Usuluddin, Ilmu

Salah satu cabang ilmu Islam yang membahas pokok-pokok kepercayaan Islam adalah ilmu usuluddin. Ilmu ini disebut juga ilmu kalam, ilmu tauhid, ilmu akidah (akaid), dan teologi Islam. Kedudukan ilmu ini sangat penting di antara ilmu Islam lain karena objek kajiannya adalah kepercayaan pokok Islam.

Ilmu usuluddin bisa masuk dalam kajian filsafat Islam jika dilihat dari segi bahwa ilmu ini mementingkan argumen ‘aqli (akal, penalaran). Tetapi, jika dilihat dari segi bahwa ilmu ini mementingkan argumen atau dalil naqli (Al-Qur’an dan hadis), ilmu ini bisa masuk dalam kajian ilmu agama.

Berdasarkan dua segi itu pula, seorang ahli usuluddin dapat melakukan kajian yang benar-benar bebas, di samping juga dapat melakukan kajian dengan tetap berlandaskan pada doktrin keagamaan yang dipercayainya. Dengan demikian, ilmu usuluddin bisa bercorak agama dan juga bisa bercorak filsafat.

Pokok-pokok kepercayaan terpenting yang menjadi bidang pembahasan ilmu ini adalah ketauhidan, kenabian, dan kepercayaan pada al-akhirah (akhirat). Bidang-bidang tersebut meliputi:

(1) keimanan kepada Allah SWT, yaitu pembahasan tentang Allah SWT, yang mencakup kajian tentang zat, sifat, dan perbuatan-Nya;

(2) kitab-kitab-Nya, yaitu pembahasan kitab-kitab Allah SWT, mencakup kajian tentang kebutuhan manusia terhadap wahyu serta keharusan untuk menerima apa yang diberitakan-Nya, termasuk berita-berita gaib.

(3) rasul-rasul-Nya, yaitu pembahasan nabi-nabi Allah SWT, mencakup kajian tentang apa yang wajib, mustahil, dan boleh yang terdapat pada rasul-rasul tersebut; dan

(4) kehidupan di hari kemudian, yaitu pembahasan yang mencakup kajian tentang semua yang disampaikan oleh para rasul Allah SWT yang termaktub dalam kitab-kitab-Nya, yakni perihal kehidupan sesudah mati.

Sementara itu, kajian tentang malaikat-malaikat Allah SWT bisa merupakan kajian tersendiri, tetapi bisa juga bagian dari pembahasan mengenai rasul-rasul-Nya. Hal ini karena dilihat dari segi fungsinya, malaikat juga adalah rasul Allah SWT, meskipun fungsi kerasulan malaikat dapat dibedakan dengan fungsi kerasulan para nabi Allah SWT.

Ilmu usuluddin tidak muncul sekaligus dan pada mulanya pun belum jelas dasarnya. Ilmu usuluddin sebagai suatu disiplin ilmu baru muncul lama sesudah Nabi SAW wafat.

Walaupun setelah Nabi SAW wafat segera muncul persoalan politik, yakni masalah imamah atau kepemimpinan. Persoalan politik tersebut selanjutnya berkembang menjadi masalah teologis yang akhirnya melahirkan ilmu usuluddin.

Banyak sumber yang menyebutkan bahwa persoalan politik pada masa awal Islam itu melatarbelakangi lahirnya ilmu usuluddin.

Persoalan politik yang paling hangat yang telah menumbuhkan benih-benih teologis dan yang kelak melahirkan ilmu ini adalah perang saudara antara kelompok Khalifah Ali bin Abi Thalib RA dan kelompok Mu‘awiyah bin Abi Sufyan yang membangkang terhadap kekhalifahan Ali.

Perpecahan antara kedua kelompok tersebut juga melahirkan kelompok baru yang disebut Khawarij. Khawarij memandang bahwa arbitrase (tahkim = keputusan) yang dilakukan kedua kelompok tersebut tidak sah karena satu-satunya tahkim yang bisa diterima ialah dari Allah SWT.

Khawarij, yang pada mulanya adalah pengikut Ali, menuduh kedua kelompok tersebut adalah kafir, sebagaimana keduanya juga saling mengafirkan. Persoalan saling mengafirkan antara sesama muslim itu bukan hanya merupakan persoalan politik, tetapi telah meluas menjadi persoalan teologis.

Bahkan setelah itu juga muncul kelompok Murji’ah yang tetap memandang semua kelompok sebelumnya sebagai mukmin. Kelompok Murji’ah menangguhkan penilaian terhadap seseorang sampai Allah SWT menilai sendiri di hari kemudian.

Peristiwa pembunuhan Khalifah Usman bin Affan dan kemudian disusul oleh Khalifah Ali juga merupakan salah satu faktor yang memacu perubahan persoalan-persoalan politik menjadi persoalan teologis. Pembunuhan yang bersifat politis tersebut juga melahirkan perbedaan pendapat apakah orang yang berbuat dosa besar itu masih tetap mukmin atau sudah kafir.

Munculnya kaum Muktazilah yang merumuskan pemikirannya secara lebih sistematis tentang persoalan teologis tersebut dipandang sebagai permulaan berdirinya ilmu usuluddin sebagai ilmu tersendiri.

Adapun pertumbuhan ilmu usuluddin sebagai ilmu tersendiri dimulai pada masa Khalifah al-Ma‘mun (penguasa Abbasiyah; w. 218 H/833 M).

Hal ini terjadi setelah ulama-ulama Muktazilah mempelajari filsafat, khususnya ilmu logika, dan memanfaatkannya untuk membela agama dan pokok-pokok kepercayaan mereka dari serangan yang dilancarkan lawan-lawan kaum muslim pada masa itu yang lebih dulu menggunakan filsafat dan logika sebagai alat dalam kritik dan serangan mereka.

Ketika itu ilmu usuluddin disebut ilmu kalam, sebelumnya disebut al-fiqh fi ad-din (pemahaman dalam soal agama), dan kemudian disebut dengan ilmu tauhid dan ilmu akaid (jami’ah dan akidah).

Ilmu usuluddin dinamai dengan ilmu kalam antara lain karena:

(1) di antara persoalan yang menjadi pokok pembahasannya ialah kalam Allah SWT, yakni Al-Qur’an, apakah azali atau non-azali;

(2) ulama kalam (mutakalimin), karena pengaruh penggunaan dalil-dalil yang tampak pada pembicaraan-pembicaraan mereka, mengesankan mereka sebagai ahli-ahli bicara. Hal ini sesuai dengan kata kalam itu sendiri yang berarti bicara atau ucapan; dan

(3) pembuktian kepercayaan yang digunakan serupa dengan logika dalam filsafat. Untuk membedakannya dengan logika, maka dinamai ilmu kalam.

Ilmu usuluddin dinamai ilmu tauhid karena pokok bahasannya bertujuan memurnikan keesaan Allah SWT, di samping memantapkan keyakinan terhadap pokok kepercayaan lainnya.

Hal ini karena ilmu tauhid menerangkan kepercayaan tentang wujud Allah SWT dan sifat-sifat yang wajib, mustahil, dan boleh yang ada pada Allah SWT. Demikian pula tentang sifat-sifat yang wajib, mustahil, dan boleh ada pada rasul-rasul-Nya. Penamaan ilmu usuluddin dengan ilmu akidah atau akaid karena dua hal yang disebut terakhir ini merupakan padanan ilmu tauhid.

Dalam sejarah perkembangan ilmu usuluddin, kalam, tauhid, dan akidah terdapat dua aliran pokok, yaitu rasional dan tradisional.

Aliran rasional dicetuskan kaum Muktazilah dengan tokoh-tokohnya, antara lain Abu Huzail al-Allaf (135 H/753 M–235 H/850 M), an-Nazzam (185 H/801 M–231 H/846 M), Mu’ammar bin Abbad, al-Jahiz Abu Usman bin Bahar (w. 225 H/840 M), dan al-Jubba’i (w. 303 H/916 M) yang telah mempelajari dan memanfaatkan filsafat dalam menangkis argumen­argumen filosofis yang dikemukakan lawan-lawan kaum muslimin.

Akal dalam aliran rasional menempati kedudukan yang tinggi. Akal dapat mengetahui adanya Tuhan, kewajiban berterima kasih kepada Tuhan, perbedaan antara yang baik dan yang jahat serta kewajiban manusia untuk melakukan kebaikan dan menjauhi yang jahat. Menurut aliran ini, kemampuan akal tersebut tetap ada seandainya Tuhan tidak menurunkan agama kepada manusia.

Di pihak lain aliran tradisional tidak memberikan kedudukan dan kemampuan demikian terhadap akal. Hal ini karena sebelum hadirnya agama, kemampuan akal hanya terbatas pada mengetahui adanya Tuhan dan untuk mengetahui selain itu adalah di luar kemampuan akal.

Kaum Asy‘ariyah termasuk yang menganut pendirian ini dengan tokoh-tokoh, antara lain Abu Bakar Muhammad al-Baqillani (w. 403 H/1013 M), Abu Bakar al-Juwaini, dan al-Ghazali.

Selain dua aliran tersebut terdapat aliran lain, yaitu Maturidiyah. Aliran ini mencoba menempuh jalan tengah dari kedua aliran pokok tersebut. Namun, dalam kenyataannya pendirian teologis kaum Asy‘ariyah lebih banyak dianut masyarakat muslim, sedangkan pendirian kaum Muktazilah hanya dianut lapisan terbatas. Pendirian kaum Maturidiyah kurang populer.

Buku-buku yang ditulis mengenai ilmu ini sampai seka-rang tak terbilang lagi jumlahnya, di antaranya: al-Majmu‘fi al-Muhith bi at-Taklif (Kumpulan tentang Hal yang Meliputi Kewajiban) oleh Abdul Jabbar bin Ahmad, Risalah at-Tauhid (Tulisan tentang Tauhid) dan hasyiyah ‘ala al-‘Aqa’id al-‘Adudiyyah (Komentar tentang Akidah yang Menyesatkan) oleh Syekh Muhammad Abduh, Kitab Ushul ad-Din (Kitab mengenai Dasar Agama) oleh al-Baghdadi, al-Milal wa an-Nihal (Agama dan Alirannya) oleh Muhammad Abdul Karim asy-Syahristani, al-Irsyad ila Qawathi‘ al-Adillah fi Ushul al-I‘tiqad (Petunjuk Menuju Dalil Pasti dalam Dasar Keyakinan) oleh al-Juwaini, Kitab at-Tauhid (Kitab mengenai Tauhid) oleh Abu Mansur Muhammad al-Maturidi, dan Teologi Islam Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan oleh Harun Nasution.

Daftar Pustaka

Abduh, Muhammad. Risalah at-Tauhid. Mesir: t.p., 1969.
Abu Zahrah, Muhammad. Tarikh al-Madzahib al-Islamiyyah. Vol 2. Cairo: Dar al-Fikr al-‘Arabi, t.t.
–––––––. al-‘Aqidah al-Islamiyyah kama Ja’a biha Al-Qur’an al-Karim. Cairo: Majma‘ al-Buhus al-Islamiyah, 1969.
al-Asy‘ari, Abu al-Hasan Ali bin Ismail. Maqalat al-Islamiyyin. Cairo: an-Nahdah al-Misriyah, 1950.
–––––––. al-Ibanah ‘an Usul ad-Diyanah. Cairo: Idarah at-Tiba‘ah al-Muniriyah, t.t.
al-Fatani, Zainal Abidin. ‘Aqidah an-Najin fi ‘Ilm Usul ad-Din. Surabaya: Syirkah B. Indah, t.t.
Goldziher, Ignaz. Pengantar Teologi dan Hukum Islam. Jakarta: INIS, 1991.
Nasution, Harun. Falsafat dan Mistisisme dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1995.
–––––––. Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya I & II. Jakarta: UI Press, 1986.
–––––––. Teologi Islam: Aliran-Aliran, Sejarah, Analisa Perbandingan. Jakarta: UI Press, t.t.
asy-Syahristani, Abu al-Fath Muhammad Abdul Karim. al-Milal wa an-Nihal. Beirut: Dar al-Fikr, t.t.

Moch Qasim Mathar