Wahab Hasbullah, Abdul

(Tambakberas, Jombang, 1888–1971)

Abdul Wahab Hasbullah adalah seorang ulama terkemuka dari Jawa Timur dan dikenal sebagai bapak­ dan pendiri Nahdlatul Ulama (NU). Ia berasal dari keluarga yang taat beragama dan mengasuh Pondok Pesantren Tambakberas, Jombang.

Wahab Hasbullah adalah putra Kiai Haji Hasbullah, cucu Kiai Sichah, pendiri Pondok Pesantren Tambakberas. Kiai Sichah adalah datuk KH Hasyim Asy’ari, pendiri­ Pondok Pesantren Tebuireng.

Jika dite­lusuri silsilahnya, Kiai Sichah adalah keturunan Joko Tingkir (sultan Pajang, 1569– 1587), putra Brawijaya VI (Lembu Peteng).

Wahab Hasbullah lahir dan dibesarkan di Pe­santren Tambakberas. Lingkungan pesan­ tren ini­lah yang mem­bentuk watak dan kepribadiannya­ menjadi ulama yang kuat berpegang pada tradisi. Di pesantren ini pulalah ia mengawali pendidikannya dengan belajar langsung pada ayahnya, Kiai Haji Hasbullah.

Mula-mula ia belajar membaca­ Al-Qur’an, setelah itu belajar ilmu tauhid, fikih, dan tasawuf. Setelah berusia 13 tahun, ia dikirim ayahnya ke Pesantren Pelangitan di Tuban. Dari Tuban ia pindah ke Pesantren Mojosari, Nganjuk, yang dipimpin Kiai Saleh.

Kemudian­ berturut-turut ia pindah ke Pesantren Cepaka yang dipimpin Kiai Zainuddin khusus untuk memperdalam ilmu fikih,­ ke Pesantren Tawangsari di Surabaya yang dipimpin Kiai Mas Ali (saudara ibunya) khusus­ untuk belajar tajwid, ke Pesantren­ Bangkalan, Madura, yang dipimpin Kiai Haji Cholil untuk memperdalam­ ilmu bahasa Arab, dan terakhir ke Pondok Pesantren Tebuireng. Ketika di Tebuireng,­ ia ditunjuk menjadi lurah pondok dan dipercayakan­ mengajar santri yang menjadi adik kelasnya.

Pada usia 27 tahun Wahab Hasbullah berang­kat ke Mekah untuk menunaikan ibadah haji sekaligus­ memperdalam­ pengetahuan agamanya. Waktu itu, Mekah di bawah kekuasaan Syarif Husain­ (1916) yang menghidupkan ajaran bermazhab, ajaran Islam dari empat mazhab, yaitu Mazhab Maliki, Mazhab Hanafi, Mazhab Syafi‘i, dan Mazhab Hanbali. Selama lima tahun di Mekah­ ia memanfaatkan kesempatan dengan sebaik-baiknya untuk belajar berbagai ilmu agama.

Di antara guru-guru ­Wahab Hasbullah adalah Kiai Mahfuz Termas, pengarang kitab at-Turmudzi. Dari dia Wahab Hasbullah memper­oleh­ banyak pelajaran tentang ilmu hikam (berkaitan­ dengan tasawuf), tasawuf, usul fikih, dan ilmu tafsir.

Gurunya yang lain adalah Kiai Muchtaram Banyumas, Syekh Ahmad­ Khatib al-Minangkabawi­ (mufti Mazhab Syafi‘i di Mekah), Kiai Bakir Yogya, Kiai Asy’ari Bawean,­ Syekh Said al-Yamani, Said Ahmad bin Bakri, Syekh Abdul Karim ad-Dagestani, Syekh Abdul Hamid Kudus, dan Syekh Umar Bajened. Khusus dari Kiai Mahfuz Termas dan Syekh Said al-Yamani, Wahab Hasbullah­ mendapat ijazah dengan predikat mumtaz (istimewa).

Sepulang dari Mekah Wahab Hasbullah di­nikahkan­ dengan putri Kiai Musa bernama Maimunah. Sejak itu ia tinggal bersama mertuanya di Kampung Kertopaten, Surabaya­. Di sini Wahab Hasbullah mulai aktif dalam kegiatan-kegiatan masyarakat­ di samping berprofesi sebagai guru.

Wahab Hasbullah pada tahun 1914 membentuk kelompok diskusi yang diberi nama Taswir al-Afkar (Gambaran­ Pemikiran)­ yang kemudi­an­ dibina­ bersama KH Mas Mansur. Dua tahun berikutnya (1916) keduanya mendirikan organisasi Nahdlatul Wathan (NW) yang tu­juannya antara lain memperluas dan meningkatkan mutu pen­didikan madrasah. Untuk tujuan inilah Wahab Hasbullah kemudian mendi­rikan Madrasah Nahdlatul Wathan di Surabaya,­ tempat ia dan KH Mas Mansur menjadi pim­pinannya.

Wahab Hasbullah juga mempu­ nyai perhatian khusus terhadap para pemuda. Untuk itu ia mengumpulkan beberapa orang pemu­da­ dan mempra­karsai­ berdirinya organisasi pemuda Syubban al-Watan (Pemuda Tanah Air) pada 1924. Organisasi ini kemudian menjadi cikal bakal Gerakan Pemuda Ansor yang lahir­ pada 1934.

Di tengah-tengah kesibukannya Wahab Hasbullah masih dapat aktif di Study Club Indonesia, pimpinan Dr. Sutomo. Perkumpulan ini banyak mendiskusikan masalah-masalah politik dan kesadaran­ berbangsa dalam usaha mewujudkan Indonesia merdeka.

Selanjutnya, bersama KH Hasyim Asy’ari, ia memelopori berdirinya Nahdlatul­ Ulama (NU) 1926. Pada 1928 NU memutuskan mengirim delegasi menghadap­ Raja Abdul Aziz bin Sa‘ud di Mekah yang tujuan utamanya adalah memohon kepada Raja Abdul Aziz bin Sa’ud agar tetap menghormati tradisi yang berlaku selama ini di Tanah Suci dan meng­ izinkan pelaksanaan ajaran bermazhab. Delegasi itu terdiri atas Wahab Hasbullah dan Ahmad Ghenaim al-Amir al-Misri (dari Mesir), keduanya dari NU.

Wahab Hasbullah tidak hanya mendirikan NU, melainkan­ juga mengem­bang­kannya­. Dari periode ke periode dila­luinya dengan penuh tantangan dan risiko, khu­susnya pada pe­riode pendudukan Jepang.

Dia menjadi Rais Am NU sejak 1947 menggantikan KH Hasyim Asy’ari dan jabatan itu di­pangkunya sampai wafat 1971. Pada masa revolusi­ fisik, Wahab Hasbullah memelopori ba­risan Mujahidin dan ba­ris­an Kiai untuk meng­adakan perlawanan terhadap Sekutu. Kemudian bersama KH Hasyim Asy’ari, Wahab Hasbullah memutuskan­ NU keluar dari Masyumi.

Selanjutnya NU mendirikan partai sendiri. Sejak NU berubah­ menjadi partai, Wahab Hasbullah sebagai Rais Am banyak terlibat dalam kegiatan politik. Wa­ laupun demikian, ia tidak melupakan­ tugas utamanya­ sebagai pimpinan Pondok Pesantren Tambakberas.

Daftar Pustaka

Atjeh, Abubakar. Sejarah Hidup KH A. Wahid Hasjim dan Karangan Tersiar. Jakarta: Panitia Buku Peringatan Alm. KH A. Wahid Hasjim, 1957.
Zuhri, KH Saifuddin. KH Wahab Hasbullah, Bapak dan Pendiri NU. Yogyakarta: Pustaka Falakiyah, t.t.
–––––––.Sejarah Kebangkitan Islam dan Perkembangannya di Indonesia. Bandung: al‑Ma’arif, 1981.

Musdah Mulia