Istilah ‘uzlah dalam tasawuf dan filsafat berarti i‘tizal (menyendiri atau menjauhkan diri dari keramaian). Istilah ini berasal dari kata ‘azala ya‘zilu yang berarti “menghindar dari sesuatu atau meninggalkan sesuatu”.
Lebih lanjut, kata ‘uzlah dapat juga berarti “tercerai-berainya suatu kelompok, benda atau manusia, yang asalnya merupakan satu kesatuan”, “pengantar yang buruk (‘azali)”, dan juga “lemah (ad-du‘f) atau orang yang lebih belakang (datangnya)”. Selain itu kata ini dapat juga berarti “orang yang tidak memiliki senjata”.
Dalam tasawuf dikenal istilah zuhud yang erat hubungannya dengan uzlah, yang memiliki arti meninggalkan kehidupan materi. Maqam (tahapan) ini merupakan tahapan yang paling penting bagi seorang calon sufi.
Sebelum menjadi sufi, seseorang harus menjadi zahid (meninggalkan keduniawian dengan bertapa, beribadah, dan sebagainya) terlebih dahulu. Cara yang biasa dilakukan seorang calon sufi dalam zuhud adalah uzlah dari kehidupan ramai dan dari kemewahan.
Pada saat itu mereka mudah untuk mengingat dosa yang telah dilakukan dan dalam kesendiriannya mereka lebih tenteram dalam bertobat dan berzikir pada Allah SWT. Hiburan bagi mereka adalah pendekatan diri kepada Tuhan.
Sikap yang demikian ini timbul karena kegemilangan yang telah dicapai umat Islam dalam hal-hal yang bersifat keduniaan membuat sebagian umat terlena dan tenggelam dalam kehidupan yang serba mewah.
Melihat hal-hal seperti ini, orang-orang yang tidak mau turut dalam kemewahan dan ingin mempertahankan kesederhanaan hidup Rasulullah SAW dan sahabatnya beruzlah dan mengasingkan diri dari dunia kemewahan itu.
Prinsip dasar mereka adalah keyakinan bahwa kemewahanakan membutakan mata hati manusia untuk mengingat Allah SWT Yang Maha Suci, dan usaha mendekatkan diri kepada-Nya tidak akan tercapai apabila masih ada rasa terikat dengan materi.
Cara untuk mengingat dan mendekatkan diri kepada Tuhan adalah dengan mengasingkan diri dari materi dan kebutuhan-kebutuhan terhadap materi.
Pengertian uzlah yang digunakan dalam filsafat juga berarti mengasingkan diri. Namun arti ini lebih menekankan pada usaha manusia untuk mencapai nalar yang rasional. Filsafat ini dikembangkan Ibnu Bajjah dengan filsafat mutawahhid (menyendiri)-nya. Agar dapat hidup sebagai manusia dan dapat berbuat secara rasional, seseorang sedapat mungkin harus beruzlah dari masyarakat.
Dalam hal ini timbul pertanyaan, apakah hal ini tidak bertentangan dengan tabiat manusia sebagai makhluk sosial? Menurut Ibnu Bajjah, orang mutawahhid dalam sebagian hidupnya sedapat mungkin harus menjauhkan diri dari orang banyak, tidak berhubungan dengan mereka kecuali dalam keadaan yang terpaksa atau untuk sekadar memenuhi kebutuhan.
Selanjutnya dikatakan bahwa orang mutawahhid sedapat mungkin harus berhijrah dan beruzlah pada segi kehidupan lain yang memiliki banyak pengetahuan. Sikap yang demikian itu tidak bertentangan dengan apa yang disebut oleh ilmu tabii (ilmu watak), bahwa manusia menurut wataknya adalah makhluk sosial.
Hal ini juga tidak bertentangan dengan apa yang disebut di dalam ilmu sosial, yakni bahwa mengasingkan diri sama sekali tidak baik. Sementara mengasingkan diri dalam filsafat mutawahhid bukan sekadar pengasingan diri secara fisik (zat), tetapi lebih menekankan pada pengasingan diri dari yang bersifat ‘ard (sikap mental) dan ini merupakan hal yang baik.
Meskipun demikian, pengasingan diri secara fisik ada kalanya diperlukan, yaitu apabila seseorang berada dalam masyarakat yang jahat. Akan tetapi apabila ia berada dalam masyarakat yang saleh, hendaknya secara fisik ia tetap bergabung dengan mereka.
Dalam filsafat ini uzlah sangat penting untuk meningkat kan diri pada sikap yang lebih rasional, penuh pengetahuan, dan kesadaran. Apabila seseorang menyaksikan adanya kebodohan pada tingkah laku orang umum, ia wajib beruzlah paling tidak dalam pikiran. Dengan demikian orang yang mengasingkan diri ini akan memperoleh kebenaran.
Pengertian uzlah juga berkembang menjadi ciri sebuah kelompok yang memiliki pendapat lain dengan pendapat umum mengenai sifat Tuhan, yakni Muktazilah. Ketika itu orang banyak berpendapat bahwa Tuhan memiliki sifat yang berdiri sendiri dan sama kekalnya dengan zat Tuhan, sedangkan kelompok ini memiliki pendapat yang lain, yaitu bahwa sifat Tuhan adalah zat-Nya sendiri.
Daftar Pustaka
Boer, T.J. De. The History of Philosophy in Islam. New York: Dover Publication, 1967.
al-Ghazali, Abu Hamid Muhammad. Di Balik Ketajaman Hati, terj. Jakarta: Pustaka Amani, 1984.
–––––––. Ihya’ ‘Ulum ad-Din. Cairo: Musthafa al-Babi al-Halabi, 1939.
–––––––. Keajaiban Hati, terj. Jakarta: Tintamas, 1975.
Hasan, Hasan Ibrahim. Tarikh al-Islam. Cairo: Maktabah an-Nahdah al-Misriyah, 1967.
Majluf, Luis. al-Munjid. Beirut: Dal al-Masyriq, 1975.
O’Leary, De Lacy. Arabic Thought and Its Place in History. London: Routledge & Kegan Paul Ltd., 1954.
Qasim, Mahmud. Dirasah fi al-Falsafah al-Islamiyyah. Cairo: Dar al-Ma’arif, 1973.
M Tabah Rosyadi