Istilah “ulama Jawi” digunakan orang Arab pada masa silam bagi orang dari terutama kawasan Nusantara yang menuntut ilmu Islam di berbagai kuttab (lembaga pendidikan dasar keagamaan) dan halaqah (khusus di Mekah, lembaga pendidikan lanjutan dan tinggi) di Mekah dan Madinah.
Sebagian besar ulama Jawi yang menuntut ilmu kepada guru atau ulama Islam yang termasyhur di Haramain (Mekah dan Madinah) melibatkan diri dalam jaringan ulama di sana sehingga mereka kemudian berperan besar dalam wacana intelektual keagamaan, tidak saja di wilayah Nusantara atau Dunia Melayu pada umumnya, melainkan juga di kancah pemikiran Islam internasional.
Dilihat dari lakab (gelar di akhir nama) mereka, hampir seluruh kelompok etnik di Nusantara terwakili.
Terbentuknya jaringan ulama secara umum berkaitan erat dengan perkembangan tradisi keilmuan Islam itu sendiri. Pada awalnya dalam dunia keilmuan Islam terdapat tradisi yang sering disebut sebagai rihlah ‘ilmiyyah “perjalanan keilmuan” atau tepatnya “perjalanan untuk menuntut ilmu”, sesuai dengan ajaran Islam kepada para penganutnya untuk menuntut ilmu ke bagian dunia mana pun (thalab al-‘ilm).
Keterlibatan ulama Jawi dalam jaringan ulama Haramain dimulai pada paruh kedua abad ke-17, dirintis oleh nama-nama besar seperti Nuruddin ar-Raniri (w. 1069 H/1658 M), Abdur Rauf Singkel (1035 H/1615 M–1105 H/1693 M), keduanya kemudian menjadi ulama besar kerajaan Islam Aceh, dan Syekh Yusuf (1626–1699) yang berasal dari Makassar tetapi aktif di Banten dan kemudian di Afrika Selatan.
Abdur Rauf Singkel dan Syekh Yusuf datang ke Mekah dan Madinah menjelang pertengahan abad ke-17. Keduanya belajar di Mekah dan melakukan kontak keilmuan dengan berbagai ulama mancanegara.
Abdur Rauf Singkel diangkat menjadi khalifah Tarekat Syattariyah oleh Ahmad Qusasi, guru dan sekaligus pembimbing rohaninya dalam tarekat itu, sementara Syekh Yusuf setelah mengembara hingga ke Baghdad, Irak, diangkat sebagai khalifah Tarekat Khalawatiyah oleh gurunya, Syekh Abu al-Barakat Ayyub Ahmad al-Khalawati al-Quraisy, di Irak dan dianugerahi gelar Syekh Yusuf Taj al-Khalawat Hadiyatullah.
Setelah ketiga ulama besar itu, lama kemudian baru muncul ulama Asia Tenggara lainnya di Mekah. Ulama Jawi tersebut adalah: Abdus Samad al-Palimbani (1704–1788), Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari (1710–1812), Syekh Muhammad Nafis al-Banjari (1735–1812), Syekh Nawawi al-Jawi (1813–1897), Ahmad Khatib as-Sambasi (w. 1875), Abdul Karim al-Bantani, Ahmad Rifa‘i Kalisasak (1786–1875), Ismail bin Abdullah al-Khalidi al-Minangkabawi (1125 H/1713 M–1260 H/1844 M), Daud bin Abdullah al-Fatani (1718–1847), Junaid al-Batawi (akhir abad ke-19), Ahmad Khatib al-Minangkabawi (1860–1916), Syekh Ahmad Nahrawi al-Banyumasi (w. 1346 H/1928 M), Muhammad Mahfuz at-Termasi (1258 H/1842 M–1348 H/1929 M), Hasan Mustafa al-Garuti (1268 H/1852 M–1348 H/1930 M), Abdul Gani Bima (abad ke-19), Syekh Ismail al-Bantani (akhir abad ke-19), Sayid Muhsin al-Musawi al-Palimbani, Muhammad Yasin al-Padani (1335 H/1917 M–1410 H/1990 M), Abdul Karim al-Banjari, Ahmad Damanhuri al-Bantani, dan lain-lain.
Tidak jarang di antara mereka berhasil mencapai posisi sosial keagamaan yang sangat terhormat. Dari waktu ke waktu selalu ada ulama Jawi yang mengajar di berbagai halaqah Masjidilharam. Padahal, untuk bisa mengajar di Masjidilharam, seseorang harus mempunyai kapasitas keilmuan yang tinggi.
Bahkan ada di antara mereka yang mencapai posisi keilmuan yang termasuk puncak. Misalnya, Syekh Nawawi al-Jawi mendapat gelar “Syekh Hijaz”. Ahmad Khatib al-Minangkabawi pernah menjadi imam besar Mazhab Syafi‘i di Masjidilharam, dan Muhammad Yasin al-Padani disebut “Allamah” (ulama besar), gelar ilmuwan dalam ilmu-ilmu keislaman yang sangat tinggi, dan merupakan satu dari dua muhaddits (ahli hadis) terbesar abad ke-14 H dan awal abad ke-15 H.
Ada juga di antara mereka yang mendirikan madrasa di Mekah, seperti Sayid Muhsin al-Musawi al-Palimbani yang mendirikan madrasah pada 1353 H (1934 M) yang bernama Madrasah Dar al-‘Ulum ad-Diniyah.
Madrasah ini menampung guru dan murid terutama dari Indonesia, Malaysia, dan Singapura. Selain Madrasah Dar al-‘Ulum ad-Diniyah, terdapat madrasah lain, yaitu Madrasah Indonesia Islamiyah Makkah yang didirikan Syekh Janan Muhammad Tayyib (1882–1945), seorang ulama Jawi terkemuka asal Minangkabau, pada 1346 H/1926 M.
Madrasah ini didirikan dengan maksud mengembangkan ilmu dan kebudayaan Islam di kalangan murid mukimin Jawi (terutama Indonesia dan Malaysia). Namun pada 1390 H/1970 M, madrasah ini terpaksa ditutup karena semakin tajamnya persaingan madrasah negeri dan semakin ketatnya sentralisasi pendidikan yang dilakukan pemerintah Arab Saudi terhadap madrasah swasta, di samping juga karena dukungan dana yang tidak memadai.
Sebagian dari ulama Jawi itu ada yang kembali ke Nusantara (Asia Tenggara), namun sebagian lainnya menetap selamanya di Mekah. Peran yang dimainkan ulama Jawi yang kembali ke negeri mereka masing-masing bermacam-macam.
Di antara mereka ada yang menjadi ulama dan pujangga istana, dan menduduki jabatan keagamaan di kerajaan masing-masing, seperti yang dilakukan Nuruddin ar-Raniri dan Abdur Rauf Singkel di Kerajaan Aceh, Syekh Yusuf di Kerajaan Islam Banten, dan Muhammad Arsyad al-Banjari di Kerajaan Islam Banjar, Kalimantan Selatan.
Banyak pula yang memilih menjadi ulama independen, berdakwah, dan mendirikan lembaga pendidikan Islam, terutama sekali setelah Belanda menduduki kerajaan-kerajaan Islam Nusantara dan ikut menentukan kebijaksanaan politik di sana.
Mereka yang menjadi ulama independen ini antara lain Syekh Muhammad Nafis al-Banjari, yang sangat aktif melakukan dakwah islamiah di pedalaman Kalimantan dan Ahmad Rifa‘i Kalisasak yang mendirikan pesantren, mendidik kader-kader Islam, dan mengarang banyak buku dalam bahasa Jawa.
Ulama Jawi yang memilih bermukim di Mekah selamanya tetap mempertahankan komitmen mereka kepada masyarakat muslim Nusantara dengan mendidik kaum mukimin Jawi di Haramain, sekaligus menulis dan mengirimkan karya-karya mereka ke Dunia Melayu, seperti Ahmad Khatib al-Minangkabawi yang selalu siap menerima pertanyaan dan mengeluarkan fatwa keagamaan mengenai perkembangan Islam di Nusantara.
Kaum mukimin Jawi memang dikenal sebagai golongan yang paling kuat memelihara ikatan dan komitmen batin dengan negeri asalnya. Ulama lainnya adalah Muhammad Yasin al-Padani.
Kelompok ulama Jawi yang terakhir ini kemudian menjadi warga negara Arab Saudi. Keturunan mereka ada yang tetap berkecimpung di dunia ilmu sehingga masih terus menjalin hubungan dengan sesama mukimin yang berasal dari Nusantara dalam bidang keilmuan.
Hampir seluruh ulama yang disebutkan itu merupakan penulis produktif. Mereka menghasilkan puluhan hingga ratusan karya, mulai dari karya besar berjilid sampai kepada risalah pendek, baik dalam bahasa Arab maupun bahasa Melayu.
Sebagian kecil karya mereka itu telah diterbitkan di Istanbul (Turki), Cairo (Mesir) atau Beirut (Libanon), dan kebanyakan kemudian dicetak ulang di Nusantara. Dilihat dari tempat diterbitkan, karya mereka itu dapat dibandingkan dengan karya ulama mancanegara lainnya.
Kebanyakan karya mereka itu menjadi bacaan bagi penuntut pemula di Indonesia dalam bidang-bidang ilmu keislaman tertentu, misalnya as-sirath al-Mustaqim (Jalan yang Lurus) karya Nuruddin ar-Raniri dalam bidang fikih, Turjuman al-Mustafid (Terjemah Pemberi Faedah) karya Abdur Rauf Singkel dalam bidang tafsir, Mir’ah ath-Tullab (Cermin Para Penuntut Ilmu) karya Abdur Rauf Singkel dalam bidang fikih muamalah, Sabil al-Muhtadin (Jalan Orang-Orang yang Mendapat Petunjuk) karya Muhammad Arsyad al-Ban-jari dalam bidang fikih, dan Minhaj Tawi an-Nazr (Metode Orang-Orang yang Mempunyai Nalar) karya Abdullah Mahfuz at-Termasi dalam bidang hadis.
Banyak di antara karya mereka adalah saduran dari kitab-kitab standar yang kemudian mereka adaptasi segi materi maupun penyajiannya, karena karya-karya itu ditujukan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat Melayu yang kebanyakan masih awam dalam seluk-beluk keagamaan.
Karya mereka itu mencerminkan sejarah pemikiran Islam di Dunia Melayu, sekaligus sejarah sosial masyarakat Islam di kawasan Haramain. Ada juga di antara mereka yang menulis topik-topik yang berkaitan dengan masalah kalam dan tasawuf, seperti Nuruddin ar-Raniri, Abdur Rauf Singkel, Syekh Yusuf, dan Muhammad Nafis al-Banjari.
Dari hasil tulisan mereka, tercermin ilmu-ilmu keislaman yang mereka tuntut. Ilmu-ilmu yang mereka pelajari dapat dikategorikan ke dalam dua kelompok besar, yaitu “ilmu-ilmu lahir” seperti tafsir, fikih, dan ilmu-ilmu syariat lainnya; dan “ilmu-ilmu batin” seperti tasawuf.
Ilmu-ilmu lahir menjelaskan ketentuan dan tugas pokok “lahiriah” setiap muslim sesuai dengan penggarisan syariat, sedangkan ilmu-ilmu batin membahas makna yang lebih dalam dari ilmu-ilmu lahir.
Ulama Jawi ini menguasai kedua kategori ilmu itu dan berusaha menitikberatkan kepada harmonisasi antara yang lahir dan yang batin itu. Pengecualian adalah Ahmad Khatib al-Minangkabawi yang lebih condong pada ilmu-ilmu lahir.
Dengan harmonisasi tersebut, menurut Azyumardi Azra, ahli sejarah Asia Tenggara kontemporer, mereka dapat dikatakan telah melakukan pembaruan yang signifikan dalam kehidupan keagamaan masyarakat muslim Nusantara.
Nuruddin ar-Raniri, Abdur Rauf Singkel, dan Syekh Yusuf adalah pembaru yang pertama di dalam sejarah Islam di Asia Tenggara. Mereka berperan sebagai penghubung yang penting dalam mengakrabkan Islam di Nusantara dengan perkembangan pemikiran dan praktek Islam di Mekah dan Madinah.
Dalam konteks ini, mereka memperkenalkan pemikiran dan tradisi tasawuf “Arabia” yang lebih setia kepada ortodoksi atau syariat untuk menggeser atau menggantikan tasawuf yang pada masa sebelumnya diwarnai kuat oleh tradisi tasawuf “India” yang cenderung menyimpang dari syariat.
Upaya pembaruan yang dilakukan Nuruddin ar-Raniri, Abdur Rauf Singkel, dan Syekh Yusuf itu kemudian dilanjutkan ulama Jawi berikutnya, seperti Abdus Samad al-Palimbani yang menyadur beberapa kitab tasawuf karya al-Ghazali (w. 1111), dan ulama yang menjalankan fungsi pendidikan di lembaga-lembaga pendidikan Islam di Nusantara, termasuk tarekat, baik secara langsung maupun tidak. Melalui lembaga-lembaga pendidikan itu, ajaran pembaruan mereka disebarkan para murid atau santri mereka ke seluruh pelosok Nusantara.
Sejak awal perempat kedua abad ke-20, madrasa Jawi mulai mengalami kemunduran sehingga menyebabkan merosotnya jumlah murid dan ulama Jawi, khususnya di Mekah. Dibandingkan dengan masa sebelumnya, jumlah ulama Jawi yang menonjol sangat sedikit. Nama-nama ulama Jawi yang paling sering disebut pada awal dasawarsa 1990-an adalah Syekh Abdul Karim al-Banjari, Syekh Ahmad Damanhuri al-Bantani, Syekh Fatah Rawa, dan Syekh Muhammad Baruddin Abdul Qadir al-Mandili.
Di antara mereka itu, hanya Syekh Abdul Karim al-Banjari yang memiliki halaqah dan mengajar di Masjidilharam. Adapun yang lainnya menyelenggarakan pendidikan bagi kalangan mukimin Jawi, yang sebagian besar dari Indonesia dan selebihnya dari Malaysia dan Pattani, di rumah-rumah mereka.
Tingkat keilmuan mereka juga jauh berada di bawah generasi ulama sebelumnya. Menurunnya kuantitas dan kualitas ulama dan mukimin Jawi di Mekah dan Madinah ini banyak disebabkan oleh perubahan ekonomi, politik, dan sosial yang dialami Arab Saudi.
Daftar Pustaka
Azra, Azyumardi. Jaringan Ulama Nusantara di Haramain. Bandung: Mizan, 1994.
–––––––. “Ulama Indonesia di Haramain: Pasang Surut Sebuah Wacana Intelektual Keagamaan,” Ulumul Qur’an, Vol. III, No. 3, 1992.
Hurgronje, C. Snouck. “Ulama Jawa yang Ada di Mekah pada Akhir Abad ke-19,” Islam di Asia Tenggara Perspektif Sejarah. Jakarta: LP3ES, 1989.
–––––––. Mecca in the Latter Part of the 19th Century. Leiden: E.J. Brill, 1988.
Badri Yatim