Abdul Wahab Hasbullah adalah seorang ulama terkemuka dari Jawa Timur dan dikenal sebagai bapak dan pendiri Nahdlatul Ulama (NU). Ia berasal dari keluarga yang taat beragama dan mengasuh Pondok Pesantren Tambakberas, Jombang.
Wahab Hasbullah adalah putra Kiai Haji Hasbullah, cucu Kiai Sichah, pendiri Pondok Pesantren Tambakberas. Kiai Sichah adalah datuk KH Hasyim Asy’ari, pendiri Pondok Pesantren Tebuireng.
Jika ditelusuri silsilahnya, Kiai Sichah adalah keturunan Joko Tingkir (sultan Pajang, 1569– 1587), putra Brawijaya VI (Lembu Peteng).
Wahab Hasbullah lahir dan dibesarkan di Pesantren Tambakberas. Lingkungan pesan tren inilah yang membentuk watak dan kepribadiannya menjadi ulama yang kuat berpegang pada tradisi. Di pesantren ini pulalah ia mengawali pendidikannya dengan belajar langsung pada ayahnya, Kiai Haji Hasbullah.
Mula-mula ia belajar membaca Al-Qur’an, setelah itu belajar ilmu tauhid, fikih, dan tasawuf. Setelah berusia 13 tahun, ia dikirim ayahnya ke Pesantren Pelangitan di Tuban. Dari Tuban ia pindah ke Pesantren Mojosari, Nganjuk, yang dipimpin Kiai Saleh.
Kemudian berturut-turut ia pindah ke Pesantren Cepaka yang dipimpin Kiai Zainuddin khusus untuk memperdalam ilmu fikih, ke Pesantren Tawangsari di Surabaya yang dipimpin Kiai Mas Ali (saudara ibunya) khusus untuk belajar tajwid, ke Pesantren Bangkalan, Madura, yang dipimpin Kiai Haji Cholil untuk memperdalam ilmu bahasa Arab, dan terakhir ke Pondok Pesantren Tebuireng. Ketika di Tebuireng, ia ditunjuk menjadi lurah pondok dan dipercayakan mengajar santri yang menjadi adik kelasnya.
Pada usia 27 tahun Wahab Hasbullah berangkat ke Mekah untuk menunaikan ibadah haji sekaligus memperdalam pengetahuan agamanya. Waktu itu, Mekah di bawah kekuasaan Syarif Husain (1916) yang menghidupkan ajaran bermazhab, ajaran Islam dari empat mazhab, yaitu Mazhab Maliki, Mazhab Hanafi, Mazhab Syafi‘i, dan Mazhab Hanbali. Selama lima tahun di Mekah ia memanfaatkan kesempatan dengan sebaik-baiknya untuk belajar berbagai ilmu agama.
Di antara guru-guru Wahab Hasbullah adalah Kiai Mahfuz Termas, pengarang kitab at-Turmudzi. Dari dia Wahab Hasbullah memperoleh banyak pelajaran tentang ilmu hikam (berkaitan dengan tasawuf), tasawuf, usul fikih, dan ilmu tafsir.
Gurunya yang lain adalah Kiai Muchtaram Banyumas, Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi (mufti Mazhab Syafi‘i di Mekah), Kiai Bakir Yogya, Kiai Asy’ari Bawean, Syekh Said al-Yamani, Said Ahmad bin Bakri, Syekh Abdul Karim ad-Dagestani, Syekh Abdul Hamid Kudus, dan Syekh Umar Bajened. Khusus dari Kiai Mahfuz Termas dan Syekh Said al-Yamani, Wahab Hasbullah mendapat ijazah dengan predikat mumtaz (istimewa).
Sepulang dari Mekah Wahab Hasbullah dinikahkan dengan putri Kiai Musa bernama Maimunah. Sejak itu ia tinggal bersama mertuanya di Kampung Kertopaten, Surabaya. Di sini Wahab Hasbullah mulai aktif dalam kegiatan-kegiatan masyarakat di samping berprofesi sebagai guru.
Wahab Hasbullah pada tahun 1914 membentuk kelompok diskusi yang diberi nama Taswir al-Afkar (Gambaran Pemikiran) yang kemudian dibina bersama KH Mas Mansur. Dua tahun berikutnya (1916) keduanya mendirikan organisasi Nahdlatul Wathan (NW) yang tujuannya antara lain memperluas dan meningkatkan mutu pendidikan madrasah. Untuk tujuan inilah Wahab Hasbullah kemudian mendirikan Madrasah Nahdlatul Wathan di Surabaya, tempat ia dan KH Mas Mansur menjadi pimpinannya.
Wahab Hasbullah juga mempu nyai perhatian khusus terhadap para pemuda. Untuk itu ia mengumpulkan beberapa orang pemuda dan memprakarsai berdirinya organisasi pemuda Syubban al-Watan (Pemuda Tanah Air) pada 1924. Organisasi ini kemudian menjadi cikal bakal Gerakan Pemuda Ansor yang lahir pada 1934.
Di tengah-tengah kesibukannya Wahab Hasbullah masih dapat aktif di Study Club Indonesia, pimpinan Dr. Sutomo. Perkumpulan ini banyak mendiskusikan masalah-masalah politik dan kesadaran berbangsa dalam usaha mewujudkan Indonesia merdeka.
Selanjutnya, bersama KH Hasyim Asy’ari, ia memelopori berdirinya Nahdlatul Ulama (NU) 1926. Pada 1928 NU memutuskan mengirim delegasi menghadap Raja Abdul Aziz bin Sa‘ud di Mekah yang tujuan utamanya adalah memohon kepada Raja Abdul Aziz bin Sa’ud agar tetap menghormati tradisi yang berlaku selama ini di Tanah Suci dan meng izinkan pelaksanaan ajaran bermazhab. Delegasi itu terdiri atas Wahab Hasbullah dan Ahmad Ghenaim al-Amir al-Misri (dari Mesir), keduanya dari NU.
Wahab Hasbullah tidak hanya mendirikan NU, melainkan juga mengembangkannya. Dari periode ke periode dilaluinya dengan penuh tantangan dan risiko, khususnya pada periode pendudukan Jepang.
Dia menjadi Rais Am NU sejak 1947 menggantikan KH Hasyim Asy’ari dan jabatan itu dipangkunya sampai wafat 1971. Pada masa revolusi fisik, Wahab Hasbullah memelopori barisan Mujahidin dan barisan Kiai untuk mengadakan perlawanan terhadap Sekutu. Kemudian bersama KH Hasyim Asy’ari, Wahab Hasbullah memutuskan NU keluar dari Masyumi.
Selanjutnya NU mendirikan partai sendiri. Sejak NU berubah menjadi partai, Wahab Hasbullah sebagai Rais Am banyak terlibat dalam kegiatan politik. Wa laupun demikian, ia tidak melupakan tugas utamanya sebagai pimpinan Pondok Pesantren Tambakberas.
Daftar Pustaka
Atjeh, Abubakar. Sejarah Hidup KH A. Wahid Hasjim dan Karangan Tersiar. Jakarta: Panitia Buku Peringatan Alm. KH A. Wahid Hasjim, 1957.
Zuhri, KH Saifuddin. KH Wahab Hasbullah, Bapak dan Pendiri NU. Yogyakarta: Pustaka Falakiyah, t.t.
–––––––.Sejarah Kebangkitan Islam dan Perkembangannya di Indonesia. Bandung: al‑Ma’arif, 1981.
Musdah Mulia