Paham keagamaan dari Muhammad bin Abdul Wahhab pada abad ke-18 di Semenanjung Arabia disebut Wahabi. Ia menekankan ajaran tauhid dan mengecam praktek tawasul, ziarah kubur, dan bid’ah. Ia kemudian bersekutu dengan Ibnu Sa‘ud, pemimpin Dinasti Sa‘ud, dan pada abad ke-20 mereka mendirikan Arab Saudi serta menerapkan Wahabi sebagai paham resmi negara.
Istilah Wahabi ini sebenarnya diberikan oleh musuh-musuh aliran ini. Pengikut Muhammad bin Abdul Wahhab sendiri menyebut diri mereka dengan nama al-Muslimun atau al-Muwahhidun, yang berarti pendukung ajaran yang memurnikan ketauhidan Allah SWT. Mereka juga menyebut diri mereka sebagai pengikut Mazhab Hanbali atau ahl as-salaf.
Timbulnya gerakan ini tidak dapat dilepaskan dari keadaan politik, perilaku keagamaan, dan sosial ekonomi umat Islam. Secara politik, umat Islam di seluruh kawasan kekuasaan Islam berada dalam keadaan yang lemah.
Turki Usmani (Kerajaan Ottoman) yang menjadi penguasa tunggal Islam pada saat itu sedang mengalami kemunduran dalam segala bidang. Banyak daerah kekuasaannya yang melepaskan diri, terutama daerah-daerah di daratan Eropa.
Kelemahan ini juga menyebabkan kekacauan politik di daerah-daerah timur (Arab, Persia, dan lain-lain). Keadaan ini menyebabkan timbulnya emirat-emirat kecil yang berusaha menguasai daerah-daerah tertentu.
Di samping kelemahan politik, perilaku keagamaan umat di masa itu merupakan faktor yang paling mendorong munculnya gerakan ini. Pada umumnya, terutama di Semenanjung Arabia, telah terjadi distorsi pemahaman Al-Qur’an. Semangat keilmuan yang meramaikan zaman klasik telah pudar dan digantikan dengan sikap fatalis dan kecenderungan mistis.
Menurut Wahabi, tauhid yang diajarkan Nabi SAW telah diselubungi khurafat dan paham kesufian. Masjid-masjid banyak ditinggalkan karena orang lebih cenderung menghias diri dengan azimat, penangkal penyakit, dan tasbih. Mereka belajar pada seorang fakir atau darwis serta memuja mereka sebagai orang suci dan sebagai perantara mencapai Tuhan.
Dalam keyakinan mereka Tuhan terlalu jauh untuk dicapai manusia melalui pemujaan secara langsung. Tidak hanya kepada guru yang masih hidup, kepada yang sudah mati pun mereka memohon perantaraan. Sebagian umat sudah meninggalkan akhlak yang diajarkan Al-Qur’an, bahkan banyak yang tidak menghiraukannya lagi.
Kota-kota suci Mekah dan Madinah telah menjadi tempat yang penuh dengan penyimpangan akidah, sementara ibadah haji telah menjadi amalan yang leceh dan ringan.
Tumbuh suburnya perilaku keagamaan yang semacam ini sesuai dengan tingkat kesejahteraan kebanyakan umat. Kekacauan politik telah menyebabkan kejahatan timbul di segala tempat. Sistem kabilah merupakan tradisi lama bagi mayo ritas penduduk Nejd (wilayah bagian tengah Arab Saudi) dan kebanyakan penduduk Semenanjung Arabia.
Kabilah-kabilah yang kuat dapat menguasai jalur perdagangan, sedangkan penduduk pada umumnya berada dalam kekurangan. Pertanian dan peternakan yang merupakan mata pencarian utama kebanyakan penduduk tidak dapat menjamin kehidupan ekonomi mereka.
Hal ini disebabkan keamanan yang rawan akibat dari kekacauan, peperangan, dan perampokan yang dilakukan kabilah-kabilah lain. Akibatnya, penduduk Nejd dan Semenanjung Arabia kebanyakan hidup dalam kemiskinan.
Di tengah kancah kehidupan yang demikian lahirlah Wahabi sebagai gerakan keagamaan yang berusaha memurnikan agama Islam dari segala pemahaman dan praktek yang sudah menyimpang dari tuntunan yang sebenarnya.
Muhammad bin Abdul Wahhab (Uyainah, Nejd, 1703–Daryah, 1787) dilahirkan dari keluarga yang terkenal kesalehan dan keimanannya. Kepada merekalah ia mempelajari agama pertama kali.
Pada usia dewasa ia merantau ke beberapa daerah untuk menuntut ilmu. Selain pengetahuan agama ia juga mempelajari filsafat. Ia tinggal di Madinah dan berguru kepada Syekh Abdullah bin Saif dan Syekh Muhammad Hayyat Hindi. Kedua orang ini merupakan ahli fikih Hanbali.
Setelah menamatkan pelajarannya di Madinah, ia melanjutkan pengembaraannya ke berbagai dunia Timur Islam; selain kawasan Arabia ia juga mengunjungi Irak, Mesir, dan Suriah, bahkan sampai ke Persia.
Pengembaraan Muhammad bin Abdul Wahhab yang bertahun-tahun ini memberikan pelajaran yang berharga padanya. Timbul protes dalam dirinya terhadap keadaan umat Islam yang dirasakan telah jauh dari semangat Al-Qur’an. Maka sekembalinya ke Nejd, ia mulai melancarkan gagasannya untuk memperbaiki perilaku keagamaan masyara katnya, terutama masalah akidah.
Konsep yang dimajukannya ternyata mendapat tantangan dari masyarakat yang merasa “kesucian” agama yang mereka yakini terusik. Menyadari bahwa perubahan perilaku sosial yang dimajukannya akan gagal apabila tidak didukung sebuah kekuatan, Ibnu Abdul Wahhab meninggalkan Nejd guna mencari dukungan yang kuat dari kabilah lain.
Kepergian Ibnu Abdul Wahhab dari Nejd kali ini merupakan “hijrah”-nya yang kedua. Kalau yang pertama ia pergi untuk menuntut ilmu, kali ini ia pergi untuk menghimpun kekuatan guna mendukung misinya. Tujuannya adalah ad-Daryah, sebelah timur Riyadh, yang dihuni Amir Muhammad bin Sa‘ud beserta kabilahnya.
Muhammad bin Sa‘ud (w. 1179 H/1766 M) adalah pendiri Dinasti Sa’ud yang kini berkuasa di Arab Saudi. Ibnu Abdul Wahhab memandang Amir Sa‘ud sebagai orang yang moderat dalam berpikir dan memiliki ambisi yang besar untuk menguasai daratan Arabia. Pada 1744 digalanglah sebuah kesepakatan antara keduanya untuk saling menolong gerakan masing-masing yang pada akhirnya menjadi satu dalam sebuah gerakan.
Inti ajaran yang dibawa Ibnu Abdul Wahhab sangat dipengaruhi ajaran yang dibawa Ibnu Taimiyah. Cara persuasif yang dilakukan Ibnu Taimiyah dalam mencetuskan ajarannya dirasakan oleh Ibnu Abdul Wahhab tidak efektif. Maka ia mengambil sikap keras dengan menggunakan kekuatan.
Ada dua inti ajarannya. Pertama, kembali kepada ajaran yang asli. Maksudnya adalah ajaran Islam yang dianut dan dipraktekkan Nabi Muhammad SAW, sahabat, dan para tabiin. Kedua, prinsip yang berhubungan dengan masalah tauhid.
Pemikiran yang dicetuskan Ibnu Abdul Wahhab ini sebenarnya merupakan reaksi terhadap suasana ketauhidan yang telah dirusak oleh paham musyrik, bukan merupakan gerakan politik. Sebagai upaya pemurnian tauhid ini, secara khusus, Ibnu Abdul Wahhab menyusun Kitab at-Tauhid yang memuat pandangannya sekitar tauhid, syirik, dan lain-lain yang menyangkut masalah akidah Islam.
Menurutnya, kalimat la ilaha illa Allah (tidak ada Tuhan selain Allah) tidak cukup hanya diucapkan, tetapi harus dimanifestasikan dengan la ma‘bud illa Allah (tidak ada yang disembah kecuali Allah).
Dalam mengartikan ayat Al-Qur’an, Ibnu Abdul Wahhab terkesan majassimah (antropomorfis) karena tidak membolehkan takwil. Sebenarnya ia pun menolak tajassum (paham antropomorfisme). Ia hanya menerima Al-Qur’an secara harfiah (apa adanya) dan tidak menanyakan lebih lanjut. Mengenai sifat Tuhan, ia menolak Tuhan memiliki sifat dan menerima sifat terlepas dari Tuhan, tetapi jangan ditanyakan bagaimana sifat itu.
Dengan prinsip tauhid semacam ini, Muhammad bin Abdul Wahhab menyerang dan memberantas semua adat kebiasaan buruk yang terdapat dalam masyarakat Arab. Menurutnya, orang yang menyembah selain Allah SWT telah menjadi musyrik dan boleh dibunuh.
Hal-hal yang termasuk syirik adalah meminta pertolongan bukan lagi kepada Allah SWT tetapi kepada syekh, wali atau kekuatan gaib, tawasul (berdoa dengan perantaraan syekh tarekat atau wali) dengan menyebut nama nabi atau malaikat, meminta syafaat selain kepada Allah SWT, dan bernazar selain kepada Allah SWT.
Untuk memurnikan tauhid, para pengikut Muhammad bin Abdul Wahhab menghilangkan kuburan-kuburan yang biasa dikunjungi mereka yang ingin meminta syafaat dari orang yang dikuburkan. Pada 1802 mereka menyerang Karbala karena di kota ini terdapat kuburan *Husein bin Ali bin Abi Thalib, yang sangat dipuja golongan Syiah. Beberapa tahun kemudian mereka menyerang Madinah.
Kubah yang ada di atas kuburan-kuburan di sana mereka hancurkan. Hiasan yang ada di kuburan Nabi SAW juga dirusak. Dari Madinah mereka teruskan penyerangan ke Mekah, dan di sini kiswah sutra yang menutup *Ka’bah juga dirusak. Semua itu dianggap bid’ah.
Kemajuan-kemajuan yang dicapai Gerakan Wahabi ternyata mencemaskan Kerajaan Usmani (Ottoman) di Istanbul. Maka Sultan Mahmud II (1785–1839) memberikan perintah kepada Muhammad Ali, khedewi (penguasa Kerajaan Usmani di daerah taklukan) di Mesir, supaya mematahkan Gerakan Wahabi itu.
Pada 1813, ekspedisi yang dikirim dari Mesir dapat membebaskan Madinah dan Mekah, yang jatuh ke tangan kaum Wahabi pada 1804 dan 1806. Dengan demikian, Ge rakan Wahabi menjadi sangat lemah, bahkan hampir pudar.
Akan tetapi, itu tidaklah berarti ajaran Wahabi ikut melemah pula. Sebab, ternyata ajaran itu menyebar ke berbagai negara seperti India, Sudan, Libya, dan Indonesia. Ke Indonesia, ajaran tersebut masuk melalui kaum Paderi di Minangkabau serta dikembangkan oleh tiga orang tokohnya, yaitu Haji Sumanik dari Luhak Tanah Datar, Haji Piobang dari Luhak Lima Puluh Kota, dan Haji Miskin dari Luhak Agam (Perang Paderi).
Di Arab Saudi sendiri Gerakan Wahabi itu mulai bangkit kembali pada permulaan abad ke-20. Penyokongnya, Abdul Aziz bin Sa‘ud, dapat menduduki Mekah pada 1924, setahun kemudian juga Madinah dan Jiddah. Sejak itu aliran dan kekuatan politik Wahabi mempunyai kedudukan yang kuat di Arab.
Daftar pustaka
Amin, Ahmad. Zu‘ama’ al-Islah fi al-‘Asr al-hadits. Cairo: Maktabah an-Nahdah al-Misriyah, 1979.
Ibnu Ghannam, Husein. Tarikh Nejd. Cairo: Dar al-Fikr al-‘Arabi, 1961.
Jameelah, Maryam. Islam in Theory and Practice. New Delhi: Taj Printers, 1983.
Philby, H.St.J. Arabia of the Wahhabis. London: Frank Cass and Company Limited, 1977.
Syalabi, Ahmad. Mausu‘ah at-Tarikh al-Islami wa al-hadharah al-Islamiyyah. Cairo: an-Nahdah al-Misriyah, 1977.
al-Wahhab, Muhammad bin Abdul. Majmu‘ah at-Tauhid. Riyadh: Maktabah ar-Riyadh al-Hadisah, t.t.
M. Tabah RoesYadi