Istilah ulul amri (pemegang urusan) digunakan dalam tafsir dan fikih siyasi (politik). Secara etimologis, ulul amri berarti pemimpin dalam suatu negara. Ulu al-amr berasal dari kata ulu = pemegang, yang berhak; dan al-amr = perintah, perkara, keputusan, kepastian, kewajiban, dan kepemimpinan.
Ulama tafsir dan fikih siyasi membuat empat definisi ulul amri.
(1) Ulul amri adalah raja dan kepala pemerintahan yang patuh dan taat kepada Allah SWT dan Rasulullah SAW.
(2) Ulul amri adalah para raja dan ulama.
(3) Ulul amri adalah amir di zaman Rasulullah SAW. Setelah Rasulullah SAW wafat, jabatan itu berpindah kepada kadi (hakim), komandan militer, dan mereka yang meminta anggota masyarakat untuk taat atas dasar kebenaran.
(4) Ulul amri adalah para mujtahid atau yang dikenal dengan sebutan ahl al-hall wa al-‘aqd (yang memiliki otoritas dalam menetapkan hukum).
Tidak adanya kesepakatan tentang pengertian ulul amri itu disebabkan kata amr itu sendiri mempunyai banyak arti. Muhammad Abduh (1849–1905) dan Rasyid Rida (1865– 1935) mencoba merumuskan ulul amri dengan merangkum seluruh cakupan makna amr itu sendiri.
Menurut mereka, ulul amri adalah para pemegang otoritas di sebuah negara yang terdiri dari para penguasa, para hakim, ulama, komandan militer, dan pemuka masyarakat yang menjadi rujukan umat dalam hal-hal yang berkaitan dengan kemaslahatan umum.
Rasyid Rida juga memasukkan mereka yang memegang otoritas di bidang kesehatan, perburuhan, perniagaan, pemimpin media massa, dan pengarang sebagai ulul amri. Muhammad Abduh menyatakan, “Kepada mereka inilah kita harus taat dan patuh selama mereka menaati Allah SWT dan Rasulullah SAW.” Hal ini sesua dengan surah an-Nisa’ (4) ayat 59, “Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya dan ulul amri di antara kamu…”
Perintah taat kepada ulul amri dalam ayat itu tidak didahului dengan kata “athi‘u”. Menurut para mufasir, hal ini mengandung pengertian bahwa umat taat kepada ulul amri selama ulul amri itu taat kepada Allah SWT dan Rasulullah SAW. Ini sejalan dengan hadis Rasulullah SAW,
“Seorang muslim wajib mendengar dan taat (kepada para pemimpin) terhadap yang ia senangi atau ia benci, kecuali jika ia disuruh (pemimpinnya) berbuat maksiat (durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya). Jika disuruh berbuat durhaka, ia tidak boleh mendengar dan taat” (HR. Muslim dari Ibnu Umar).
Sebelum turunnya ayat di atas, tingkat kedisiplinan umat Islam sangat rendah, sekalipun mereka sudah menyadari arti kebebasan dan persamaan antarmanusia. Namun konflik antarkepentingan masih saja mewarnai kehidupan mereka sehari-hari.
Dalam rangka menertibkan dan menanamkan disiplin serta menciptakan suatu masyarakat yang tertib hukum, perlu ditekankan kepentingan ketaatan kepada para pemimpin tersebut.
Doktrin ini amat penting dalam menciptakan keamanan, kepastian hukum, dan stabilitas politik. Dengan turunnya ayat di atas, doktrin kepatuhan dan ketaatan kepada pemimpin bukan hanya kebutuhan setiap masyarakat, tetapi juga merupakan ketentuan agama.
Sebagai imbalan dari ketaatan dan kepatuhan masyarakat terhadap ulul amri, mereka harus bertindak dan berbuat untuk kepentingan orang banyak dengan tugas pokok amar makruf nahi mungkar (mengajak kepada kebajikan dan mencegah perbuatan mungkar).
Inilah yang dikatakan Allah SWT dalam surah Ali ‘Imran (3) ayat 104, “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang baik, dan mencegah kemungkaran….”
Padanan kata yang semakna dalam Al-Qur’an dengan ulul amri antara lain kata ulu al-albab (para pemikir), ulu al-quwwah (orang yang memiliki kekuatan/kekuasaan), ulu al-aidi (orang yang memiliki kekuatan, yang dilambangkan dengan tangan yang kuat), ulu al-‘ilm (para pakar), ulu al-fadl (yang memiliki kedudukan istimewa), ulu al-ba’s (orang-orang yang peduli), ulul azmi, dan ulu al-absar (orang yang memiliki proyeksi masa depan).
Lembaga ulul amri yang dalam konteks politik dikenal dengan sebutan ahl al-hall wa al-‘aqd muncul pertama kali ketika Umar bin Khattab membentuk para pembantu amirulmukminin (kepala pemerintahan) ketika itu.
Ahl al-hall wa al-‘aqd inilah yang senantiasa bermusyawarah untuk mengambil kebijaksanaan yang menyangkut kepentingan umum yang bersifat keduniaan dengan tugas pokoknya amar makruf nahi mungkar.
Dengan demikian, konsep ulul amri terkait erat dengan konsep musyawarah (QS.2:233; 3:159; dan 42:38), konsep amanah (QS.4:58), dan konsep amar makruf nahi mungkar (QS.3:104).
Menurut Muhammad Abduh, para pemegang otoritas amr dalam suatu negara yang terdiri atas berbagai pemuka masyarakat harus senantiasa melakukan musyawarah dalam rangka menjalankan tugas amar makruf nahi mungkar dan memegang amanah Allah SWT dan umat Islam.
Daftar Pustaka
Ibnu Taimiyah. as-Siyasah asy-Syar‘iyyah fi Islah ar-Ra‘i wa ar-Ra‘yah. Beirut: Dar al-Ma‘rifah, t.t.
al-Isfahani, Ragib. Mufradat fi Garib Al-Qur’an. Beirut: Dar al-Ma‘rifah, t.t.
Jalal, Muhammad, dan Ali Abdul Mu‘ti. al-Fikr as-Siyasi fi al-Islam. Iskandariah: Dar al-Jami‘ah al-Misriyah, 1978.
al-Mawardi. al-Ahkam as-Sulthaniyyah wa al-Wilayat ad-Diniyyah, Cairo: al-Babi al-Halabi, 1973.
Rida, Muhammad Rasyid. Tafsir al-Manar. Beirut: Dar al-Fikr, t.t.
Nasrun Haroen