Usmani, Kerajaan

(Ottoman)

Usmani adalah sebuah kerajaan Islam yang berpusat di Turki (1300–1922 M) dan merupakan satu di antara tiga kerajaan Islam yang besar pada Abad Pertengahan, selain Kerajaan Safawi di Persia (Iran) dan Kerajaan Mughal di India. Dalam sejarah Islam, periode itu disebut juga Masa Tiga Kerajaan Besar.

Kerajaan Usmani didirikan oleh Usman, putra Artogrol. Artogrol adalah kepala suku Kayi di Asia Kecil yang datang ke Turki dan mendapat kepercayaan dari penguasa Salajikah, Alauddin Kaikobad, untuk menjadi panglima perangnya.

Jabatan itu kemudian beralih kepada Usman setelah ia wafat. Sepeninggal Sultan Alauddin Kaikobad pada 1300, Usman mengambil alih kekuasaan dan sejak itu berdirilah Kerajaan Usmani yang berlangsung selama kurang lebih tujuh abad. Sejak berdiri sampai runtuhnya, Kerajaan Usmani dipimpin oleh 36 sultan.

Usman sebagai sultan pertama lebih banyak mencurahkan perhatiannya kepada usaha-usaha untuk memantapkan kekuasaannya dan melindungi wilayahnya dari segala macam serangan, khususnya dari Bizantium yang memang mengancam hendak menyerang.

Kemudian Orkhan, putra Usman, membentuk pasukan tangguh yang disebut Inkisyariah (Janissary) untuk membentengi kekuasaannya. Pada masa Orkhan dimulai upaya perluasan wilayah. Berturut-turut pasukan Inkisyariah (Janissary) dapat menaklukkan Broissa (Turki), Izmir (Asia Kecil), dan Ankara.

Ekspansi yang lebih besar terjadi pada masa Murad I. Di masa ini berhasil ditaklukkan Balkan, Andrianopel (sekarang bernama Edirne, Turki), Macedonia, Sofia (Bulgaria), dan seluruh wilayah Yunani. Melihat kemenangan yang diraih Murad I, kerajaan-kerajaan Kristen di Balkan dan Eropa Timur menjadi murka.

Mereka lalu menyusun kekuatan yang terdiri atas Bulgaria, Serbia, Transsylvania (Rumania), Hongaria, dan Walacia (Rumania), untuk menggempur Kerajaan Usmani. Meskipun Murad I tewas dalam pertempuran, kemenangan tetap di pihak Kerajaan Usmani. Ekspansi berikutnya dilanjutkan oleh putranya, Bayazid I.

Pada 1391, pasukan Bayazid I dapat merebut benteng Philadelphia dan Gramania atau Kirman (Iran). Dengan demikian Kerajaan Usmani secara bertahap tumbuh menjadi suatu kerajaan besar.

Kesuksesan Bayazid I kembali menimbulkan kegelisahan di daratan Eropa yang mengakibatkan Paus menyeru umat Kristen Eropa supaya mengangkat senjata. Dengan dipimpin oleh raja Hongaria Sijismond, mereka bergabung dengan tentara Perancis dan Jerman. Maka terjadilah pertempuran di Nicopolis (25 September 1396). Kerajaan Usmani berhasil memenangkan peperangan tersebut, sedangkan Eropa menerima kekalahan yang terparah.

Pada 1402, Kerajaan Usmani di bawah pemerintahan Bayazid I digempur oleh pasukan Timur Lenk (penguasa Mongol) yang jumlahnya tidak kurang dari 800.000 orang, sementara jumlah pasukan Bayazid hanya 120.000 orang. Dalam pertempuran itu Bayazid I tewas, berikut sejumlah besar pasukannya. Akibat kekalahan itu, wilayah Usmani hampir seluruhnya jatuh ke tangan Timur Lenk.

Di samping itu, kekalahan tersebut menyebabkan terjadinya perpecahan di antara putra-putra Bayazid I, yaitu Muhammad I atau Muhammad Celebi, Isa, Sulaiman, dan Musa. Pada masa berikutnya, Muhammad I berhasil membangun kekuatan, sehingga dapat menundukkan saudara-saudaranya. Usahanya diarahkan pada konsolidasi pemerintahan dan mengembalikan kekuasaan yang hilang selama pendudukan Timur Lenk. Pada 1421 Muhammad Celebi meninggal dunia dan digantikan oleh Murad II.

Kerajaan Usmani bangkit kembali pada masa pemerintahan Murad II. Di masanya ekspansi kembali dilanjutkan. Berturut-turut ia dapat menundukkan wilayah Venesia, Salonika, dan Hongaria. Usaha Murad II diteruskan oleh putranya, Muhammad II. Ia dikenal dengan gelar al-Fatih (Sang Penakluk) karena pada masanya berlangsung ekspansi kekuasaan Islam secara besarbesaran. Kota penting yang berhasil ditaklukkan di masanya adalah Constantinopel (1453).

Dengan demikian sempurnalah penaklukan Islam atas Kerajaan Romawi Timur yang dimulai sejak zaman Umar bin Khattab. Constantinopel dijadikan ibukota kerajaan dan namanya diubah menjadi Istanbul (Takhta Islam). Kejatuhan Constantinopel memudahkan tentara Usmani menaklukkan wilayah lainnya, seperti Serbia, Albania, dan Hongaria.

Tiga hal penting dapat diambil dari kejatuhan Constantinopel.

(1) Bagi umat Islam, terpenuhinya tugas historis dalam pengembangan wilayah Islam ke Persia dan Romawi Timur.

(2) Berakhirnya Abad Pertengahan yang gelap dan mulainya zaman kesadaran bagi bangsa Barat, selain masuknya ilmu pengetahuan. Kekalahan tersebut membangunkan bangsa Barat dari tidur yang panjang untuk mengejar ketertinggalan selama ini, yang pada akhirnya melahirkan pola pikir yang baru. Mereka melepaskan diri dari kungkungan gereja dan muncullah supremasi Barat dalam bidang ilmu pengetahuan.

(3) Dengan dikuasainya Constantinopel oleh Islam, yang selama ini merupakan gerbang Eropa dan jalur perdagangan Timur dan Barat, nasib Barat tergantung sepenuhnya pada Kerajaan Usmani.

Seusai penaklukan Constantinopel yang bersejarah itu, Sultan Muhammad al-Fatih kembali ke kota Andrianopel, ibu-kota Kerajaan Usmani sebelum Constantinopel ditaklukkan, dan kemudian memerintahkan agar membangun kembali kota Constantinopel yang porak-poranda akibat gempuran tentara Islam.

Meskipun kota ini telah ditaklukkan, Sultan Muhammad al-Fatih tetap memberi kebebasan beragama kepada penduduknya sebagaimana yang dilakukan pada masa penguasa Islam sebelumnya apabila mereka menduduki suatu wilayah. Bahkan, dalam tulisan Voltaire (filsuf Perancis) disebutkan bahwa Sultan Muhammad al-Fatih membiarkan orang Kristen menentukan sendiri ketuanya. Setelah itu, ketua yang terpilih dilantik oleh Sultan.

Zaman Keemasan.

Zaman keemasan Dinasti Turki Usmani terjadi pada masa Sultan Sulaiman I (The Great, The Magnificent, al-Qanuni). Ia digelari al-Qanuni (Pembuat Undang-Undang) karena keberhasilannya membuat undang-undang yang mengatur masyarakat.

Meskipun demikian, proses menuju zaman keemasan sudah dimulai sejak seabad sebelumnya dengan ditakluk kannya wilayah-wilayah di daratan Eropa, termasuk jatuhnya Constantinopel. Turki Usmani juga melebarkan sayapnya ke Afrika Utara menaklukkan Mesir pada masa Sultan Salim I tahun 1517.

Penaklukan-penaklukan selanjutnya dilakukan Sultan Sulaiman I, baik di daratan Eropa maupun di Asia dan Afrika Utara. Pada masanya wilayah Usmani meliputi Aljazair, Mesir, Hijaz, Armenia, Irak, Asia Kecil, Balkan, Bulgaria, Bosnia, Yunani, Hongaria, Rumania, dan tiga laut, yaitu Laut Merah, Laut Tengah, dan Laut Hitam.

Karena keluasan wilayahnya, Kerajaan Usmani menjadi adikuasa atau super power yang tidak ada tandingannya di dunia. Eropa saat itu sedang lemah dan Amerika belum muncul, sedangkan dunia Islam di Timur yaitu Kerajaan Safawi di Persia dan Mughal di India tidak sebesar dan sekuat Usmani.

Ada lima faktor yang menyebabkan kesuksesan Kerajaan Usmani dalam perluasan wilayah Islam.

(1) Kemampuan orang Turki dalam strategi perang terkombinasi dengan cita-cita memperoleh ganimah (harta rampasan perang).
(2) Sifat dan karakter orang Turki yang selalu ingin maju dan tidak pernah diam serta gaya hidupnya yang sederhana, sehingga mudah digerakkan untuk tujuan penyerangan.
(3) Semangat jihad dan ingin mengembangkan Islam.
(4) Letak Istanbul yang sangat strategis sebagai ibukota kerajaan juga sangat menunjang kesuksesan perluasan wilayah ke Eropa dan Asia. Istanbul terletak di antara dua benua dan dua laut, dan pernah menjadi pusat kebudayaan dunia, baik kebudayaan Macedonia, kebudayaan Yunani maupun kebudayaan Romawi Timur.
(5) Kondisi kerajaan di sekitarnya yang kacau memudahkan Kerajaan Usmani mengalahkannya.

Zaman Kemunduran.

Kerajaan Usmani mulai melemah setelah wafatnya Sulaiman al-Qanuni. Sultan-sultan yang menggantikannya umumnya lemah dan tidak berwibawa. Penyebab lainnya adalah kehidupan mewah dan berlebih-lebihan di kalangan pembesar istana, sehingga banyak terjadi penyimpangan dalam keuangan negara.

Pada saat situasi dalam negeri semakin memburuk, negara-negara Eropa melancarkan serangan ke wilayah-wilayah yang dikuasai Kerajaan Usmani. Misalnya, pada masa Sultan Salim II, Kerajaan Usmani menderita kekalahan dari tentara sekutu Kristen Eropa dalam Perang Liponto.

Lalu ketika pemerintahan dipegang oleh Sultan Ahmad I, tentara Austria melakukan penyerangan yang berlangsung selama lima belas tahun. Akhirnya, Austria dapat mengalahkan tentara Kerajaan Usmani.

Kekalahan ini memberi pukulan hebat bagi Kerajaan Usmani dan membuat cahaya kebesaran Turki memudar di mata bangsa-bangsa Eropa. Akibatnya, upeti yang biasa dikirimkan oleh wilayah­wilayah yang berada di bawah kekuasaan Turki di Eropa tidak lagi diberikan. Hal ini mengakibatkan perekonomian Kerajaan Usmani melemah.

Pada masa pemerintahan Sultan Ibrahim (1640–1648), suasana dalam negeri Kerajaan Usmani menjadi semakin kacau. Para wanita (ibu suri dan permaisuri) turut campur dalam mengendalikan roda pemerintahan.

Ibrahim adalah seorang sultan yang sangat lemah, sehingga ia hanya dijadikan boneka oleh wazirnya (perdana menteri) yang bernama Mustafa. Pada hakikatnya Mustafalah yang memegang tampuk kekuasaan.

Akan tetapi, kepemimpinan Mustafa tidak mampu menenteramkan suasana, bahkan mengundang banyak permusuhan di kalangan pembesar istana. Permaisuri Ibrahim yang berkomplot dengan para pejabat yang terdiri atas keluarganya mampu menggulingkan Mustafa. Kerusuhan pun timbul di mana-mana. Kelompok Janissary (pasukan elite kerajaan) mengambil alih kekuasaan dan menurunkan Sultan Ibrahim. Sebagai gantinya diangkat Muhammad IV (l. 1642) yang ketika itu baru berusia tujuh tahun.

Untuk memulihkan keamanan dalam negeri, ibu Sultan Muhammad IV mengangkat Koprulu, seorang panglima Turki yang berpengalaman, menjadi wazir. Koprulu tidak hanya berhasil mengurus masalah dalam negeri dengan baik, tetapi juga dapat merebut kembali Pulau Lemnos dan Pulau Tonedos dari Venesia.

Dalam pada itu, wilayah Turki yang begitu luas justru menjadi beban bagi pemerintah Usmani karena tidak seluruh wilayah dapat dikontrol dengan baik. Selain itu penduduk dari wilayah yang luas itu pun terdiri dari bermacam­macam bangsa yang mempunyai adat istiadatnya masing-masing.

Di antara bangsa-bangsa yang berbeda itu sering terjadi konflik, terutama antara bangsa Arab dan bangsa Turki. Masing-masing menganggap derajatnya lebih tinggi dan lebih mulia daripada yang lainnya. Hal-hal seperti itu merupakan salah satu faktor yang melemahkan kekuasaan Usmani, yang pada akhirnya membuat Usmani mengalami kekalahan dalam peperangan melawan orang Eropa.

Selain kalah perang, Usmani juga terpaksa menandatangani perjanjian yang isinya justru memojokkan pihak Usmani. Di antara perjanjian itu adalah sebagai berikut.

(1) Perjanjian Karlowitz yang terjadi 1699 di masa pemerintahan Sultan Mustafa II. Isi penting dari perjanjian itu adalah pihak Usmani harus menyerahkan seluruh Hongaria, sebagian besar Slovenia, dan Kroasia kepada Habsburg (nama dinasti raja-raja Eropa) serta daerah-daerah Dalmatia kepada Venesia.

(2) Perjanjian Passarowitz yang ditandatangani 1718, antara Usmani (Sultan Ahmad III) dan Austria dengan Venesia. Isinya ialah Kerajaan Usmani menyerahkan semua daerah yang dikuasai Austria, sementara Usmani hanya dibenarkan menduduki pulau-pulau yang direbut dari Venesia.

(3) Perjanjian Kainarji pada tahun 1774, antara Usmani (Sultan Abdul Hamid I) dan Rusia. Perjanjian ini menyebutkan bahwa Rusia berhak atas daerah Azov (laut dangkal yang merupakan bagian dari Laut Hitam), kemerdekaan Tartar Crimea diakui, dan kapal-kapal Rusia diizinkan melintasi Laut Hitam.

(4) Perjanjian Sistova 1791, antara Kerajaan Usmani (Sultan Salim III) dan Austria. Isinya antara lain mengembalikan batas kedua kerajaan itu kepada keadaan sebelum perang 1787.

(5) Perjanjian Jassy 1792, antara Usmani (Sultan Salim III) dan Rusia. Isinya adalah Usmani menyerahkan Crimea (kota dekat Laut Hitam) kepada Rusia.

Keadaan ini semakin parah tatkala Napoleon I, jenderal dan kaisar Perancis, menguasai Mesir pada 1798. Sejak itu, Usmani dijuluki The Sick Man of Europe (Orang Sakit dari Eropa) karena kondisi pemerintahannya dari hari ke hari semakin melemah.

Dulu penguasa Usmani dapat mengalahkan tentara Eropa, tetapi kini mereka membiarkan wilayahnya dirampas orang Eropa. Perancis merebut Aljazair (1830) dan Tunisia (1881). Italia menduduki wilayah Usmani di Afrika utara (1911). Inggris menguasai Mesir (1882) dan Irak (1917). Kesempatan ini digunakan oleh wilayah lain untuk melepaskan diri dari kekuasaan Usmani, misalnya Rumania, Yunani, Bulgaria, Cyprus, Albania, dan Macedonia.

Pada 1876 Sultan Abdul Hamid II naik takhta. Pemerin tahannya bersifat absolut dan penuh kekerasan. Karena itu, timbul rasa tidak senang, baik di kalangan sipil maupun di kalangan militer.

Gerakan-gerakan oposisi terhadap pemerintah absolut Sultan Abdul Hamid II inilah yang kemudian dikenal dengan nama Gerakan­ Turki Muda, dengan para pelopornya antara lain Ahmad Riza (1859–1931), Muhammad Murad (1853–1912), dan Pangeran Sahabuddin (1877–1948).

Sementara itu, kelompok militer semakin memperketat usaha mereka untuk menggulingkan Sultan dengan membentuk komite-komite rahasia, seperti Komite Perkumpulan Persatuan dan Kemajuan. Salah seorang pemimpin komite itu adalah Mustafa Kemal yang kemudian populer dengan panggilan Kemal Ataturk (Bapak Bangsa Turki).

Pada 1908 Perkumpulan Persatuan dan Kemajuan dapat mendesak Sultan Abdul Hamid II untuk menghidupkan kembali Konstitusi 1876. Akibat desakan itu, pemilihan umum diadakan dan terbentuklah Parlemen Baru yang diketuai olah Ahmad Riza dari Perkumpulan Persatuan dan Kemajuan. Di dalam parlemen baru itu, Turki Muda juga turut memegang kekuasaan.

Dalam perkembangan selanjutnya, Perkumpulan Persatuan dan Kemajuan menyeret Usmani ke dalam kancah Perang Dunia I dengan berpihak pada Jerman. Perang Dunia I berakhir dengan kekalahan pihak Jerman dan Turki.

Akibatnya, Kabinet Turki Muda mengundurkan diri dan para pemimpinnya melarikan diri ke Eropa. Perdana Menteri yang baru, Ahmad Izzet Pasya, mencari perdamaian dengan pihak Sekutu yang memenangkan peperangan. Sebagai pihak yang menang perang, tentara Sekutu masuk dan menduduki bagian-bagian tertentu kota Istanbul.

Sementara itu, Yunani dengan bantuan Inggris, Perancis, dan Amerika Serikat hendak merampas kembali wilayah-wilayahnya dari Turki. Kehadiran tentara Sekutu dan Yunani menimbulkan amarah dan semangat rakyat Turki untuk mempertahankan tanah air mereka. Dalam suasana serupa inilah tampil Mustafa Kemal yang dengan gagah berani berjuang menyelamatkan Kerajaan Usmani dari kehancuran total dan ekspansi Eropa.

Atas usaha Mustafa Kemal dapat dibentuk Majelis Agung pada 1920 dan ia terpilih sebagai ketuanya. Setahun kemudian disusun konstitusi baru yang menjelaskan bahwa kedaulatan adalah milik rakyat. Dari hari ke hari kedudukan Mustafa Kemal semakin kuat di mata rakyat.

Dalam kedudukannya sebagai panglima dari semua pasukan yang ada di Turki Selatan, Mustafa Kemal membentuk pemerintahan tandingan di Anatolia, sebagai imbangan terhadap kekuasaan Sultan Abdul Majid II di Istanbul. Hal ini dilakukannya karena ia melihat Sultan sudah berada di bawah kekuasaan Sekutu.

Akhirnya, pada 1922 Majelis Agung di bawah pimpinan Mustafa Kemal menghapuskan jabatan sultan. Ia kemudian memproklamasikan Republik Turki 29 Oktober 1923. Pada 1924 jabatan khalifah juga dihapuskan dan Abdul Madjid II, khalifah terakhir, diperintahkan meninggalkan Turki.

Di samping berperan dalam perluasan wilayah kekuasaan Islam, Kerajaan Usmani juga mempunyai peranan besar dalam bidang ilmu pengetahuan, pendidikan, kebudayaan, publikasi dan penerjemahan, agama, hukum, dan ekonomi perdagangan. Ilmu pengetahuan yang banyak berkembang adalah ilmu-ilmu terapan yang berhubungan dengan kemiliteran, seperti ilmu maritim, teknik pembuatan mesin, dan meriam.

Sebelum abad modern, lembaga pendidikan yang ada hanya madrasah. Sejak pemerintahan Sultan Mahmud II mulai didirikan sekolah-sekolah modern, di antaranya Makteb-i Ma’arif (Sekolah Pengetahuan Umum), Makteb-I Ulum-u Edebiye Tibbiye-i (Sekolah Sastra), di samping sekolah militer, sekolah teknik, dan sekolah kedokteran. Selain itu, Sultan Mahmud mendirikan Darul Ulum-u Hikemiye ve Mekteb-i Tibbiye-i Sahane yang merupakan gabungan dari sekolah kedokteran dan sekolah pembedahan.

Di sisi lain, ia memasukkan ilmu-ilmu umum pada sekolah-sekolah tradisional yang sudah ada. Sumbangan lain yang menonjol dari Usmani dalam bidang pendidikan adalah usaha mengirim para siswa belajar ke Eropa. Sekembalinya, mereka memberikan sumbangan yang sangat besar bagi perkembangan Islam di daerahnya. Para pemikir modern yang terkenal antara lain Zia Gokalp (1875–1924), Yusuf Akchura (1876–1933), Taufik Fikret (1867–1915), dan Abdullah Jewdat (1869–1932).

Pengembangan budaya Turki tampak lebih menonjol di bidang bahasa. Bahasa Turki digunakan dalam segala lapangan, termasuk istilah politik yang diterapkan dalam hampir seluruh wilayah kekuasaannya.

Dalam arsitektur, Turki mempunyai corak khusus dalam desain bangunan, seperti kubah separuh lingkaran di masjid. Ketinggian nilai arsitektur Turki dapat diamati dalam keindahan Masjid Sulaiman di Istanbul (didirikan 1550) dan Masjid Salim di Adrianopel (didirikan 1570). Seni lukis dengan cat khusus sudah pula dikenal sejak abad ke-15 yang ditemukan dalam Book of King Solomon (ditulis sekitar 1500).

Peranan Kerajaan Usmani dalam bidang publikasi dan penerjemahan terlihat ketika Sultan Ahmad III mendirikan biro penerjemahan (1717) yang beranggotakan 25 orang dan percetakan (1727). Di samping itu, Ibrahim Mutafarrik, seorang Hongaria yang tertangkap dan menetap di Istanbul, mencetak antara lain buku-buku kedokteran, astronomi, ilmu pasti, dan sejarah.

Ia juga menerjemahkan buku-buku Barat ke dalam bahasa Turki untuk memperkenalkan ilmu pengetahuan modern dan kemajuan Barat. Pada masa pemerintahan Sultan Mahmud II didirikan biro penerjemahan yang berperan menerbitkan buku-buku tentang ilmu-ilmu modern ke dalam bahasa Turki. Pada 1831 Sultan Mahmud menerbitkan surat kabar Takvim-i Vekayi yang dinilai paling besar pengaruhnya dalam memperkenalkan ide-ide modern pada rakyat Turki.

Di bidang agama, syariat Islam menjadi satu-satunya sumber hukum Islam dalam Kerajaan Usmani, dengan Mazhab Hanafi sebagai mazhab negara. Dalam bidang tasawuf, ajaran Tarekat Bektasyi berkembang pesat.

Tarekat ini diajarkan oleh Bektasyi Veli yang berasal dari Khurasan dan menjadi terkenal di Anatolia (Asia Kecil) pada 1281. Ia termasuk salah satu dari sejumlah tokoh tasawuf yang hijrah ke wilayah-wilayah kekuasaan Usmani ketika Jengiz Khan menyerbu Asia Tengah. Tarekat Bektasyi yang muncul sebelum masa Usmani sangat berpengaruh di kalangan pemuka agama, bahkan bagi pasukan Janissary dan para sultan. Tarekat ini terus berkembang sampai saat ini.

Dalam bidang hukum, Usmani mempunyai peranan besar dalam sejarah perkembangan Islam, yang terlihat dalam dua hal.

(1) Sultan Mahmud II membentuk lembaga hukum sekuler yang mengurus masalah-masalah hukum sekuler. Adapun masalah-masalah hukum syariat diurus oleh Syaikhul Islam. Sultan Mahmud adalah orang pertama yang membedakan urusan agama dan urusan dunia.

(2) Pada masa pemerintahan Sulaiman Yang Agung, Usmani berhasil membuat kitab Qanun ‘Utamani yang berisi perundang­undangan pemerintahan, himpunan peraturan, dan praktek-praktek hukum lainnya. Pada masa ini pula disusun kitab undang-undang Multaqa al-Abhur yang menjadi dasar hukum Usmani sampai abad ke-19. Qanun ‘Utsmani memiliki arti historis yang sangat penting karena merupakan undang-undang negara pertama di dunia.

Adapun peran ekonomi perdagangan yang dilakukan Usmani adalah penguasaannya terhadap beberapa kota pelabuhan utama, seperti pelabuhan­pelabuhan sepanjang Laut Tengah, Laut Merah, dan Teluk Persia, pelabuhan di Suriah (pantai Libanon sekarang), Pulau Cyprus, Pulau Rhodos, dan di pelabuhan pantai Asia Kecil, Laut Aegea, Selat Dardanella, Laut Marmora, dan Laut Hitam.

Yang paling strategis pada waktu itu adalah pelabuhan internasional Constantinopel yang menjadi penghubung Timur-Barat. Dengan demikian, Usmani menjadi penyelenggara perdagangan dan pemungut pajak (cukai) pelabuhan yang menjadi sumber keuangan yang besar bagi negerinya. Selain itu, sumber keuangan Usmani yang sangat besar berasal dari harta rampasan perang, upeti negara-negara yang ditaklukkannya, dan dari kaum zimi.

Daftar Pustaka

Bosworth, C.E. Dinasti-Dinasti Islam, terj. Ilyas Hasan. Bandung: Mizan, 1993.
Brockelmann, Carl. History of the Islamic People. London: Routledge and Kegan Paul Limited, 1848.
Edward S, Creasy. History of the Ottoman Turks. Beirut: Zeine, 1961.
Hilmi, Ahmad Kamal ad-Din. as-Salajikah. Beirut: Dar al-Buhus al-Ilmiyah, 1975.
Nasution, Harun. Pembaharuan Dalam Islam Sejarah Pemikiran dan Gerakan. Jakarta: Bulan Bintang, 1963.
Shaw, Stanford J. History of the Ottoman Empire and Modern Turkey. Vol. I & II. Cambridge: Cambridge University Press, 1991.
Syalabi, Ahmad. Sejarah dan Kebudayaan Islam: Imperium Turki Utsmani. Jakarta: Kalam Mulia, 1988.
Zain, Zein N. Arab Turkish Relation and Emergence of Arab Nationalism. Beirut: Edisi Khayet’s, 1958.

Musdah Mulia