Undang-Undang Peradilan Agama

UUPA

Undang-undang Peradilan Agama mengatur kedudukan serta kekuasaan peradilan agama dan menyelesaikan perkara perdata tertentu bagi umat Islam di Indonesia. UUPA lahir pada 29 Desember 1989, diundangkan dalam Lembaran Negara RI No. 49/1989, dan dinamai Undang-Undang No. 7/1989 tentang Peradilan Agama.

Sejarah Peradilan Agama.

Peradilan agama telah muncul di wilayah Nusantara jauh sebelum masuknya penjajah Belanda. Di setiap kesultanan telah ada pengadilan khusus yang menangani masalah keperdataan umat Islam.

Di Kesultanan Mataram, misalnya, dikenal penghulu atau kepala administrasi masjid daerah yang menangani urusan keluarga serta warisan sejak abad ke-16. Ketika itu, pengadilan dilaksanakan di serambi masjid dan keputusannya didasarkan pada pendapat Mazhab Syafi‘i.

Melalui dekrit Kerajaan Belanda, pada 1835 pemerintah kolonial secara formal mengakui kekuasaan penghulu untuk memutuskan segala perkara perkawinan dan warisan dalam masyarakat Jawa serta semua yang berkaitan dengan itu.

Pada 1870 dikeluarkan ketentuan yang menandaskan bahwa pengadilan sipil tidak mempunyai wewenang untuk mempermasalahkan peradilan agama dan hanya dapat meninjau apakah keputusannya dilaksanakan dengan benar atau tidak.

Ketentuan ini juga menyebutkan bahwa kalau pengadilan agama tidak ada, maka “tiga orang ulama” dapat membentuk pengadilan agama dan berhak memutuskan perkara.

Pada 1882 pemerintah mengeluarkan dekrit kerajaan yang secara formal menetapkan pengadilan agama harus didirikan di tiap daerah yang telah memiliki pengadilan negeri dan wilayah yurisdiksi pengadilan agama harus pula bersinggungan dengan wilayah pengadilan pemerintah.

Pada 1931 pemerintah kembali mengeluarkan dekrit yang tujuannya memperbaiki kualitas pengadilan agama. Pada 1937, melalui Lembaran Negara Nomor 116 Tahun 1937, pemerintah memberikan wewenang kepada pengadilan agama untuk menangani masalah warisan.

Seluruh peraturan tentang pengadilan agama produk Hindia Belanda tersebut hanya berlaku untuk daerah Jawa dan Madura. Adapun pengaturan pengadilan agama di luar Jawa dan Madura baru muncul pada 1957 dengan keluarnya Peraturan Pemerintah Indonesia Nomor 45 Tahun 1957, yang mengatur Pengadilan Agama/Mahkamah Syariah di luar Jawa dan Madura, yang diundangkan dalam Lembaran Negara RI Nomor 99 Tahun 1957.

Peraturan ini memberikan yurisdiksi lebih besar kepada pengadilan agama di luar Jawa dan Madura. Selain masalah perkawinan, pengadilan agama di luar Jawa dan Madura juga diberi wewenang menangani masalah waris, hadanah (pemeliharaan anak), wakaf, sedekah, dan baitulmal.

Pada 1970 pemerintah mempertegas keberadaan pengadilan agama dengan mengeluarkan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970. Dalam UU ini ditetapkan empat jenis pengadilan di Indonesia, yaitu pengadilan umum, pengadilan agama, pengadilan militer, dan pengadilan tata usaha negara. Semua pengadilan ini menduduki posisi yang sama secara hukum dan berinduk ke Mahkamah Agung sebagai lembaga tertinggi dari seluruh pengadilan.

Dengan adanya UU Nomor 14 Tahun 1970 ini, kekuatan pengadilan agama sama dengan pengadilan lainnya yang ada di wilayah yurisdiksi Indonesia. Akan tetapi, dalam kenyataan, semua putusan pengadilan agama masih memerlukan pengakuan dan pengesahan dari pengadilan negeri, bahkan pengadilan negeri dapat meninjau keputusan pengadilan agama.

Hal ini menunjukkan bahwa kedudukan pengadilan agama praktis berada di bawah pengadilan negeri. Sekalipun dikeluarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang juga mengatur yurisdiksi pengadilan agama, seluruh putusan pengadilan agama tetap harus mendapatkan pengukuhan eksekusi (Belanda: executoir verklaaring) dari pengadilan negeri.

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 itu sendiri, dalam pasal 63 ayat 2, menegaskan: “Setiap keputusan Pengadilan Agama dikukuhkan oleh Pengadilan Umum.” Hal itu dipertegas lagi oleh pasal 36 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975.

Pada 1989, setelah melalui perdebatan yang panjang di Dewan Perwakilan Rakyat dan di berbagai media massa, lahirlah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, yang diundangkan dalam Lembaran Negara RI Nomor 49 Tahun 1989.

Perdebatan muncul karena adanya sementara pihak yang menganggap bahwa kehadiran UUPA ini merupakan penjelmaan kembali tujuh kata yang terkandung dalam Piagam Jakarta yang menyatakan, “…dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.”

Menurut pihak yang menolak kehadiran UUPA ini, persoalan Piagam Jakarta sebenarnya telah selesai, tetapi kehadiran UUPA tersebut mengesankan kandungan Piagam Jakarta yang telah dicoret itu dimunculkan kembali dan tidak sesuai dengan konsep Wawasan Nusantara yang telah merupakan consensus nasional. Bahkan ada yang menyatakan UUPA itu tidak sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945.

Penolakan terhadap UUPA, menurut Mohammad Daud Ali (guru besar hukum Islam Universitas Indonesia), dilakukan oleh pihak yang kontra dari sisi politisnya, bukan dari segi materinya, sehingga perdebatan lebih menjurus kepada masalah politik.

Di antara pihak yang menolak UU ini ketika Rancangan Undang-Undang Peradilan Agama (RUUPA) diajukan ke Dewan Perwakilan Rakyat adalah Fraksi PDI dan R. Soeprapto, salah seorang wakil ketua MPR/DPR ketika itu.

Sementara itu Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI), pada Persidangan Tahunan Majelis Pekerja Lengkap yang berlangsung 23–29 April 1989, mempertanyakan hubungan UUPA dengan Pancasila, UUD 1945, dan konsep Wawasan Nusantara.

PGI juga menganggap nama UUPA tidak tepat karena UU itu sendiri tidak mencakup semua agama yang diakui di Indonesia. Tanggapan senada muncul dari Parishada Hindu Dharma Indonesia Pusat, yang meminta pemerintah membuat undang-undang peradilan agama untuk mereka sendiri.

Dari pihak Buddha muncul pernyataan bahwa penggunaan kata “agama” dalam UUPA membuat umat Buddha tertekan karena UUPA menimbulkan kesan juga berlaku bagi mereka, padahal UUPA hanya berlaku untuk umat Islam.

Konferensi Waligereja Indonesia mengeluarkan pernyataan bahwa masalah hukum dan peradilan agama bukan urusan pemerintah, melainkan urusan agama itu sendiri.

Pihak yang menerima secara bulat UUPA ini di DPR adalah Fraksi ABRI, Karya Pembangunan, dan Persatuan Pembangunan. Di luar itu, UUPA diterima dengan baik oleh Majelis Ulama Indonesia, Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, dan kalangan Islam lainnya.

Menurut mereka, kehadiran peradilan agama di Indonesia bukanlah hal yang baru, karena telah ada sejak zaman penjajahan Belanda. UUPA itu sendiri dianggap tidak bertentangan dengan Pancasila, UUD 1945, dan konsep Wawasan Nusantara; malah sebaliknya, UUPA merupakan pengejawantahan sila pertama dari Pancasila dan UUD 1945 pasal 29 ayat 1 yang menyatakan: “Negara berketuhanan Yang Maha Esa.”

Tujuan UUPA.

Beberapa tujuan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 antara lain sebagai berikut.

1) Mempertegas kedudukan dan kekuasaan peradilan agama sebagai kekuasaan kehakiman (judicial power) dalam negara Republik Indonesia. Tujuan ini dapat dilihat pada konsiderans huruf c dan e pada pasal 2 dan 3 ayat 2 UU tersebut.
2) Menciptakan kesatuan hukum peradilan agama. Tujuan ini tersurat dalam konsiderans huruf d yang isinya, “…perlu segera diakhiri demi terciptanya kesatuan hukum yang mengatur Peradilan Agama dalam rangka sistem dan tata hukum nasional berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.” Rumusan ini didahului oleh uraian yang menggambar kan keanekaragaman peraturan yang mengatur keberadaan lingkungan peradilan agama.
3) Memurnikan dan menyempurnakan fungsi dan susunan organisasi peradilan agama agar dapat mencapai tingkat sebagai kekuasaan kehakiman yang sebenarnya.

Isi UUPA.

UU itu mengatur kedudukan dan kekuasaan pengadilan agama di Indonesia, melengkapi Undang-Undang Mahkamah Agung No. 14 Tahun 1985, Undang-Undang Peradilan Umum Nomor 2 Tahun 1986, dan Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara Nomor 5 Tahun 1986.

UU Nomor 7 Tahun 1989 ini terdiri dari tujuh bab yang memuat 108 pasal. Bab I (ketentuan umum) terdiri dari 5 pasal dalam 4 bagian, yaitu bagian pertama tentang pengertian, bagian kedua tentang kedudukan, bagian ketiga tentang tempat kedudukan, dan bagian keempat tentang pembinaan. Bab II (susunan pengadilan) memuat 42 pasal yang terbagi dalam 3 bagian, yaitu bagian pertama tentang umum; bagian kedua tentang ketua, wakil ketua, hakim, panitera, dan juru sita; dan bagian ketiga tentang sekretaris.

Bab III (kekuasaan pengadilan) terdiri dari 5 pasal. Bab IV (hukum acara) memuat 38 pasal dalam tiga bagian, yaitu bagian pertama tentang umum, bagian kedua tentang pemeriksaan sengketa perkawinan, dan bagian ketiga tentang biaya perkara. Bab V (ketentuan-ketentuan lain) memuat 14 pasal. Bab VI (peraturan peralihan) memuat 1 pasal. Bab VII (ketentuan penutup) memuat 3 pasal.

Asas Umum Peradilan Agama.

Asas umum peradilan agama berdasarkan UU Nomor 7 Tahun 1989 di antaranya:

(1) Asas personalitas keislaman. Yang dimaksud adalah bahwa yang tunduk kepada peradilan agama hanyalah orang-orang yang memeluk agama Islam. Asas personalitas keislaman ini diatur dalam pasal 2, penjelasan umum angka 2 alinea ketiga, dan pasal 49 ayat 1. Pasal 2 menyebutkan, “Peradilan Agama merupakan salah satu kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara perdata tertentu…”

(2) Asas kemerdekaan dan kebebasan kehakiman. Asas ini merujuk kepada ketentuan yang diatur dalam pasal 24 UUD 1945 dan pasal 1 UU Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kehakiman, karena pada dasarnya UU Nomor 7 Tahun 1989 merupakan salah satu upaya “melaksanakan” UU Nomor 14 Tahun 1970. Pasal 1 UU No. 14 Tahun 1970 menyatakan,

“Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia.” Penegasan asas kemerdekaan dan kebebasan kehakiman dalam UU Nomor 7 Tahun 1989 dapat dilihat pada pasal 5, 12, dan 53.

(3) Asas wajib mendamaikan pihak-pihak yang berperkara, sejalan dengan tuntunan ajaran Islam melalui pendekatan islah (perdamaian). Asas ini terdapat dalam pasal 63 dan pasal 82.

(4) Asas sederhana, cepat, dan biaya ringan yang diatur dalam pasal 47 ayat 3.

(5) Asas persidangan terbuka untuk umum, yang tercantum dalam pasal 59, kecuali dalam masalah perceraian yang diatur dalam pasal 82 yang berbunyi, “Pemeriksaan gugatan perceraian dilakukan dalam sidang tertutup.”

(6) Asas legalistis, yaitu meletakkan dan mengadili pihak-pihak yang berperkara dalam kedudukan yang sama di mata hukum, tanpa membedakan yang satu dengan yang lain. Asas legalistis ini diatur dalam pasal 58 ayat 1 yang berbunyi, “Pengadilan mengadili menurut hukum tanpa membeda-bedakan orang.”

(7) Asas aktif memberi bantuan. Asas ini dirumuskan dalam pasal 58 ayat 2 yang berbunyi, “Pengadilan membantu para pencari keadilan dan berusaha sekeras-kerasnya mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk tercapainya peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan.”

Kedudukan Peradilan Agama.

Kekuasaan kehakiman dalam Republik Indonesia diatur dalam pasal 24 UUD 1945, yang menyebutkan, “Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan lain-lain badan kehakiman menurut undang-undang.”

Badan-badan kehakiman yang dikandung pasal ini dijabarkan dalam UU Nomor 14 Tahun 1970 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman. Pasal 10 UU Nomor 14 Tahun 1970 ini menyebutkan,

“Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh Pengadilan dalam lingkungan: a. Peradilan Umum, b. Peradilan Agama, c. Peradilan Militer, dan d. Peradilan Tata Usaha Negara.”

Berdasarkan pasal 10 UU No. 14 Tahun 1970 ini, peradilan agama mempunyai fungsi dan kedudukan yang sama dengan peradilan lainnya, serta memiliki kewenangan untuk memeriksa, mengadili, menyelesaikan, dan memutus perkara perdata bidang perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, wakaf, dan sedekah.

Kedudukan peradilan agama ditegaskan lagi dalam UU Nomor 7 Tahun 1989 pasal 2. Menurut UU ini, pembinaan peradilan agama dilakukan secara teknis oleh Mahkamah Agung dan secara administratif oleh Departemen Agama (pasal 5).

Kemudian pasal 6 mengatur susunan peradilan agama atas Pengadilan Agama, yang merupakan pengadilan tingkat pertama, dan Pengadilan Tinggi Agama, yang merupakan pengadilan tingkat banding atau disebut juga pengadilan tingkat terakhir.

Pengajuan kasasi dalam lingkungan peradilan agama, sebagai upaya hukum terakhir bagi pihak-pihak yang berperkara, diajukan ke Mahkamah Agung. Hal ini sejalan dengan bunyi pasal 10 ayat 3 UU Nomor 14 Tahun 1970 dan pasal 29 UU Nomor 14 Tahun 1985 yang mengatakan, “Mahkamah Agung memutuskan permohonan kasasi terhadap Pengadilan Tingkat Banding atau tingkat terakhir dari semua lingkungan peradilan.”

Ini sesuai pula dengan pasal 24 UUD 1945, yakni semua kekuasaan kehakiman berada di bawah naungan Mahkamah Agung. Dengan diundangkannya UU Nomor 7 Tahun 1989, pengadilan agama di Indonesia memiliki kedudukan dan kekuasaan yang sama dengan pengadilan-pengadilan lainnya.

Jika selama ini eksekusi keputusan pengadilan agama harus mendapatkan pengukuhan (judicial power) dari Pengadilan Negeri, dengan anggapan bahwa pelaksana eksekusi seperti polisi dan juru sita tidak dipunyai peradilan agama, berdasarkan

UU Nomor 7 Tahun 1989 hal tersebut telah diatur dan judicial power dari Pengadilan Negeri tidak diperlukan lagi. Dalam pasal 38–42 UU Nomor 7 Tahun 1989 telah diatur ketentuan mengenai juru sita dan juru sita pengganti yang diangkat oleh menteri Agama atas usul Pengadilan Tinggi Agama.

Dengan berlakunya UU Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, beberapa peraturan dinyatakan tidak berlaku lagi (pasal 107), yakni Peraturan tentang Peradilan Agama di Jawa dan Madura (Staatsblad Tahun 1882 Nomor 152 dan Staatsblad Tahun 1937 Nomor 116 dan Nomor 610), Peraturan tentang Kerapatan Qadi dan Kerapatan Qadi Besar untuk sebagian Residensi Kalimantan Selatan dan Timur (Staatsblad Tahun 1937 Nomor 638 dan Nomor 639), Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1957 tentang Pembentukan Pengadilan Agama/Mahkamah Syariah di luar Jawa dan Madura (Lembaran Negara Tahun 1957 Nomor 99), dan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 63 ayat 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara Nomor 1 Tahun 1974, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3019).

Pada 3 April 1990, Mahkamah Agung Republik Indonesia mengeluarkan Surat Edaran Nomor 2 Tahun 1990 tentang Petunjuk Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 kepada para ketua Pengadilan Tinggi, ketua Pengadilan Tinggi Agama, ketua Pengadilan Negeri, dan ketua Pengadilan Agama seluruh Indonesia untuk dapat melaksanakan UU tersebut sesuai dengan ketentuan UU dimaksud.

Perbedaan UUPA 1989 dengan UU Sebelumnya. Dilihat dari segi eksistensi UUPA 1989, jika dibandingkan dengan UU yang mengatur pengadilan agama sebelumnya, terlihat dengan jelas bahwa peradilan agama dalam UUPA 1989 sudah merupakan peradilan mandiri, sejajar, dan sederajat dengan peradilan umum, peradilan militer, dan peradilan tata usaha negara.

Dengan demikian, seluruh perangkat pendukung peradilan ini pun sama dengan perangkat peradilan lainnya. Jika dalam UU sebelumnya, termasuk dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, seluruh keputusan peradilan agama harus mendapatkan pengukuhan dari peradilan negeri (umum), dengan adanya UUPA ini, pengukuhan itu tidak diperlukan lagi karena kedudukannya telah sejajar dengan peradilan negeri.

Di samping itu, nama, susunan, wewenang (kekuasaan), dan hukum acara peradilan agama telah sama dan seragam di seluruh wilayah Nusantara. Dengan demikian terciptalah unifikasi hukum acara peradilan agama yang memudahkan terwujudnya ketertiban dan kepastian hukum yang berintikan keadilan di lingkungan peradilan agama.

Kemudian, perlindungan terhadap wanita lebih ditingkatkan dalam UUPA 1989, antara lain dengan jalan memberikan hak yang sama kepada istri dalam memproses dan membela kepentingannya di lingkungan peradilan agama.

Daftar Pustaka
Abdurrahman. Kompilasi Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: Akademika Pressindo, 1992.
Abubakar, Zainal Abidin. Kumpulan Peraturan Perundang-undangan dalam Lingkungan Peradilan Agama. Jakarta: Yayasan al-Hikmah, 1993.
Harahap, Muhammad Yahya. Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama (Undang-Undang No. 7 Tahun 1989). Jakarta: Pustaka Kartini, 1993.
Tebba, Sudirman, ed. Perkembangan Mutakhir Hukum Islam di Asia Tenggara. Bandung: Mizan, 1993.

Nasrun Haroen