Usul Fikih
(Ar.: usul al-fiqh)
Usul fikih adalah cara mengetahui dan menggunakan dalil fikih secara global (ijmal), mengetahui keadaan penggunanya (mujtahid atau ahli ijtihad), dan mengetahui kaidah kulli (umum) yang dapat digunakan untuk mengistinbatkan (mengambil) syarak (hukum Islam) dari dalil yang terperinci.
Istilah usul fikih berasal dari kata usul dan fiqh (fikih). Kata usul (jamak dari kata asl) secara bahasa mengandung beberapa pengertian, antara lain adalah “sesuatu yang di atasnya dibangun sesuatu yang lain”. Secara istilah, asl mempunyai beberapa pengertian.
(1) Far‘ (cabang), seperti anak adalah cabang dari ayah.
(2) Kaidah, seperti dalam sebuah hadis Riwayat Bukhari dan Muslim yang mengatakan: “Islam itu dibina atas lima usul (kaidah)”.
(3) Rajil (yang lebih kuat), seperti pernyataan: “Al-Qur’an asl bagi kias”. Artinya, Al-Qur’an lebih kuat daripada kias.
(4) Mustahaab (sesuatu yang dianggap sebagai semula), misalnya seorang yang berwudu merasa ragu apakah ia masih suci atau tidak, sementara ia merasa yakin betul belum melakukan sesuatu yang membatalkan wudunya. Oleh sebab itu, ia tetap merasa masih berwudu.
(5) Dalil (alasan), seperti ucapan ulama: “Usul dari hukum ini adalah ayat dari Al-Qur’an.”
Selanjutnya fikih dapat diartikan sebagai paham atau pemahaman yang mendalam yang membutuhkan pengerahan potensi akal. Pengertian ini didapati dalam surah Hud (11) ayat 91 dan al-An‘am (6) ayat 65. Fikih menurut Imam Syafi‘i adalah mengetahui hukum syarak yang bersifat ‘amali (amalan) yang diperoleh melalui dalil-dalilnya yang terperinci.
Perbedaan Usul Fikih dan Fikih
Dari definisi di atas terlihat bahwa objek kajian usul fikih adalah:
(1) pembahasan dalil-dalil yang dipergunakan dalam menggali dalil-dalil syarak. Dalil-dalil syarak tersebut ada yang disepakati semua ulama, yaitu Al-Qur’an dan sunah, dan ada yang disepakati kebanyakan ulama, yaitu ijmak dan kias. Ada pula yang diperselisihkan mereka tentang kehujahannya, seperti istihsan, istishab (memberlakukan hukum yang ada sejak semula), al-maslahah al-mursalah, sadd adz-dzari‘ah (mencari inti permasalahan dan dampak suatu perbuatan), dan ‘urf (adat istiadat);
(2) pembahasan dalil-dalil yang bertentangan dan bagaimana cara menarjih (menguatkan), seperti pertentangan antara Al-Qur’an dan sunah atau antara sunah dan pendapat akal;
(3) pembahasan ijtihad, yakni syarat dan sifat seorang mujtahid;
(4) pembahasan syarak itu sendiri, apakah yang bersifat tuntutan (melakukan atau meninggalkan), yang sifatnya boleh memilih atau yang sifatnya wad‘i (sebab, syarat, dan halangan); dan
(5) bagaimana cara berhujah dengan dalil-dalil tersebut, apakah dari segi lafal dalil itu sendiri atau melalui mafhum (pemahaman) terhadap nas.
Dengan demikian terlihat jelas perbedaan antara objek usul fikih dan objek fikih itu sendiri. Objek kajian usul fikih adalah dalil-dalil, sedangkan objek fikih adalah perbuatan seseorang yang telah mukalaf (telah dewasa dalam menjalankan hukum).
Jika usuli (ahli usul fikih) membahas dalil dan kaidah yang bersifat umum, fukaha (ahli fikih) mengkaji bagaimana dalil-dalil juz’i (sebagian) dapat diterapkan pada peristiwa-peristiwa yang partial (khusus).
Tujuan dan Kegunaan Ilmu Usul Fikih
Tujuan usul fikih adalah untuk mengetahui dalil-dalil syarak, baik yang menyangkut bidang akidah, ibadah, muamalah, akhlak, atau ‘uqubah (hukum yang berkaitan dengan masalah pelanggaran atau kejahatan).
Semuanya itu agar hukum Allah SWT tersebut dapat dipahami dan diamalkan. Dengan demikian usul fikih bukanlah sebuah tujuan, melainkan sarana untuk mengetahui hukum Allah SWT terhadap suatu peristiwa yang memerlukan penanganan hukum.
Ulama usul mengemukakan kegunaan ilmu usul fikih ini secara sistematis.
(1) Usul fikih memberikan gambaran jalan yang jelas kepada para mujtahid tentang bagaimana cara menggali hukum melalui metode yang tersusun baik.
(2) Usul fikih merupakan suatu jalan untuk memelihara agama dari penyalahgunaan dalil, karena dalam kajian usul fikih dibahas secara jelas dan mendalam bagaimana suatu hukum tetap berada dalam pengakuan syarak, sekalipun hal tersebut bersifat ijtihad.
(3) Melalui usul fikih dapat diketahui bagaimana cara imam mujtahid mempergunakan dalil yang ada dan bagaimana cara mereka dalam menggali hukum Islam dari nas (teks) Al-Qur’an, sunah atau dari dalil lainnya. Hal ini terutama bagi orang-orang yang menganut suatu mazhab. Usul Fikih merupakan sesuatu yang penting bagi mereka untuk mengetahui bagaimana cara imam mazhab mereka mengistinbatkan hukum.
(4) Usul fikih memberikan kepada para peminatnya kemampuan berpikir secara fikih dan menunjukkan secara benar jalan pikiran fikih tersebut, sehingga secara benar pula mereka memahami hukum-hukum yang digali dari nas tersebut. Di samping itu, orang yang mendalami usul fikih akan memiliki kemampuan mengistinbatkan hukum terhadap peristiwa yang dihadapinya.
(5) Dengan penguasaan usul fikih, persoalan-persoalan baru yang muncul, yang belum ada ketentuan hukumnya oleh ulama terdahulu, dapat dipecahkan secara baik, sehingga seluruh persoalan yang dihadapi dapat ditentukan hukumnya sesuai dengan metode usul yang ada.
Perkembangan Ilmu Usul Fikih
Sebagai salah satu disiplin ilmu, usul fikih pertama kali disusun Imam Syafi‘i pada abad ke-2 H. Namun demikian, sebagai suatu teori yang belum disistematisasikan, metode-metode yang digunakan dalam menetapkan hukum dari Al-Qur’an dan sunah sudah terlihat bibitnya sejak zaman Rasulullah SAW.
Oleh sebab itu, ulama usul mengatakan bahwa ilmu usul itu muncul bersamaan dengan fikih dan diawali sejak zaman risalah. Bibit ini semakin memperlihatkan bentuknya di zaman sahabat, pada saat ijtihad sudah mulai meluas di kalangan mereka, seperti yang dilakukan Ibnu Mas‘ud, Ali bin Abi Thalib, dan Umar bin Khattab.
Para sahabat ini senantiasa menetapkan hukum yang tidak ada nasnya dalam Al-Qur’an atau sunah dengan kriteria dan batasan tertentu. Umpamanya dalam kasus hukuman bagi orang yang minum khamar, Ali bin Abi Thalib mengatakan,
“Jika ia minum ia akan mengigau dan jika ia telah mengigau, dia akan menuduh orang berbuat zina dan hukuman menuduh orang berbuat zina adalah dera 80 kali.”
Dalam kasus ini terlihat Ali berusaha mencari inti permasalahan serta dampak dari perbuatan tersebut atau paling tidak dia berusaha menutup segala kemungkinan negatif yang dapat terjadi. Kemudian hal ini dikenal dengan istilah sadd adz-dzari‘ah.
Cara-cara yang ditempuh para sahabat dalam menentukan hukum suatu peristiwa yang tidak ada nasnya dalam Al-Qur’an atau sunah ini di zaman tabiin semakin berkembang dan meluas. Hal ini sesuai dengan permasalahan yang semakin banyak terjadi.
Perkembangan itu dapat dilihat dari fatwa-fatwa yang dikemukakan Sa‘id bin Musayyab di Madinah, Alqamah bin Waqqas al-Lais dan Ibrahim an-Nakha‘i di Irak, dan al-Hasan al-Basri di Basrah.
Mereka adalah ahli hadis dan ahli fikih pada periode tabiin. Di antara mereka ada yang melihat permasalahan tersebut dari sudut maslahatnya (sesuatu yang mendatangkan kebaikan).
Hal ini dilakukan jika nasnya tidak ada. Adapun yang lain melihatnya dari sisi kias. Oleh sebab itu, berbagai hukum pun muncul. Misalnya, kalangan fukaha (ahli fikih) Irak melakukan usaha untuk mencari ilah-ilah (sebab) hukum yang akan dipergunakan melalui kias, kemudian ilah ini dikembangkan dan dibandingkan dengan ilah yang ada pada peristiwa yang perlu dicarikan hukumnya.
Dengan demikian muncullah perbedaan-perbedaan cara yang dipergunakan dalam mengistinbatkan hukum, yang nantinya dikenal dengan sebutan Madrasah Irak, Madrasah Madinah, dan Madrasah Kufah. Penamaan ini menunjukkan perbedaan cara dan metode istinbat yang dipergunakan dalam menggali hukum.
Setelah itu muncullah para imam mujtahid, khususnya imam yang empat (Abu Hanifah atau ImamHanafi, Imam Malik, Imam Syafi‘i, dan Ahmad bin Hanbal atau Imam Hanbali). Pada periode ini metode-metode usul fikih mencapai kesempurnaannya, yakni masing-masing imam tersebut menciptakan metode istinbatnya sendiri, yang membedakannya dengan metode imam-imam yang lain.
Imam Abu Hanifah menyusun metode istinbat dengan urutan: Al-Qur’an, sunah, fatwa para sahabat yang menjadi kesepakatan mereka, memilih fatwa sahabat yang dianggap cocok, pendapat para tabiin, kias, dan istihsan dengan cara yang jelas. Sementara Imam Malik mengemukakan pendapatnya dengan banyak berpegang pada amalan ahli Madinah. Ia juga mengkritik beberapa hadis yang menurutnya bertentangan dengan Al-Qur’an.
Pada masa selanjutnya muncullah Imam Syafi‘i yang secara khusus menyusun metode-metode tersebut dan membukukannya dengan nama ar-Risalah, sehingga ia dikenal sebagai orang pertama yang membukukan usul fikih. Imam Syafi‘i menyusun kitabnya itu berdasarkan khazanah fikih yang ditemuinya dari peninggalan para sahabat, tabiin, dan imam-imam mujtahid sebelum dia.
Ia berusaha mempelajari dengan seksama perdebatan yang terjadi antara fukaha Irak dan fukaha Madinah. Lalu ia memberikan jalan tengah dari kedua pandangan tersebut dan membuat teori-teori yang bersangkutan dengan hal tersebut, yang kemudian dikenal dengan nama usul fikih.
Dalam kitabnya tersebut, Imam Syafi‘i memaparkan pertimbangan yang dilakukan untuk mengetahui mana pendapat yang sahih dan yang tidak sahih. Diharapkan hal tersebut menjadi undang-undang umum yang berlaku dan menjadi pertimbangan dalam mengistinbatkan hukum pada setiap generasi. Dalam mendebat pendapat ulama sebelumnya, Imam Syafi‘i telah berusaha melakukannya melalui teori yang dibahas dalam kitab ar-Risalahnya.
Selanjutnya yang ditulis Imam Syafi‘i itu menjadi bahasan yang luas di kalangan ulama. Namun mereka mempunyai pandangan yang berbeda dalam membahas usul tersebut. Adapun yang mereka lakukan adalah:
(1) ada yang berusaha mensyarah (menjelaskan) secara panjang lebar apa yang telah dikemukakan Imam Syafi‘i tanpa menambah atau mengurangi apa yang telah dipaparkan dalam kitab tersebut;
2) ada yang melakukan penambahan dari apa yang telah ditetapkan Imam Syafi‘i dan bahkan memberikan pendapat yang berlawanan. Misalnya, kalangan Mazhab Hanafi mengakui metode-metode yang dikemukakan Imam Syafi‘i, tetapi mereka menambahkan dengan metode istihsan dan ‘urf (adat istiadat).
Kemudian Mazhab Maliki juga menerima teori Imam Syafi‘i, tetapi mereka menambahkan lagi dengan ijmak ahli Madinah (yang oleh Imam Syafi‘i ditentang), istihsan, al-maslahah al-mursalah (yang oleh Imam Syafi‘i berusaha dibatalkan), dan metode sadd adz-dzari‘ah.
Pada prinsipnya fukaha keempat mazhab tersebut tidak menentang dalil-dalil yang ditetapkan Imam Syafi‘i, yakni Al-Qur’an, sunah, ijmak, dan kias, karena hal ini merupakan sesuatu yang telah disepakati. Namun di sisi lain, fukaha di luar Mazhab Syafi‘i menambahkan dalil lain dalam usul mereka, sebagaimana yang telah digambarkan di atas.
Metode Usul Fikih
Dalam perjalanan dan perkembangan usul fikih sesudah masa Imam Syafi‘i, dikenal adanya dua metode usul fikih yang berbeda. Pertama, metode yang sifatnya teoretis. Metode ini tidak terpengaruh oleh furuk (hukum keagamaan yang tidak pokok) dan kalangan yang berpatokan pada masalah-masalah partial.
Artinya, metode yang mereka susun sifatnya lebih mengacu pada penerapan hukumnya. Metode ini dikenal dengan metode Mazhab Syafi‘i, karena ia dikenal sebagai orang pertama yang melakukan pembahasan yang bersifat teori belaka. Metode Imam Syafi‘i ini juga dikenal dengan metode mutakalimin, karena banyak di antara ulama ilmu kalam melakukan pembahasan usul dengan metode teoretis ini.
Pembahasan dalam metode Imam Syafi‘i dan mutakalimin lebih ditekankan pada penyusunan kaidah-kaidah tanpa terikat dengan pandangan mazhab, bahkan mereka menyusun metode ini dengan mapan tanpa memperhitungkan apakah dapat melayani kebutuhan mazhab mereka atau tidak.
Oleh sebab itu, ada ahli usul Mazhab Syafi‘i sendiri yang teorinya bertentangan dengan teori yang telah ditetapkan Imam Syafi‘i. Misalnya, Imam al-Amidi, ahli fikih dan usul fikih penganut Mazhab Syafi‘i, mengatakan bahwa ijma‘ sukuti (kesepakatan sebagian mujtahid pada suatu masa dalam mengemukakan pendapatnya secara jelas terhadap hukum suatu kejadian, sedangkan sebagian lainnya tidak menanggapi pendapat tersebut) itu dapat menjadi hujah. Sementara Imam Syafi‘i sendiri tidak menerima ijma‘ sukuti sebagai hujah.
Pada pembicaraan tentang usul dalam kelompok ini banyak didapati pembahasan yang sifatnya teoretis saja dan tidak membawa pengaruh pada keperluan praktis. Di antaranya adalah pembahasan tentang asal-usul bahasa, tahsin (menganggap sesuatu perbuatan itu baik dapat dicapai oleh akal atau tidak), dan taqbih (menganggap sesuatu perbuatan itu buruk dapat dicapai dengan akal atau tidak).
Kitab-kitab usul fikih yang disusun menurut metode Imam Syafi‘i dan mutakalimin antara lain: al-Mu‘tamad oleh Abi Husain Muhammad bin Ali al-Basri, yang sebelumnya Muktazilah, al-Burhan oleh Imam al-Juwaini yang dikenal dengan Imam Haramain, dan al-Mustasfa oleh Imam Abu Hamid al-Ghazali.
Kedua, metode Mazhab Hanafi, yakni metode yang sangat terikat dengan peristiwa-peristiwa partial. Mereka melakukan pembahasan terhadap kaidah-kaidah usul untuk dijadikan pertimbangan atau alat pengukur pendapat-pendapat yang ada dalam mazhab mereka.
Dengan demikian mereka berusaha untuk membenarkan pendapat mazhabnya melalui metode yang mereka susun. Syah Waliyullah (Delhi, 4 Syawal 1114 H/1703 M–Delhi, 1176 H/1762 M), salah seorang pembaru pemikiran Islam di India pada permulaan abad ke-18, mengatakan bahwa metode yang mereka susun itu bertujuan sebagai pembenaran terhadap putusan imam-imam mazhab mereka.
Di sinilah letak perbedaan antara metode Mazhab Syafi‘i dan metode Mazhab Hanafi. Metode Mazhab Syafi‘i dibentuk sebagai teori untuk istinbat, tanpa terikat dengan masalah-masalah furuk. Adapun metode Mazhab Hanafi dibentuk dalam rangka pembenaran terhadap pendapat mazhab mereka. Kitab-kitab usul yang ditulis dengan metode Mazhab Hanafi antara lain: Kitab Usul (oleh Ubaidillah bin Husain), Kitab Usul (al-Jassas), Kitab Usul (Imam al-Bazdawi), dan Kitab Usul (asy-Syarakhsi).
Dengan demikian, usul fikih yang dikenal sekarang adalah usul fikih dalam dua metode ini. Ada juga beberapa penulis, baik dari kalangan Mazhab Syafi‘i maupun Mazhab Hanafi, yang menulis kitabnya dengan menggabungkan kedua metode ini.
Dalam teori, mereka berpegang pada metode Mazhab Syafi‘i, namun dalam praktek atau tatbiqnya, mereka mengikuti metode Mazhab Hanafi. Penulis yang menggabungkan dua metode tersebut antara lain Imam al-Amidi dengan bukunya al-Ihkam li al-Amidi dari kalangan Mazhab Syafi‘i dan Imam Ali Muhammad al-Bazdawi dengan bukunya Usul al-Bazdawi dari kalangan Mazhab Hanafi. Kemudian datang lagi Imam Ahmad bin Ali Sa’ati al-Baghdadi yang menggabungkan Usul al-Bazdawi dengan al-Ihkam li al-Amidi.
Daftar Pustaka
Abu Sulaiman, Abdul Wahhab Ibrahim. al-Fikr al-Usuli. Jiddah: Dar asy-Syuruq, 1983.
Abu Zahrah, Muhammad. Usul al-Fiqh. Cairo: Dar al-Fikr al-‘Arabi, 1958.
al-Amidi, Safiuddin Abu al-Hasan. al-Ihkam fi Usul al-Ahkam. Riyadh: Mu’assasah an-Nur, 1387.
Bek, Muhammad Khudari. Usul al-Fiqh. Beirut: Dar al-Fikr, 1988.
al-Ghazali, Abu Hamid Muhammad bin Muhammad. al-Mustasfa min ‘Ilm al-Usul. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1983.
Hasaballah, Ali. Usul at-Tasyri‘ al-Islami. Mesir: Dar al-Ma‘arif, 1976.
Khalaf, Abdul Wahhab. ‘Ilm Usul al-Fiqh. Kuwait: Dar al-Qalam, 1978.
Salih, Muhammad Adib. Tafsir an-Nusus fi al-Fiqh al-Islami. Damascus: al-Maktab al-Islami, 1984.
asy-Syafi‘i, Muhammad bin Idris. ar-Risalah, ditahkik oleh Syekh Ahmad Syakir. Cairo: Matba‘ah Mustafa al-Bab al-Halabi, 1929.
al-Umari, Nadiyah Syarif. al-Ijtihad fi al-Islam. Beirut: Mu’assasah ar-Risalah, 1981.
Nasrun Haroen
Tambahan Redaksi
Usul Fikih Setelah Era Imam Syafi‘i dan Al-Ghazali
Periode setelah Imam Syafi‘i dan Imam al-Ghazali menandai fase pendalaman dan perluasan analitis dalam studi usul fikih. Jika Syafi‘i meletakkan fondasi konseptual dan al-Ghazali menyempurnakan struktur ilmiahnya, para ulama sesudahnya fokus mengembangkan aspek logika, epistemologi, dan maqashid asy-syariah (tujuan hukum). Pada fase ini, usul fikih bertransformasi dari disiplin normatif menjadi cabang keilmuan yang reflektif, kritis, dan responsif terhadap realitas sosial.
Banyak tokoh setelah era Imam Syafi’i dan Imam Gazali telah merumuskan kaidah usul fikih yang sesuai tuntutan zaman. Mereka berupaya melengkapi kerangka usul fikih yang telah disusun oleh ulama sebelumnya.
Imam Fakhruddin al-Razi (w. 1209 M)
Fakhruddin al-Razi dikenal sebagai pemikir multidisipliner: ahli tafsir, teologi, filsafat, dan logika. Karyanya al-Mahsul fi ‘Ilm Usul al-Fiqh menjadi tonggak penting dalam memperluas pendekatan rasional dalam hukum Islam. Ia menyempurnakan al-Mustasfa karya al-Ghazali dengan mengintegrasikan metode teologis (mutakallimīn) dan pendekatan filosofis, menambahkan dimensi epistemologis baru dalam memahami sumber dan dalil hukum. Dengan al-Razi, usul fikih semakin matang secara metodologis dan logis.
Imam Saifuddin al-Amidi (w. 1234 M)
Melalui karya monumental al-Ihkam fi Usul al-Ahkam, al-Amidi memperkuat sintesis antara dua arus besar dalam usul fikih: aliran teoretis (mutakallimīn) dan mazhabi (fuqaha). Ia menampilkan pendekatan analitis yang tajam, menyatukan rasionalitas dan realitas hukum dalam satu sistem metodologi yang komprehensif. Pemikirannya menjadi penghubung penting antara tradisi rasional-filosofis dan tradisi praktis-mazhabi.
Imam Syihabuddin al-Qarafi (w. 1233 M)
Tokoh penting dari Mazhab Maliki ini dikenal melalui karya Tanqih al-Fusul dan al-Furuq. Al-Qarafi menjelaskan hubungan antara teori hukum (usuliyyah) dan praktiknya (furū‘iyyah), serta mempertegas perbedaan antar-kaidah fikih. Ia menata ulang sistem berpikir hukum dengan kerangka Maliki yang lebih aplikatif, menjembatani antara maqashid, maslahah, dan penerapan hukum di masyarakat.
Imam Taqiyuddin as-Subki (w. 1355 M) dan Tajuddin as-Subki (w. 1370 M)
Ayah dan anak dari Mazhab Syafi‘i ini menyusun sintesis besar atas seluruh tradisi usul sebelumnya. Tajuddin as-Subki melalui Jam‘ al-Jawami‘ berhasil merangkum dan memadukan pemikiran al-Razi, al-Amidi, dan al-Ghazali. Karya ini menjadi rujukan klasik yang hingga kini masih diajarkan di pesantren dan universitas Islam, menunjukkan kontinuitas keilmuan dari generasi ke generasi.
Imam Abu Ishaq asy-Syathibi (w. 1388 M)
Asy-Syathibi membawa pembaruan besar dalam usul fikih melalui konsep Maqashid asy-Syariah. Dalam al-Muwafaqat fi Usul asy-Syariah, ia menegaskan bahwa seluruh hukum Islam bertujuan menjaga lima prinsip dasar kehidupan manusia: hifz ad-din (agama), an-nafs (jiwa), al-‘aql (akal), an-nasl (keturunan), dan al-mal (harta). Pemikirannya mengubah arah metodologi hukum dari tekstual-normatif menjadi fungsional dan kontekstual, membuka ruang bagi ijtihad baru berbasis kemaslahatan sosial.
Usul Fikih di Era Modern dan Kontemporer
Kebangkitan intelektual Islam modern dimulai sekitar tahun 1800 M. Ekspedisi Napoleon di Mesir (1798–1801) menjadi titik balik yang menyadarkan dunia Islam, terutama Turki dan Mesir, akan kemunduran umat dibanding kemajuan Barat. Kesadaran ini mendorong gerakan pembaruan (islah) dan membuka kembali pintu ijtihad secara luas.
Namun, realitas sosial-politik dan kemajuan ilmu pengetahuan modern membawa tantangan baru yang lebih kompleks. Para ulama kontemporer berupaya merekonstruksi metodologi hukum agar relevan dengan dinamika masyarakat modern. Banyak metode klasik dinilai kurang responsif terhadap problem kontemporer seperti HAM, demokrasi, gender, bioetika, dan globalisasi.
Yusuf al-Qaradawi menegaskan urgensi pembaruan usul fikih: tidak semua bagian ilmu ini bersifat qath‘i (pasti); banyak yang zhanni (perkiraan), sehingga terbuka untuk dikaji ulang. Muhammad Iqbal pun menekankan bahwa pembaruan usul fikih merupakan kerja intelektual penting agar hukum Islam mampu berevolusi sesuai kebutuhan zaman, sebagaimana pernah dilakukan oleh Umar bin Khattab.
Rekonstruksi Metodologi Usul Fikih
Rekonstruksi usul fikih modern menekankan integrasi antara sumber klasik dan realitas sosial kontemporer. Tujuannya adalah menciptakan hukum yang responsif, humanistik, dan kontekstual tanpa meninggalkan prinsip dasar syariah.
Hasan Turabi menekankan pentingnya menyatukan ilmu-ilmu naql (Al-Quran dan Sunnah) dan ilmu-ilmu rasional yang berkembang dinamis. Menurutnya, usul fikih telah kering dari realitas sosial; hukum Islam sering terjebak pada normatif semata dan melupakan dimensi sosial-kemanusiaannya. Turabi menyerukan penciptaan kaidah usul fikih baru yang sesuai tuntutan zaman.
Wael B. Hallaq menyoroti munculnya kelompok religious liberalism, yang berani menafsirkan prinsip-prinsip klasik dengan menekankan “jiwa teks” dibanding literalitasnya. Meski jumlahnya sedikit, kelompok ini berhasil menawarkan metodologi hukum Islam lebih humanistik dan kontekstual.
Beberapa pemikir kontemporer menonjol dalam rekonstruksi metodologi usul fikih, antara lain:
Fazlur Rahman
Karya utama Fazlur Rahman yang secara khusus membahas perkembangan metodologi hukum Islam adalah Islamic Methodology in History (Metodologi Islam dalam Sejarah). Dalam karya ini, Rahman menelusuri evolusi pemikiran hukum Islam dari masa klasik hingga modern, menekankan pentingnya konteks sosial, sejarah, dan intelektual dalam memahami teks-teks suci. Pendekatan ini menyoroti bahwa hukum Islam tidak bersifat statis, melainkan dinamis, sehingga memungkinkan interpretasi yang lebih kontekstual dan relevan dengan tantangan zaman modern.
Selain itu, melalui karya-karya lain seperti Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition (Islam dan Modernitas: Transformasi Tradisi Intelektual), Rahman memperkenalkan konsep yang dikenal sebagai “Teori Gerakan Ganda” (Double Movement). Teori ini menawarkan metode baru dalam menafsirkan Al-Quran dan Sunnah, yang pada dasarnya merupakan reformulasi dari prinsip-prinsip ushul fikih klasik. Pendekatan ini bertujuan untuk menjaga esensi tradisi hukum Islam sekaligus membuka ruang bagi pembaruan yang selaras dengan kebutuhan masyarakat kontemporer, menegaskan peran intelektual Muslim dalam menjembatani tradisi dan modernitas.
Yusuf al-Qaradawi
Karya-karya utama Yusuf al-Qaradawi yang berkaitan dengan ushul fikih dan metodologi hukum mencakup Al-Fiqh al-Islami bayna al-Asalah wa al-Tajdid, yang menekankan keseimbangan antara orisinalitas prinsip Islam dan pembaruan hukum sesuai tuntutan zaman. Kemudian Al-Ijtihad al-Mu’ashir bayna al-Indibat wa al-Infitrat, yang membahas batasan dan metode ijtihad kontemporer. Selanjutnya Fi Fiqh al-Awlawiyyat, yang menekankan penentuan prioritas dalam hukum dan tindakan Islam. Melalui karya-karya ini, Al-Qaradawi tidak hanya mengajarkan prinsip ushul fikih, tetapi juga membangun kerangka ijtihad yang lebih kontekstual, progresif, dan relevan dengan tantangan umat Islam modern.
Dalam konsep ushul fikihnya, Al-Qaradawi membedakan tiga bentuk ijtihad. Pertama ijtihad Intiqā’i (selektif), yang memilih pendapat terkuat dari ulama terdahulu dengan memperhatikan relevansi sosial dan maqashid syariah. Kedua ijtihad Insyā’i (kreatif), yang menggali hukum baru bagi masalah yang belum dibahas ulama klasik. Ketiga ijtihad Gabungan (integratif), yang mengombinasikan kedua pendekatan untuk menghasilkan hukum aplikatif. Ia juga menekankan pentingnya ijtihad jama‘i (kolektif) untuk menghadapi kompleksitas masalah modern, menegaskan bahwa pembaruan hukum Islam harus bersifat dinamis, kolaboratif, dan tetap berakar pada prinsip-prinsip Al-Quran dan Sunnah.
Muhammad Shahrur
Karya utama Muhammad Shahrur yang memuat gagasan metodologis radikal dan dianggap sebagai fondasi bagi “ushul fikih baru” adalah Al-Kitāb wa al-Qurʾān: Qirāʾah Muʿāṣirah (Prinsip dan Dasar Hermeneutika Hukum Islam Kontemporer), serta Naḥwa Uṣūl Jadīdah li al-Fiqh al-Islāmī: Fiqh al-Marʾah (Menuju Ushul Fikih Baru untuk Fikih Perempuan), yang menerapkan metodologinya pada isu-isu gender. Dalam karya-karya ini, Shahrur memperkenalkan teori-teori baru seperti “Teori Batas” (Nazariyyat al-Hudud), yang membedakan batas minimum dan maksimum suatu hukum, memberi ruang fleksibilitas bagi ijtihad. Ia juga mengadopsi pendekatan linguistik dan saintifik—termasuk matematika dan fisika—dalam menafsirkan Al-Quran, sambil bersikap skeptis terhadap peran Sunnah sebagai sumber hukum independen.
Shahrur mengajukan rekonstruksi radikal terhadap epistemologi hukum Islam, menekankan tiga sumber pengetahuan hukum: akal, realitas, dan teks. Teori hudud yang dikembangkannya memandang syariat sebagai batas fleksibel dan kontekstual, bukan ketentuan kaku, sehingga hukum menjadi lebih demokratis dan humanistik. Dari gagasan modern ini terlihat bahwa ushul fikih kini dipahami sebagai disiplin hidup dan dinamis, yang berinteraksi dengan realitas sosial serta bersentuhan dengan ilmu sosial, filsafat, dan hukum positif modern, menjadikannya relevan dengan tantangan kontemporer.
Pemikir seperti Abdul Wahhab Khallaf, Muhammad Abu Zahrah, Mustafa az-Zarqa, Nadiyah Syarif al-‘Umari, dan Muhammad Adib Salih melanjutkan tradisi ini dengan karya yang menekankan konteks, kemaslahatan, dan rasionalitas hukum. Evolusi usul fikih menegaskan bahwa ijtihad adalah denyut nadi hukum Islam: bergerak dari fondasi tekstual menuju kesadaran rasional dan kontekstual, menyesuaikan hukum dengan kebutuhan zaman tanpa mengabaikan maqashid dan hudud yang telah digariskan.
Daftar Pustaka
Abdul Muthalib. (2019). Perkembangan Ilmu Usul Fikih Pasca Imam Mazhab hingga Abad Modern (Kajian terhadap Metode Ijtihad dan Penerapannya). Jurnal Hikmah, 16(2), Juli–Desember 2019. ISSN 1829-8419.
Husni, Muhammad, dkk. (2023). Perkembangan Usul Fikih di Dunia Kontemporer. Al-Syakhsiyyah: Journal of Law & Family Studies, 5(1), Juni 2023.
Al-Qaradawi, Yusuf. (2000). Fiqh al-Zakat: Theory and Practice. Cairo: Dar Al-Taqwa.
Kamali, Mohammad Hashim. (2008). Principles of Islamic Jurisprudence. Cambridge: Islamic Texts Society.
Rahman, Fazlur. (1982). Islam and Modernity: Transformation of Thought in the Muslim World. Chicago: University of Chicago Press.
Sya’bani, Abu. (2015). Metodologi Ijtihad dalam Perspektif Kontemporer. Jakarta: Pustaka Ilmu.

