Salah satu ajaran Islam mengenai konsep persaudaraan disebut ukhuwah. Kata ukhuwah berasal dari bahasa Arab dengan bentuk masdar (kata dasar) akhu yang berarti saudara, termasuk di dalamnya sekandung, seayah, dan seibu atau sesusuan.
Dalam penggunaannya, kata ukhuwah selalu digabungkan dengan kata islamiah sehingga menjadi ukhuwah islamiah. Maksudnya untuk memperjelas pengertiannya bahwa persaudaraan yang dibangun adalah berdasarkan prinsip Islam.
Ajaran ukhuwah dalam Islam bermakna suatu ikatan persaudaraan antara dua orang atau lebih berdasarkan keimanan yang sama, kesepakatan atas pemahaman serta pembelaan kepada Islam sebagai agama yang diridai Allah SWT. Dasar ajaran ukhuwah adalah firman Allah SWT dalam surah al-Hujurat (49) ayat 10,
“Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara, karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat.”
Sehubungan dengan ayat di atas, al-Qasimi (ahli tafsir kontemporer asal Mesir) menjelaskan bahwa iman menghendaki terwujudnya persaudaraan yang hakiki di antara orang beriman yang terikat oleh hubungan yang murni dan kekerabatan yang fitri.
Lebih lanjut dijelaskannya bahwa keimanan melahirkan keharusan persaudaraan yang hakiki di antara orang beriman, yaitu hubungan persaudaraan yang tidak dapat diukur dengan hubungan kasih sayang, baik secara kejiwaan maupun secara jasmani.
Ayat lain yang dapat dijadikan landasan dari ajaran ukhuwah adalah surah Ali ‘Imran (3) ayat 103,
“Dan berpegang teguhlah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah bercerai-berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa jahiliah) bermusuhmusuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu –karena nikmat Allah– orang-orang yang bersaudara….”
Menurut Abu Ja‘far at-Tabari (Abu Ja‘far Muhammad bin Jarir at-Tabari), sejarawan dan ahli tafsir, maksud ayat itu adalah agar kita senantiasa terikat dengan ketentuan Allah SWT dengan cara memegang teguh agama-Nya, sebagaimana yang Dia perintahkan dan janjikan dalam kitab-Nya, yaitu berupa persatuan dan kesatuan dalam kebenaran serta kepatuhan kepada ketentuan-Nya.
Selain dari Al-Qur’an, ajaran ukhuwah juga bersumber dari beberapa hadis Nabi SAW, antara lain: “Orang mukmin itu bagaikan satu jasad, atau bagaikan satu bangunan yang saling mengukuhkan” (HR. Bukhari dan Muslim) dan “Orang Islam itu satu sama lain bersaudara” (HR. Abu Dawud).
Dari ayat dan hadis di atas dapat disimpulkan bahwa tidak ada bentuk ukhuwah yang paling baik dikembangkan oleh umat Islam selain ukhuwah islamiah, karena ini adalah ikatan yang paling hakiki dan kuat, mengungguli semua jenis ikatan lainnya.
Ikatan lainnya hanyalah bersifat sarana ukhuwah, tetapi tidak dapat dijadikan dasar yang kuat bagi bangunan persaudaraan. Perbedaan yang terdapat di antara manusia, seperti fisik, ideologi, dan sebagainya hanya dapat dijembatani dengan iman kepada Allah SWT.
Begitu seseorang menyatakan dirinya beriman, saat itu juga ia sudah terikat persaudaraan dengan orang yang seiman. Iman adalah tali pengikat yang lebih kuat dari ikatan apa pun, termasuk ikatan keturunan, kekerabatan, kesukuan, dan kebangsaan.
Hal ini tercermin dari firman Allah SWT dalam surah al-Hujurat (49) ayat 10 yang telah disebutkan sebelumnya. Ayat tersebut menunjukkan bahwa keimanan dapat mempersatukan seseorang, kelompok atau umat dalam satu ikatan persaudaraan Islam. Rasulullah SAW menegaskan hal ini dalam hadis yang berbunyi,
“Tidak sempurna iman seseorang sehingga ia mencintai saudaranya seperti ia cintai dirinya sendiri” (HR. Bukhari, Muslim, at-Tirmizi, an-Nasa’i, Ibnu Majah, ad-Darimi, dan Ahmad bin Hanbal).
Mencintai dalam hadis ini berarti tetap menjalin hubungan persaudaraan dengan sesama mukmin. Dalam membina ukhuwah, diperlukan hal-hal berikut.
(1) I‘tisam bi hablillah (berpegang teguh pada tali Allah). Maksudnya, tanpa pertolongan Allah SWT mustahil ukhuwah dapat diwujudkan (QS.3:103 dan QS.8:62–63).
(2) Ta’lif al-Qulub (menyatukan hati), terhadap sesama muslim tidak pilih kasih.
(3) Sikap tasamuh (toleransi), yaitu tenggang rasa, pemaaf, dan bersedia mendengarkan pendapat orang lain.
(4) Musyawarah, yakni menyalurkan dan mempertemukan segala pandangan untuk mencari titik temu.
(5) Ta‘awun, yakni tolong-menolong mempersatukan segenap potensi umat untuk menegakkan kebenaran.
(6) Takaful al-ijtima‘, yakni rasa kebersamaan dan solidaritas sosial.
(7) Istikamah, yakni teguh pendirian, berjalan di atas jalan yang benar, disiplin, dan bertanggung jawab.
Untuk mempertahankan ukhuwah, ada beberapa faktor yang perlu diterapkan dalam kehidupan umat Islam. Pertama, saling berkunjung dan berkumpul karena mengharap rida Allah SWT, bukan semata-mata untuk urusan duniawi.
Mereka yang beriman itu saling mengunjungi dan berkumpul untuk kegiatan yang bermanfaat, saling tolong-menolong dalam mencapai keselamatan, dan saling menasihati dalam kebenaran. Saling mengunjungi dalam ajaran Islam merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan ajaran keimanan. Rasulullah SAW menyatakan,
“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhirat hendaklah tetap menjali hubungan silaturahmi” (HR. Bukhari, Muslim, Abu Dawud, at-Tirmizi, an-Nasa’i, Ibnu Majah, dan Ahmad bin Hanbal).
Perintah untuk mengadakan silaturahmi dipertegas oleh berbagai pernyataan Rasulullah SAW, “Barangsiapa yang ingin dimudahkan rezeki dan dipanjangkan umurnya oleh Allah, maka hendaklah dia bersilaturahmi” (HR. Ahmad bin Hanbal, Abu Dawud, dan at-Tirmizi).
Perintah agar orang beriman saling tolong-menolong dalam kebajikan dan saling menasihati dalam kebenaran masing-masing dinyatakan dengan tegas di dalam Al-Qur’an surah al-Ma’idah (5) ayat 2 dan al-‘Asr (103) ayat 3.
Kedua, berbuat baik kepada tetangga. Ini merupakan salah satu indikasi persatuan dan kekompakan dalam suatu masyarakat dan salah satu dari keutamaan yang diajarkan Islam. Dalam Islam, diajarkan bahwa tetangga memiliki tiga hak, yaitu hak ukhuwah islamiah, hak tetangga, dan hak kekerabatan.
Ada banyak hadis Nabi SAW yang menganjurkan agar seorang muslim berlaku baik kepada tetangganya, antara lain: “Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhirat orang yang beriman harus memelihara hubungan silaturahmi hendaknya ia tidak menyakiti tetangganya” (HR. Ibnu Hibban). “Sebaik-baik tetangga di sisi Allah adalah orang yang paling baik kepada tetangganya” (HR. Bukhari).
Memuliakan tetangga juga merupakan ciri kesempurnaan iman seseorang. Hadis Nabi SAW menyatakan, “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, hendaklah ia memuliakan tetangganya” (HR. Bukhari dan Muslim).
Dalam sejarah Islam, ajaran ukhuwah diterapkan dengan sangat berhasil oleh Rasulullah SAW, khususnya ketika Nabi SAW mulai membangun masyarakat Islam di Madinah. Pada masa itu umat Islam sudah tampak heterogen, terdiri dari berbagai suku.
Untuk merekatkan hubungan satu sama lainnya, Rasulullah SAW mempersaudarakan beberapa kaum Muhajirin dengan Ansar sehingga lambat laun tercipta ukhuwah islamiah di kalangan umat Islam Madinah.
Untuk mewujudkan ukhuwah islamiah, para pemimpin Islam, ulama, tokoh masyarakat, dan para cendekiawan hendaknya mempunyai kesamaan visi dalam tiga hal, yaitu wawasan keagamaan, wawasan kemasyarakatan, dan wawasan universal.
Kesamaan wawasan keagamaan adalah persamaan wawasan bahwa agama Islam adalah agama Allah SWT yang dibawa Rasulullah SAW dan disampaikan kepada umat dalam wujud Al-Qur’an dan sunah, yang harus dipahami melalui kaidah, metode, dan jalur tertentu yang dapat dipertanggungjawabkan menurut Syar‘i (pembuat syariat/Allah SWT).
Kesamaan wawasan kemasyarakatan adalah kesamaan wawasan bahwa Islam mengakui adanya kelompok manusia, bangsa, suku bangsa, kabilah, dan sebagainya. Satu sama lain harus saling mengenal dan mengakui eksistensi masing-masing.
Kesamaan wawasan universal adalah kesamaan wawasan bahwa umat Islam di seluruh dunia, walaupun berbeda bangsa dan negaranya, adalah bersaudara sebagai umat yang satu. Hal ini ditegaskan Allah SWT dalam Al-Qur’an surah al-Hujurat (49) ayat 13,
“…Kami telah menjadikan manusia berbangsa-bangsa, bersuku-suku agar mereka saling mengenal satu sama lain. Sesungguhnya orang yang paling mulia di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa kepada-Nya.”
Rasulullah SAW bersabda, “Kesatuan seorang mukmin dengan mukmin yang lain diibaratkan sebagai suatu tubuh, yang kalau salah satu anggota badan merasa sakit, akan terasa oleh anggota badan yang lain” (HR. Bukhari, Muslim, dan Ahmad bin Hanbal).
Daftar Pustaka
al-Kahlani, Muhammad bin Ismail. Subul as-Salam. Cairo: Syirkah Maktabah Mustafa al-Babi al-Halabi, 1950.
al-Qudat, Mustafa. Prinsip Ukhuwah dalam Islam, terj. Jakarta: Hazanah Ilmu, 1994.
Yafie, K.H. Ali. “Konsep Al-Qur’an tentang Ukhuwah.” Makalah Forum Silaturahmi dan Dialog Dakwah. Jakarta, Maret 1990.
Musdah Mulia