Tulun, Dinasti

Tulun adalah nama sebuah dinasti kecil di Mesir pada abad ke-9. Dinasti ini bertahan selama 37 tahun, yaitu sejak 254 H/868 M hingga 292 H/905 M. Wilayahnya meliputi Mesir dan Suriah. Nama dinasti ini disandarkan kepada pendirinya, Ahmad bin Tulun (835–884).

Kemunculan keluarga Tulun dalam pentas sejarah Islam bermula pada masa pemerintahan al-Ma’mun (khalifah Abbasiyah ke-7, memerintah 198 H/813 M–218 H/833 M). Pada 201 H/817 M, Tulun, ayah Ahmad bin Tulun, seorang Turki yang berasal dari Farghanah (daerah di Transoksania, Uzbekistan) dikirim oleh penguasa Dinasti Samaniyah sebagai hadiah kepada Khalifah al-Ma’mun. Sejak masa itu keluarga Tulun mengabdi pada penguasa Abbasiyah di Baghdad.

Pada masa pemerintahan al-Mu‘tasim (khalifah Abbasiyah ke-8, 218 H/833 M–227 H/842 M), banyak orang Turki yang memegang jabatan tinggi dalam pemerintahan. Salah seorang di antaranya bernama Barbak, yang kemudian diangkat menjadi gubernur Mesir. Pada masa ini Mesir masih menjadi salah satu propinsi dalam wilayah kekuasaan Abbasiyah. Karena itu, jabatan gubernur merupakan pelaksana tugas khalifah di tingkat propinsi.

Ketika Barbak diangkat sebagai gubernur Mesir, ia menunjuk Ahmad bin Tulun, yang sebelumnya banyak berjasa kepadanya, sebagai wakilnya. Untuk itu pada 254 H/868 M Ahmad bin Tulun pergi ke Mesir untuk memulai tugas barunya.

Karier Ahmad bin Tulun sebagai wakil gubernur berjalan lancar sampai ke masa Yarjuk, pengganti Barbak yang juga orang Turki. Yarjuk bahkan mengangkat Ahmad bin Tulun sebagai menantunya. Selanjutnya, ketika Yarjuk wafat pada 259 H/873 M, Ahmad bin Tulun menggantikan posisinya selaku gubernur Mesir.

Segera setelah dilantik, langkah politik pertama yang dilakukan Ahmad bin Tulun adalah melakukan konsolidasi pemerintahan dalam negeri. Setelah itu, ia memfokuskan perhatiannya pada masalah pembangunan ekonomi. Untuk memacu produktivitas pertanian, ia membuat saluran irigasi di sepanjang lembah Sungai Nil dan terbukti setelah itu Mesir menjadi negara agraris yang maju.

Dalam pada itu pusat kekhalifahan Abbasiyah di Baghdad mengalami guncangan ekonomi lantaran seringnya terjadi pemberontakan. Pada 263 H/877 M, al-Mu‘tamid (khalifah Abbasiyah ke-15, memerintah 257 H/870 M–279 H/892 M) menginstruksikan kepada Ahmad bin Tulun agar mengirimkan hasil pajak pertaniannya ke Baghdad.

Akan tetapi, karena merasa sudah dapat berdiri sendiri, Ahmad bin Tulun menolak perintah Khalifah. Peristiwa pembangkangan ini dipandang oleh Philip K. Hitti (ahli sejarah, penulis buku History of the Arabs) sebagai titik mula berdirinya Dinasti Tulun.

Karena dalam kondisi lemah, ditambah lagi letak Mesir yang cukup jauh dari Baghdad, pemerintah pusat tidak menghukum gubernurnya yang membangkang itu. Ahmad bin Tulun pun memanfaatkan kesempatan ini untuk memperkuat posisinya di Mesir.

Setahap demi setahap ia berhasil memperoleh dukungan rakyatnya untuk menjadikan Mesir sebagai wilayah yang independen, terlepas dari kekuasaan Abbasiyah di Baghdad. Demikianlah akhirnya terbentuk Dinasti Tulun di Mesir dengan ibukotanya Fustat. Dengan berdirinya dinasti itu, untuk pertama kali sejak zaman Fir’aun, Mesir diperintah bangsa Turki.

Ahmad bin Tulun memerintah selama 16 tahun. Ia dikenal sebagai khalifah yang kuat, berwibawa, dan mampu mengendalikan roda pemerintahan. Di masanya rakyat Mesir mengalami era kejayaan dan kemakmuran.

Pada 872 ia membangun sebuah rumah sakit di Fustat, yang dipandang sebagai rumah sakit terbesar di Mesir sampai abad ke-15. Kelebihan rumah sakit ini terletak pada pelayanan kelilingnya, semacam “puskesmas keliling” pada masa sekarang. Di dalamnya terdapat kamar khusus untuk perawatan kaum wanita.

Sarana pelayanan ini dilengkapi dengan perpustakaan yang berisi buku ilmu kedokteran yang lengkap, di samping menyelenggarakan kursus pengobatan.

Setelah mendirikan rumah sakit, pada 876 Ahmad bin Tulun juga membangun sebuah masjid di Fustat, yang kemudian populer dengan nama Masjid Ibnu Tulun. Masjid ini mempunyai menara yang sangat indah; seluruh dindingnya dipenuhi lukisan kaligrafi yang mempesona.

Jasa penting lainnya dari Ahmad bin Tulun adalah membangun angkatan perang berkekuatan sekitar seratus ribu personel, yang terdiri dari orang Turki dan budak kulit hitam.

Pembangunan angkatan perang itu dimaksudkan untuk mempertahankan kedaulatan dinastinya dan sekaligus untuk kepentingan ekspansi ke luar Mesir. Dengan modal kekuatan militer itulah ia kemudian berhasil memperluas wilayah kekuasaannya sampai ke Suriah. Itulah untuk pertama kali Suriah tunduk pada penguasa Mesir.

Sepeninggal Ahmad bin Tulun (270 H/884 M), jabatan khalifah beralih ke tangan putranya, Khumarawaih. Kepemimpinan Khumarawaih tidak sehebat ayahnya. Tidak banyak prestasi yang dapat diukirnya pada periode pemerintahannya. Bahkan, pada masanya, mulai terjadi konflik di antara keluarga kerajaan yang pada gilirannya mengakibatkan kelemahan dinasti.

Keadaan ini diperburuk oleh munculnya pemberontakan yang didalangi kelompok Syiah Qaramitah. Kondisi kerajaan semakin lemah di tangan Jaisy (pengganti Khumarawaih). Pengganti Jaisy, yaitu Harun, juga tidak mampu mengembalikan kebesaran Dinasti Tulun.

Melihat kondisi Dinasti Tulun sangat lemah, al-Muktafi (penguasa Abbasiyah ke-17, memerintah 290 H/902 M–296 H/908 M) menjadi bersemangat untuk merebut kembali bekas wilayahnya. Ia segera mengirim pasukan yang dipimpin Muhammad bin Sulaiman untuk menundukkan kekuasaan dinasti ini.

Ketika itu Dinasti Tulun sedang diperintah oleh Syaiban bin Ahmad, pengganti Harun. Akhirnya pada 292 H/905 M, melalui pertempuran sengit, Syaiban bin Ahmad terpaksa menyerahkan wilayahnya kepada khalifah Abbasiyah. Dengan penyerahan itu berakhirlah riwayat Dinasti Tulun.

Dinasti Tulun mencatat berbagai prestasi, antara lain

(1) mendirikan bangunan-bangunan megah, seperti Rumah Sakit Fustat, Masjid Ibnu Tulun, dan istana khalifah yang kemudian hari menjadi peninggalan sejarah Islam yang sangat bernilai;

(2) memperbaiki nilometer (alat pengukur air) di Pulau Raudah (dekat Cairo), yang pertama kali dibangun pada 103 H/716 M pada masa pemerintahan Bani Umayah; dengan berfungsinya kembali alat ini, irigasi Mesir menjadi lancar dan pada gilirannya sangat membantu dalam meningkatkan hasil produksi pertanian rakyat Mesir; dan

(3) berhasil membawa Mesir kepada kemajuan, sehingga Mesir menjadi pusat kebudayaan Islam yang dikunjungi para ilmuwan dari seluruh pelosok dunia Islam.

Daftar Pustaka

Amin, Ahmad. duha al-Islam. Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1975.
Bek, Muhammad Khudari. Muhadarah Tarikh al-Umam al-Islamiyyah. Cairo: al-Maktabah at-Tijariyah al-Kubra, 1970.
Bosworth, C.E. Dinasti-Dinasti Islam, terj. Ilyas Hasan. Bandung: Mizan, 1993.
Grunebaum, Gustave E. von. Classical Islam: A History 600–1258. London: George Allen and Unwin Ltd., 1970.
Hasan, Hasan Ibrahim. Tarikh al-Islam: as-Siyasi wa ad-Dini wa ats-tsaqafi wa al-Ijtima‘i. Cairo: Maktabah an-Nahdah al-Misriyah, 1979.
Hitti, Philip K. History of the Arabs. London: Macmillan, 1974.
Muir, Sir William. The Caliphate: Its Rise, Decline and Fall. New York: AMS Press, 1975.
Stryzewska, Bojena Gajene. Tarikh ad-Daulah al-Islamiyyah. Beirut: al-Maktab at-Tijari, t.t.
as-Suyuti, Jalaluddin Abdur Rahman bin Abi Bakar. Tarikh al-Khulafa’. Beirut: Dar al-Fikr, t.t.
Syalabi, Ahmad. Mausu‘ah at-Tarikh al-Islami wa al-hadarah al-Islamiyyah. Cairo: Maktabah an-Nahdah al-Misriyah, t.t.

Musdah Mulia