dari Tuhan sebagai cerminan kesempurnaan-Nya sehingga Ia dapat menampakkan diri pada manusia, terutama pada diri para nabi.
Kesempurnaan yang paling sempurna hanya tampak pada diri Nabi Muhammad SAW sebagai Insan Kamil. Oleh karena itu Nabi Muhammad SAW merupakan keseluruhan teofani (manifestasi) asma (nama keagungan) Ilahi dan keseluruhan alam dalam kesatuannya sebagai penam pakkan diri Tuhan. Dengan kata lain, Muhammad SAW adalah prototipe alam semesta dan manusia, karena ia merupakan cermin alam secara keseluruhan yang masing-masing dapat melihat yang lainnya.
Konsep Insan Kamil ini akan terus ada dan terjadi pada alam ini walaupun Muhammad SAW sendiri telah tiada. Ia akan dapat dicapai oleh para sufi dan aulia (wali) yang benar-benar telah membersihkan dirinya, sehingga yang tampak dalam dirinya adalah aspek al-…aqq-nya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pada saat seperti itu seorang sufi merasa telah hilang aspek al-khalqnya.
Ibarat sebuah cermin yang digosok terus hingga bersih, makin dit-ingkatkan kebersihannya makin tampak kecemerlangannya. Dalam keadaan yang demikian sufi dapat menjadi penampakan lahir asma Allah SWT, af‘al (perbuatan) Allah SWT, dan sifat Allah SWT, bahkan lebih jauh lagi menjadi penampakan lahir wujud Allah SWT.
Paham wahdatul wujud dikelompokkan ke dalam tasawuf filosofis. Hal ini disebabkan dari teori-teori yang dimajukan banyak unsur-unsur filsafatnya, seperti materi awal penciptaan Tuhan, Nur Muhammad (yang dikenal dalam filsafat sebagai materi awal atau akal pertama), dan dua aspek yang terdapat pada setiap benda dalam filsafat, yang dikenal dengan ide dan bentuk.
Adapun unsur tasawufnya terdapat pada pemahaman penyatuan wujud segala sesuatu kepada wujud Allah SWT. Dengan paham wahdatul wujud ini Ibnu Arabi kemudian mengembangkan pemahaman tentang penyatuan agama-agama atau yang disebut dengan wahdatul adyan.
Menurutnya, sumber agama-agama adalah satu, yaitu Nur Muhammad. Semua umat agama menyembah Tuhan yang satu dan menampakkan diri dalam bentuk-bentuk yang mereka sembah, dan tujuan ibadah sebenarnya adalah merealisasikan kesatuan Zat yang mereka sembah.
Daftar pustaka
Afifi, A.E. The Mistical Philosophy of Muhyiddin ibn Arabi. Lahore: Ashraf Press, 1964.
Chittick, William C. “Ibnu Arabi and His School.” Islamic Spirituality: Manifestations. ed. Seyyed Hossein Nasr. New York: Crossroad, 49–79, 1991.
—————. The Sufi Path of Knowledge: Ibnu al-‘Arabi’s Metaphysics of Imagination. Albany: State University of New York Press, 1989.
—————. “Wahdat al-Wujud in Islamic Thought.” The Bulletin 10, 7–27, 1991.
Corbin, Henry. Creative Imagination in The Sufism of Ibn ‘Arabi. New Jersey: Princeton University Press, 1981.
Fathurrahman, Oman. Menyoal Wahdatul Wujud: Kasus Abdurrauf Sungkel di Aceh Abad 17. Bandung: Mizan dan Ecole Francaise D’ExtrementOrient, 1999.
Hilal, Ibrahim. at-Tasawwuf al-Islami Baina ad-Din wa al-Falsafah. Cairo: Dar an-Nahdah al-‘Arabiyah. 1974.
Mahmud, Abdul Qadir. al-Falsafah as-sufiyyah fi al-Islam. Cairo: Dar al-Fikr al-‘Arabi, 1974.
Nicholson, Reynold A. The Mistics of Islam. London: Routledge and Kegan Paul, 1966.
Noer, Kautsar Azhari. Ibnu al-‘Arabi: Wahdah al-Wujud dalam Perdebatan. Jakarta: Paramadina, 1995.
M. Tabah RoesYadi