Umar Bin Abdul Aziz

(Madinah, 63 H/682 M–Dair Sam’an, 101 H/720 M)

Umar bin Abdul Aziz  adalah khalifah ke-8 Dinasti Umayah di Damascus. Ia memerintah selama 3 tahun (717–720). Ia dikenal bijaksana, adil dan jujur, sederhana, alim dan warak, serta tawaduk dan zahid. Ia disebut juga Umar II dan disejajarkan dengan Umar bin Khattab, khalifah kedua al-Khulafa’ ar-Rasyidun.

Nama lengkap Umar bin Abdul Aziz adalah Abu Hafs Umar bin Abdul Aziz bin Marwan bin Hakam bin As bin Umayah bin Abd Syams. Ayahnya, Abdul Aziz, pernah menjadi gubernur di Mesir selama beberapa tahun. Ia adalah keturunan Umar bin Khattab melalui ibunya, Laila Umm Asim binti Asim bin Umar bin Khattab.

Pada waktu kecil, Umar bin Abdul Aziz sering berkunjung ke rumah paman ibunya, Abdullah bin Umar bin Khattab. Tiap kembali dari sana, ia sering mengatakan kepada ibunya bahwa ia ingin hidup seperti kakeknya. Ibunya pun mengiyakan bahwa ia nanti akan hidup seperti kakeknya, seorang ulama yang warak.

Umar menghabiskan sebagian besar hidupnya di Madinah hingga ayahnya wafat 85 H/704 M. Kemudian pamannya, Khalifah Abdul Malik bin Marwan, membawanya ke Damascus dan mengawinkannya dengan putrinya, Fatimah.

Umar memperoleh pendidikan di Madinah, yang waktu itu merupakan pusat ilmu pengetahuan dan gudang ulama hadis dan tafsir. Di kota ini ia mendapatkan pendidikan dan pengajaran serta bimbingan yang sehat. Pendidikan yang diperolehnya sangat mempengaruhi kehidupan pribadinya di kemudian hari dalam melaksanakan tugas yang diamanatkan kepadanya.

Pada masa pemerintahan Khalifah al-Walid bin Abdul Malik atau al-Walid I (khalifah ke-6, memerintah tahun 86 H/705 M–97 H/715 M), tepatnya pada 87 H/706 M, Umar bin Abdul Aziz diangkat menjadi Gubernur Hijaz dengan kedudukan di kota Madinah. Ketika itu ia baru berusia 24 tahun. Ketika Masjid Nabawi dibongkar atas perintah al-Walid untuk diganti dengan bangunan baru yang lebih indah, Umar dipercaya sebagai pengawas pelaksanaan pembangunan yang dimulai sejak 88 H/697 M.

Penampilannya sebagai gubernur sangat berbeda dari gubernur lainnya karena ia sangat adil dalam memerintah. Langkahnya yang pertama ketika tiba di Madinah adalah membentuk sebuah ‘Dewan Penasihat’ yang beranggotkan sepuluh ulama yang berpengaruh di kota itu.

Di dalam dewan itu, ia bersama mereka mendiskusikan berbagai masalah penting yang berkaitan dengan masalah agama, urusan rakyat dan pemerintahan. Melalui dewan itu ia berusaha mempersatukan pandangan antara umara (penguasa) dan ulama dalam menyelesaikan berbagai masalah yang dihadapi rakyat dan pemerintah.

Karena itu, ia dicatat sebagai gubernur yang berprestasi dan bereputasi baik. Namun karena ia berselisih dengan khalifah akibat hasutan Hajjaj bin Yusuf as-Saqafi (gubernur di beberapa wilayah Kekhalifahan Umayah; hidup 41 H/661 M–95 H/714 M) dan para pendukungnya yang tidak menyenangi Umar, khalifah memecatnya dari jabatan gubernur pada 93 H/712 M. Tetapi pada masa pemerintahan Sulaiman bin Abdul Malik bin Marwan (khalifah ke-7, memerintah 97 H/715 M–99 H/717 M), ia dipercaya lagi menjabat sebagai katib (sekretaris).

Walaupun Umar pernah menjabat gubernur dan katib, ia tidak berambisi untuk menduduki jabatan khalifah. Ketika Khalifah Sulaiman menderita sakit, ia meminta pertimbangan dari Wazir (Perdana Menteri) Raja’ bin Haiwah tentang siapa yang pantas menjadi khalifah untuk menggantikannya, karena putra mahkota, Ayyub, meninggal.

Pada waktu itu Raja’ mengemukakan bahwa Umar bin Abdul Aziz adalah figur yang tepat untuk jabatan itu. Akan tetapi, Umar, dalam suatu perbincangan dengan Raja’ tentang sakitnya khalifah dan penggantinya, mengatakan kepada Raja’,

“Dengan bersaksi kepada Tuhan saya meminta kepadamu, seandainya khalifah menyebut-nyebut nama saya untuk jabatan itu, hendaklah engkau menghalanginya, dan kalau ia tidak menyebut-nyebut nama saya, janganlah engkau mengingatkan kepadanya.”

Namun, rupanya sebelum Khalifah Sulaiman wafat, ia bersama wazirnya itu telah membuat keputusan, bahwa Umar diangkat menjadi khalifah pengganti dan Yazid bin Abdul Malik ditunjuk pula sebagai calon khalifah sesudah Umar. Setelah Sulaiman wafat (99 H/717 M), Umar dibaiat menjadi khalifah.

Umar bin Abdul Aziz hanya memerintah kuranglebih 2,5 tahun. Walaupun demikian, waktu yang relatif singkat itu dapat digunakan secara produktif untuk membuat kebijaksanaan dalam berbagai bidang.

Dalam bidang agama, ia menghidupkan ajaran Al-Qur’an dan sunah Rasulullah SAW seperti pada zaman moyangnya, Umar bin Khattab, dalam rangka mengembalikan kemuliaan agama dalam berbagai aspek kehidupan dan meng­guna­kannya untuk mewarnai kehidupan bermasyarakat dan bernegara.

Untuk itu, ia mengadakan kerjasama dengan ulama besar pada zamannya seperti al-Hasan al-Basri (ahli hadis dan fikih) dan Sulaiman bin Umar. Dia berdialog dan meminta fatwa dari mereka tentang berbagai kebijaksanaannya, mengajak mereka agar mengajar rakyat mengenai hukum syariat, setia mengikuti perintah Allah SWT dan menjauhi larangan-Nya. Ia kemudian menerapkan hukum syariat secara serius dan sistematis. Dialah khalifah pertama dari Dinasti Umayah yang melakukan hal ini.

Jasanya yang penting di bidang agama dan pengetahuan, yang buahnya dapat diwarisi umat Islam sampai kini, adalah inisiatifnya untuk mengadakan kodifikasi hadis yang sebelumnya belum ada.

Faktor pendorongnya adalah bahwa ia khawatir hadis akan lenyap dan hadis palsu muncul. Pada waktu itu, hadis masih tersimpan dalam hafalan para sahabat dan rawi atau periwayat serta dalam catatan pribadi. Untuk usaha kodifikasi itu ia memerintahkan seluruh wali negeri dan ulama hadis agar mencatat hadis.

Semua hadis yang diperoleh dari berbagai negeri ia percayakan kepada ulama besar Imam Muhammad bin Muslim bin Syihab az-Zuhri untuk dihimpun dan ditulis. Umar sendiri ikut mendiskusikan hadis-hadis yang telah terkumpul untuk diseleksi apakah palsu atau tidak.

Ia juga punya perhatian terhadap ilmu lain. Dikabarkan ia memindahkan sekolah kedokteran yang ada di Iskandariyah (Mesir) ke Antakya (kini di Turki) dan Harran (Turki). Di bidang sosial politik Umar menerapkan prinsip politik yang menjunjung tinggi kebenaran dan keadilan yang lebih utama dari segalanya.

Jika khalifah Umayah sebelumnya menjalankan politik kekerasan terhadap lawan politik mereka, yaitu menindak dan mengejar keturunan Ali bin Abi Thalib dan Bani Hasyim serta menumpas gerakan Khawarij, Umar sebaliknya bersikap lunak.

Menurutnya, Bani Umayah tidak mempunyai keistimewaan dibandingkan dengan saudaranya sesama muslim. Karena itu, ia memberikan kebebasan kepada rakyat dari semua golongan untuk menyatakan pendiriannya, asal tidak mengganggu ketertiban umum.

Ia juga bersikap lunak terhadap kaum Khawarij yang waktu itu dipimpin Syauzab dan memerintahkan kepada gubernur Hijaz agar tidak memerangi mereka, kecuali apabila mereka mengadakan kerusuhan dan pengrusakan. Bahkan ia berkirim surat kepada Syauzab agar datang ke Damascus untuk bertukar pikiran.

Untuk menegakkan kebenaran dan keadilan, ia kemdian mengirim utusan ke berbagai negeri untuk melihat langsung cara kerja para gubernur. Apabila ia menemui amil dan gubernur yang tidak taat menjalankan agamanya dan bertindak zalim kepada rakyat, ia langsung memecatnya, seperti memecat Yazid bin Abi Muslim (gubernur Afrika Utara) dan Salih bin Abdur Rahman (gubernur Irak). Ia juga mengembalikan tanah yang dirampas para penguasa kepada pemiliknya.

Dalam menyelesaikan perkara perselisihan, ia menekankan bahwa para hakim harus mendasarkan keputusannya kepada Kitab Allah (Al-Qur’an), sunah Rasulullah SAW, ijmak, dan ijtihad. Untuk itu, menurutnya, seorang hakim harus memenuhi lima syarat: memiliki pengetahuan tentang apa yang terjadi pada masa lalu, menjauhi sifat tamak, bersifat penyantun, bekerjasama dengan para cendekiawan, dan bebas dari pengaruh penguasa.

Dalam bidang militer Umar tidak menaruh perhatian untuk membangun angkatan yang tangguh dan royal, sehingga masa pemerintahannya sepi dari aksi-aksi militer. Ia lebih mengutamakan urusan dalam negeri, yaitu meningkatkan taraf hidup rakyat.

Kebijaksanaannya ini berkaitan dengan kebijaksanaannya di bidang dakwah dan perluasan wilayah kekuasaan. Menurutnya perluasan wilayah kekuasaan sekaligus penyebaran Islam tidak harus dengan kekuatan militer, tetapi juga dapat berhasil melalui dakwah amar makruf dan nahi munkar dengan cara yang bijak dan lemah-lembut. Untuk itu, ia memerintahkan Musallama agar menghentikan pengepungan Constantinopel (Istanbul sekarang) dan penyerbuan ke Asia Kecil.

Dalam bidang ekonomi Umar juga membuat berbagai kebijaksanaan yang melindungi kepentingan rakyat dan meningkatkan kemakmuran mereka. Ia mengurangi beban pajak yang dipungut dari kaum Nasrani, menghentikan jizyah (pajak) dari umat Islam, membuat aturan mengenai timbangan dan takaran, membasmi cukai dan kerja paksa, memperbaiki tanah pertanian, irigasi, penggalian sumur-sumur, pembangunan jalan, menyediakan tempat penginapan bagi musafir, dan menyantuni fakir miskin.

Kebijaksanaan lainnya adalah menghapus kebiasaan mencela nama Ali bin Abi Thalib dan keturunannya dalam tiap khotbah Jumat, suatu kebiasaan yang sudah berjalan sejak Mu‘awiyah bin Abi Sufyan, pendiri Dinasti Umayah.

Meskipun Mu‘awiyah mengakui Ali itu orang terhormat, tetapi dorongan nafsu politiknya memaksanya untuk mencela nama musuhnya itu. Kebiasaan yang tidak baik ini diganti Umar dengan pembacaan firman Allah SWT. Firman Allah SWT ini sekarang selalu dibaca khatib pada akhir khotbah kedua setelah doa,

“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar dapat kamu mengambil pelajaran” (QS.16:90).

Dalam melaksanakan kebijaksanaan-kebijaksanaan tersebut, banyak muncul proyek, tetapi Umar tidak memanfaatkannya untuk memperkaya diri, malahan ia mengimbanginya dengan pola hidup sederhana dan kepribadian terpuji.

Sebelum menjadi khalifah, ia dikenal gemar memakai wewangian dan pakaian sutra. Namun, begitu ia menjadi khalifah, keadaan ini berbalik. Setelah pemakaman Khalifah Sulaiman, ia menolak kuda-kuda kendaraan untuk angkutan barang dan tunggangan yang bagus-bagus dan penuh dengan hiasan, yang ditawarkan kepadanya oleh petugas kerajaan.

Ia berkata, “Kudaku lebih sesuai bagiku.” Lantas kuda-kuda itu dijual dan hasilnya dimasukkan ke kas negara (baitulmal). Pakaiannya digantinya dengan yang lebih kasar. Tanah perkebunannya dan perhiasan istrinya dijualnya, dan hasilnya juga dimasukkan ke baitulmal.

Umar juga tidak mau memakai harta negara untuk keperluan pribadi. Pada suatu malam ia bekerja di kantornya untuk urusan negara, tiba-tiba putranya datang untuk urusan keluarga.

Mereka berdua berbicara dalam kegelapan, karena lampu ia padamkan. Ketika ditanya putranya, kenapa lampu dipadamkan, ia menjawab bahwa putranya datang untuk urusan keluarga, sedang minyak yang dipakai ini dibeli degan uang negara.

Daftar Pustaka
Firdaus, A.N. Kepemimpinan Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Jakarta: Publicita, 1977.
al-Maududi, Abul A’la. Khilafah dan Kerajaan: Evaluasi Kritis atas Sejarah Pemerintahan Islam, terj. Bandung: Mizan, 1984.
Syalabi, Ahmad. Sejarah Kebudayaan Islam, terj. Jakarta: Pustaka al-Husna, 1983.
Syuaib, Yusuf. Sejarah Daulah Umayyah. Jakarta: Bulan Bintang. 1977.
Tim Penyusun Texbook Sejarah dan Kebudayaan Islam. Sejarah dan Kebudayaan Islam. Jakarta: Departemen Agama RI, 1981/1982.

J Suyuti Pulungan