Umar Khayyam

(Nisabur, Iran, 18 Mei 1048–Nisabur, 4 Desember 1131)

Umar Khayyam adalah seorang penyair besar, filsuf, sufi, ahli astronomi, dan ahli matematika termasyhur dari Persia (Iran). Nama lengkapnya adalah Giyasuddin Abu al-Fath Umar bin Ibrahim al-Khayyami. Ia lahir dari keluarga pembuat tenda (khayyam).

Umar Khayyam menghabiskan sebagian besar hidupnya di kota kelahirannya. Ia dihormati sebagai ilmuwan termasyhur dan sebagai ulama sufi. Di Samarkand ia bekerja sebagai pembantu Kadi Abu Taher dan Syamsul Mulk (penguasa Bukhara yang juga menjadi gurunya). Kemudian ia bekerja pada Sultan Maliksyah, raja Dinasti Seljuk yang menguasai Persia (1072–1092).

Pada tahun 1074 Umar Khayyam bersama para ahli astronomi lainnya membangun sebuah observatorium di Isfahan. Pada tahun 1078, atas perintah Sultan Maliksyah, Umar Khayyam bersama Abdul Mugaffar Asfani dan Maimun bin Najib Wasita melakukan penyempurnaan terhadap kalender Jalali (kalender dalam bahasa Persia yang diciptakan Jalaluddin Abu al-Fath) yang sampai kini masih digunakan di Persia.

Dalam bidang filsafat, Umar Khayyam mengaku sebagai murid Ibnu Sina walaupun ia tidak langsung berguru kepadanya, karena ia masih kanak-kanak ketika Ibnu Sina wafat. Namun kemudian ia menjadi guru bagi para filsuf dan dinilai setara dengan Ibnu Sina.

Sebagai filsuf rasionalis, ia mendapat julukan hujjah al-haqq (pewenang atau pembela kebenaran). Ia membagi para pencari kebenaran (para filsuf) menjadi empat kelompok, yaitu:

(1) kaum mutakallimun, yakni golongan yang puas dengan argumen­argumen logis;

(2) kaum filsuf, yakni golongan yang mendasarkan diri pada penalaran murni, namun gagal memelihara kepentingan logika;

(3) kaum batiniah (Ismailiyah), yaitu golongan yang berpendapat bahwa pengetahuan dan sifat-sifat Tuhan terlalu pelik untuk dipahami, sehingga lebih baik mendengarkan fatwa-fatwa orang yang lurus; dan

(4) kaum sufi, yakni golongan yang mengunggulkan pemurnian hati dan penyegaran moral yang dinilai sebagai jalan terbaik  untuk mencapai Tuhan.

Pada masa pemerintahan Sultan Maliksyah, karier Umar Khayyam sebagai tenaga ahli kerajaan sangat menonjol. Tetapi setelah Sultan Maliksyah wafat, ia diberhentikan dari jabatan tersebut karena tidak disenangi Sultan Sanjar, pengganti Sultan Maliksyah.

Pemecatan ini justru mendorongnya untuk meninggalkan Nisabur dan mengembara ke daerah serta negeri-negeri lain dalam usahanya untuk lebih meningkatkan diri sebagai ilmuwan. Dalam pengembaraannya, ia sempat menunaikan ibadah haji ke Mekah. Seusai haji ia kembali ke Nisabur dan mendapat sambutan hangat dari para pangeran serta orang-orang terkemuka.

Sebagai pujangga, Umar Khayyam masyhur dengan rubaiatnya (empat berpasangan dua-dua), yaitu sejenis sajak yang terdiri dari dua baris, setiap baris terdiri atas dua kalimat setengah syair, sehingga jumlah seluruhnya menjadi empat baris dan biasanya dinamakan kuatren.

Kemasyhurannya dimulai semenjak rubaiatnya diterjemahkan (1859) oleh Edward Fitzgerald, seorang penulis Inggris, dengan judul The Ruba‘iyat of Omar Khayyam (Rubaiat Umar Khayyam). Terjemahan tersebut lebih menyerupai saduran yang memberi kesan seolah-olah Umar Khayyam adalah seorang hedonis dan pemuja erotisme.

Hal ini disebabkan Edward Fitzgerald hanya menerjemahkan 125 sajak dari 816 sajak rubaiat Umar Khayyam. Dalam menerjemahkan ia menggunakan naskah yang terdapat di perpustakaan Bodleian (Oxford), manuskrip Calcutta, dan manuskrip Ouseley. Karya Umar Khayyam telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa, termasuk bahasa Indonesia.

Sebagai seorang sufi, Umar Khayyam dalam syair-syair rubaiatnya banyak memberikan kritik dan koreksi terhadap kekeliruan para ilmuwan yang menganggap bentuk-bentuk relatif, yaitu kebenaran­kebenaran yang dijadikan bahan pertikaian, sebagai kebenaran mutlak.

Tetapi karena syair-syairnya yang bernapaskan sufi dan sulit dipahami, kecuali bagi orang yang perasaannya sudah terlatih dalam kesufian, banyak pembaca, terutama setelah membaca terjemahan Fritzgerald, justru melihat Umar Khayyam sebagai penganjur “filsafat hidup minum dan sukaria”.

Bahkan sebagian syairnya juga dianggap sebagai penolakan terhadap kepastian hidup dalam agama. Nada syair Umar Khayyam yang demikian sebenarnya dapat dipahami, karena sejak masa kanak-kanak ia hidup pada zaman penjajahan Turki Seljuk atas Persia yang sangat mempengaruhi tata kehidupan masyarakat.

Pada masa itu kebebasan berpikir sangat dibatasi, sehingga yang bisa berkembang di Persia, bahkan hampir di seluruh Kesul tanan Turki, adalah para ahli fikih, ahli kalam, ahli khotbah, dan tokoh-tokoh tradisional. Sebaliknya, logika, filsafat, dan ilmu-ilmu rasional lainnya justru mengalami kemunduran.

Dalam beberapa tulisannya yang dapat digunakan sebagai dasar untuk menilai dan memahami sajak-sajaknya, Umar Khayyam selalu tampak sebagai sosok pribadi yang berpandangan cerah dan mendalam.

Ia tidak senang melihat gejala meningkatnya kecintaan yang berlebihan terhadap hal-hal yang bersifat keduniaan. Dalam karya-karya ilmiahnya ia selalu menyatakan bahwa ia ingin terus mengkaji lebih mendalam, tetapi tidak pernah mendapat kesempatan.

Umar Khayyam sebagai pujangga yang juga ahli matematika dan mantik (logika) selalu mencari pembuktian-pembuktian logis dalam menghadapi problem-problem filsafat yang timbul pada masanya.

Pengetahuan yang dimilikinya tidak membuatnya sombong, bahkan dalam sajak-sajaknya tampak sangat jelas kerendahan hatinya. Ia selalu merasa sangat bodoh di hadapan rahasia Yang Maha Besar.

Dalam sajak-sajaknya, Umar Khayyam justru sering merasa bodoh dan tidak tahu apa-apa di tengah-tengah suasana mudahnya orang menyalahkan lawan dan membenarkan diri sendiri.

Di bidang matematika, Umar Khayyam memperkenalkan sebuah persamaan parsial antara aljabar dan geometri. Ia membuktikan bahwa penyelesaian suatu masalah geometri tertentu dapat digambarkan melalui fungsi-fungsi aljabar. Karyanya tentang aljabar telah diterjemahkan ke dalam bahasa Perancis pada 1857.

Khayyam sendiri telah dikenal sebagai ahli matematika sejak usia tiga puluhan. Ia merupakan orang pertama yang secara ilmiah dan sistematis mengklasifikasi persamaan linear (persamaan tingkat satu) dan mencari kemungkinan persamaan tingkat tiga (kubik).

Karya-karya Khayyam di bidang matematika, khususnya aljabar, dinilai sangat spesifik sehingga mengungguli Muhammad bin Musa al-Khawarizmi (780–850), ahli matematika muslim pertama dan pencipta aljabar, terutama karena Khayyam banyak mengadakan penelitian sebelumnya dan menghasilkan karya yang sistematis.

Daftar Pustaka

The Encyclopaedia of Americana. Internasional Edition. Canada: Glorier Incorporated, 1985. Ensiklopedi Indonesia. Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1983.
Esposito, John L., ed. The Oxford Encyclopaedia of the Modern Islamic World. New York: Oxford University Press, 1995.
Hadi W.M., Abdul. Rubaiyat Omar Khayyam. Bandung: Mizan, t.t.
Houtsma, M. Th., et al. First Encyclopaedia of Islam 1913–1936. Leiden: E.J. Brill, 1987.
The New Encyclopaedia of Britanica. Chicago: Willian Benton Publisher, 1973.

Ridlo Masduki