Transplantasi

(Ar.: naql a‘da’ al-insan)

Secara umum, transplantasi berarti “memotong suatu jaringan atau organ lengkap dari tempat asli alaminya, lalu memindahkan atau mencangkokkannya ke lokasi baru dalam satu tubuh atau ke tubuh lain”. Dalam terminologi Islam, transplantasi berarti “mengganti organ tubuh seseorang yang tidak berfungsi lagi dengan organ tubuh sehat dari orang lain”.

Dalil pembahasan tentang transplantasi organ tubuh tidak ditemukan dalam kitab fikih klasik. Persoalan tersebut muncul sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan. Karenanya, permasalahan ini termasuk ijtihad ulama.

Dalam pembahasannya, para ahli fikih modern lebih mengacu kepada konsep kemaslahatan dan kemudaratan transplantasi organ tubuh tersebut. Pembahasan tentang transplantasi organ tubuh ini dalam fikih modern disebut naql a‘da’ al-insan.

Transplantasi organ tubuh banyak dilakukan saat ini, antara lain transplantasi jantung, ginjal, dan kornea mata. Dalam proses transplantasi dikenal tiga tipe donor organ tubuh.

(1) Donor dalam keadaan hidup sehat.

(2) Donor dalam keadaan koma atau diduga kuat akan meninggal dunia. Dalam kondisi ini, perlu dipertegas pengertian mati secara medis dan yuridis, agar dokter yang menjalankan transplantasi tersebut tidak dituntut sebagai pelaku pembunuhan oleh keluarga donor.

(3) Donor dalam keadaan mati. Secara medis, tipe ini adalah tipe ideal karena para dokter hanya perlu mengetahui waktu donor meninggal dunia, baik secara medis maupun yuridis.

Berdasarkan kajian fikih mazhab, tidak ada satu dalil pun yang membolehkan seseorang mendonorkan sebagian organ tubuhnya kepada orang lain. Perbuatan tersebut dianggap dapat merugikan diri sendiri, seperti dinyatakan Allah SWT dalam surah al-Baqarah (2) ayat 195: “…Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.”

Menurut Abu Hasan asy-Syazili (ahli fikih Mesir), ayat ini melarang manusia untuk berbuat sesuatu yang dapat mencelakakan dirinya, sekalipun untuk tujuan kemanusiaan yang luhur.

Menurut Ibnu Qudamah (541 H/1147 M–620 H/1223 M), ahli fikih Mazhab Hanbali, manusia termasuk sesuatu yang harus dihormati syariat Islam. Karena itu, segala bentuk tindakan yang merugikan manusia hidup tidak dapat diterima Islam, seperti melukai, memukul, menghina, melecehkan, dan membunuh.

Imam Nawawi (631 H/1233 M–676 H/1277 M), ahli hadis dan fikih Mazhab Syafi‘i, juga mengatakan bahwa tidak dibenarkan seseorang memotong anggota tubuh orang lain yang dihormati syarak dan tidak dibenarkan juga seseorang memotong anggota tubuhnya sendiri untuk kebutuhan orang lain.

Alasannya berdasarkan sabda Rasulullah SAW: “Tidak boleh bahaya, membahayakan, baik terhadap diri sendiri maupun terhadap orang lain” (HR. Ibnu Majah, al-Hakim, al-Baihaqi, dan Imam Malik).

Di samping itu, kaidah fikih juga menyatakan bahwa suatu bahaya tidak boleh dihilangkan dengan bahaya lainnya. Artinya, bahaya yang diderita resipien (penerima organ tubuh) tidak boleh dihilangkan dengan menimbulkan bahaya bagi orang lain yang diambil organ tubuhnya.

Tentang penggunaan organ tubuh untuk pengobatan, Mazhab Hanafi menyatakan tidak dibenarkan menggunakan tulang manusia untuk pengobatan. Alasannya, selain tubuh manusia harus dihormati, baik muslim maupun kafir, perbuatan itu bisa membawa mudarat terhadap manusia. Ulama ini juga melarang penggunaan tulang babi untuk maksud yang sama.

Pendapat senada juga dikemukakan Mazhab Syafi‘i, Maliki, dan Hanbali. Alasannya, selain berdasarkan pada surah al-Baqarah (2) ayat 195, hal ini juga didasarkan pada hadis Rasulullah SAW: “Janganlah kamu berobat dengan sesuatu yang haram” (HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah).

Pendapat yang berbeda dikemukakan Jad al-Haqq Ali Jad al-Haqq, ahli hukum Islam Universitas al-Azhar, Mesir. Menurutnya, orang hidup boleh mendonorkan organ tubuhnya apabila hal tersebut tidak membahayakan bagi dirinya.

Hal ini berdasarkan pada fikih Mazhab Syafi‘i dan Zaidiyah (salah satu mazhab dalam Syiah) yang mengatakan bahwa dalam keadaan darurat seseorang boleh memotong sebagian anggota tubuhnya untuk dimakan demi kelangsungan hidupnya, dengan syarat bahaya pemotongan sebagian anggota tubuh ini lebih kecil daripada bahaya tidak memotong dan memakannya sama sekali.

Berdasarkan ijtihad ulama ini, Syekh Jad al-Haqq berpendapat bahwa jika seseorang boleh memanfaatkan bagian tubuhnya untuk dimakan dalam keadaan darurat, ia boleh juga menyumbangkan organ tubuhnya kepada orang lain yang membutuhkan demi kelangsungan hidup orang tersebut. Syaratnya, pendonoran organ tubuh itu tidak membahayakan dirinya sendiri dan dilakukan secara sukarela. Jika membahayakannya, tindakan itu termasuk dalam larangan Allah SWT dalam surah al-Baqarah (2) ayat 195 tersebut di atas.

Ulama mazhab sependapat untuk melarang transplantasi organ tubuh melalui donor dalam keadaan koma. Alasannya sama dengan alasan bagi donor dalam keadaan hidup sehat. Sekalipun harapan untuk hidup bagi orang yang akan diambil organ tubuhnya sangat kecil, ia masih merupakan manusia sempurna yang harus dihormati.

Terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama fikih tentang hukum transplantasi organ tubuh dari orang yang telah wafat. Mazhab Maliki, Hanafi, dan az-Zahiri menyatakan tidak diperkenankan melakukan transplantasi organ tubuh dari orang yang telah wafat. Alasannya, kehormatan jasad mayat sama dengan kehormatan jasad manusia hidup.

Karena itu, seluruh bagian tubuh mayat wajib dihormati seperti menghormati manusia hidup. Ibnu al-Hajj (ahli fikih Mazhab Maliki) menyatakan bahwa menyakiti mayat sama dengan menyakiti orang hidup karena kehormatan mayat tidak berbeda dengan kehormatan orang yang masih hidup. Alasannya adalah sabda Rasulullah SAW: “Memotong tulang mayat sama dengan memotong tulang orang hidup” (HR. Abu Dawud).

Adapun Mazhab Syafi‘i dan Hanbali membedakan mayat yang darahnya dihormati dan mayat yang darahnya dihalalkan karena melakukan suatu tindak pidana dengan hukuman mati (seperti kafir Harbi yang memerangi umat Islam, orang murtad, orang yang dikenakan hukuman kisas, dan perampok).

Transplantasi boleh dilakukan dengan menggunakan organ tubuh dari mayat yang darahnya dihalalkan. Alasannya, orang yang menjalani hukuman mati berarti halal darahnya dan sekaligus halal pula seluruh anggota tubuhnya setelah ia wafat. Namun jika memanfaatkan organ tubuh dari mayat yang darahnya dihormati, hukumnya haram.

Menurut Syekh Jad al-Haqq, dalam melakukan transplantasi organ tubuh dari orang yang telah wafat, harus dibedakan antara mayat yang diketahui ahli warisnya dan mayat yang tidak diketahui ahli warisnya. Jika diketahui ahli warisnya, pihak yang membutuhkan harus meminta izin kepada ahli waris mayat tersebut. Jika diizinkan, hukumnya boleh.

Tetapi jika tidak diizinkan, tidak diperkenankan melakukan transplantasi tersebut. Alasannya, mayat dengan segala peninggalannya merupakan milik ahli waris. Apabila mayat tersebut tidak dikenal dan ahli warisnya pun tidak diketahui, pihak berwenang boleh langsung melakukan transplantasi organ tubuh yang dibutuhkan, sesuai dengan kepentingan yang ada.

Syekh Yusuf ad-Dajwa (ahli fikih Mesir) berpendapat bahwa pemanfaatan sebagian organ tubuh mayat diperkenankan demi kepentingan manusia yang masih hidup. Autopsi juga boleh dilakukan terutama bagi pengembangan ilmu pengetahuan kedokteran yang menyangkut kehidupan orang banyak. Pendapat senada juga dikemukakan Syekh Hasanain Muhammad Makhluf, mantan mufti Mesir.

Menurut Nuruddin Atr (pakar hadis Universitas al-Azhar), dibolehkannya melakukan transplantasi organ tubuh mayat untuk kepentingan manusia hidup harus dilakukan sesuai dengan kebutuhan. Jika yang dibutuhkan hanya sebelah mata kiri, mata kanan mayat harus dibiarkan utuh.

Alasannya, transplantasi tersebut dilakukan karena keadaan darurat. Hal ini didasarkan pada kaidah fikih yang mengatakan “memenuhi yang darurat itu sesuai dengan kadar atau ukuran daruratnya”.

Dalam menanggapi masalah transplantasi organ tubuh, muncul dua pendapat di kalangan ulama Indonesia. Majelis Ulama Indonesia (MUI) melalui Majelis Fatwa menyatakan seseorang boleh menghibahkan kornea matanya kepada orang lain, baik semasa hidup maupun setelah wafat melalui wasiat.

Alasannya sejalan dengan alasan yang dikemukakan Syekh Jad al-Haqq, yaitu selama transplantasi itu tidak membahayakan diri si donor, hal tersebut boleh dilakukan. Akan tetapi Majelis Tarjih Muhammadiyah berpendapat bahwa hukum transplantasi semacam itu haram.

Alasannya hadis Rasulullah SAW yang dikemukakan terdahulu, yaitu: “Memotong tulang mayat sama dengan memotong tulang orang hidup” (HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah) dan hadis Nabi SAW: “Janganlah kamu berobat dengan sesuatu yang diharamkan” (HR. Abu Dawud).

Daftar Pustaka

an‑Nawawi, Abu Zakaria Yahya Muhiddin bin Syarf ad‑Dimasqi. al‑Adzkar. Cairo: Matba‘ah Zakariya Ali Yusuf, t.t.
asy-Syazili, Hasan Ali. hukm Naql A‘da’ al-Insan fi al-Fiqh al-Islami. Cairo: Dar at-Tahrir li at-Tiba‘ah wa an-Nasyr, 1989.
Zuhdi, Masyfuk. al-Masail Fiqhiyyah. Jakarta: Haji Masagung, 1994.

Nasrun Haroen