Taubah berasal dari kata kerja taba, yatubu, yang berarti “rujuk” atau “kembali”. Dalam terminologi Islam, tobat berarti “kembali dari kemaksiatan kepada ketaatan atau kembali dari jalan yang jauh ke jalan yang lebih dekat kepada Allah SWT”. Menurut ulama, tobat ialah membersihkan hati dari segala dosa.
Imam Haramain (Abdul Ma’ali al-Juwaini) mengatakan bahwa tobat berarti “meninggalkan keinginan untuk kembali melakukan kejahatan seperti yang telah pernah dilakukan, karena keinginan untuk membesarkan Allah SWT dan menjauhkan diri dari kemurkaan-Nya”. Dalam Al-Qur’an, Allah SWT memerintahkan setiap mukmin agar bertobat (QS.24:31) dengan tobat seikhlas-ikhlasnya (QS.66:8).
Tobat tidak hanya perlu sebagai penghapus dosa, tetapi juga sebagai sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Karena itu, sekalipun tidak berdosa, manusia tetap diperintahkan bertobat. Artinya, bertobat adalah wajib bagi setiap mukmin. Karena itu, Rasulullah SAW sendiri, sekalipun sudah terpelihara dari segala dosa, tetap bertobat dan meminta ampun (istigfar) kepada Allah SWT. Rasulullah SAW bertobat tidak kurang dari 70 kali sehari semalam.
Tobat baru dianggap sah dan dapat menghapus dosa apabila mencukupi syarat yang ditentukan. Oleh karena itu, Imam al-Qusyairi menerangkan bahwa para ahli tauhid dari golongan Ahlussunnah waljamaah mengatakan bahwa syarat tobat yang sah itu ada tiga:
(1) menyesal terhadap perbuatan maksiat yang telah dilakukan, (2) meninggalkan perbuatan maksiat itu, dan
(3) bercita-cita tidak akan mengulangi lagi perbuatan itu. Syarat ini menyangkut dosa terhadap Allah SWT, sedangkan untuk dosa terhadap sesama manusia ditambah lagi syarat yang keempat.
Kalau dosa itu menyangkut harta, hendaklah harta itu dikembalikan kepada pemiliknya dan jika tidak ada pemiliknya, dikembalikan kepada ahli warisnya. Kalau dosa itu menyangkut kehormatan, hendaklah meminta maaf. Demikian juga jika menyangkut ajaran yang salah yang pernah diberikan kepada orang lain.
Imam al-Ghazali membagi tobat itu atas tiga macam: (1) tobat, yaitu kembali dari kemaksiatan pada ketaatan; (2) firar, yaitu lari dari kemaksiatan pada ketaatan, dari yang baik kepada yang lebih baik lagi; dan (3) inabat, yaitu bertobat berulangkali sekalipun tidak berdosa.
Imam yang lain menjelaskan bahwa tobat itu terbagi atas tiga macam:
(1) tobat, yaitu kembali dari kejahatan kepada ketaatan karena takut akan murka dan siksa Allah SWT (QS.24:31);
(2) inabat, yaitu kembali dari yang baik kepada yang lebih baik karena mengharap pahala (QS.50:32–33); dan
(3) aubah, yaitu orang yang bertobat bukan karena takut siksaan dan tidak pula karena mengharap tambahan pahala, tetapi karena mengikuti perintah Allah SWT (QS.38:30).
Zunnun al-Misri, seorang tokoh sufi, membagi tobat menjadi dua macam, yaitu tobat orang awam (yakni bertobat dari dosa) dan tobat orang khawas (mukmin yang beramal semata-mata karena Allah SWT) dari kelalaian. Tobat dalam pandangan para sufi tersebut pada umumnya adalah tobat yang sebenar-benarnya, tobat yang tidak akan membawa pada dosa lagi.
Terkadang tobat itu tidak dapat dicapai dengan sekali saja. Ada dikisahkan bahwa sampai tujuh puluh kali tobat seorang sufi baru mencapai tingkat tobat yang sebenar-benarnya. Tobat yang sebenarnya dalam paham sufi ialah lupa pada segala hal, kecuali Allah SWT. Orang yang bertobat, menurut Ali bin Usman al-Jullabi al-Hujwiri (tokoh sufi), adalah orang yang cinta kepada Allah SWT. Orang yang cinta kepada Allah SWT senantiasa mengadakan kontemplasi tentang Allah SWT.
Hal yang berhubungan erat dengan tobat adalah istigfar, yaitu menundukkan jiwa, hati, dan pikiran kepada Allah SWT seraya memohon ampun dari segala dosa. Istigfar bukan hanya mengucapkan astagfirullah (semoga Tuhan mengampuni aku), tetapi juga harus disertai dengan penundukan jiwa dengan sungguh-sungguh dan berharap akan memperoleh ampunan.
Ayat Al-Qur’an menyatakan bahwa Allah SWT akan memberikan kenikmatan bagi orang yang beristigfar atau memohon ampunan Allah SWT (misalnya, QS.2:286, QS.3:16 dan 193, QS.66:8, QS.59:10, dan QS.71:28).
Daftar Pustaka
al-Ghazali, Abu Hamid Muhammad bin Muhammad. Ihya’ ‘Ulum ad-Din. Singapura: Sulaiman Mar’i, t.t.
Ibnu Kasir, al-Hafidz Imaduddin Abu al-Fida’ Isma’il. Tafsir Al-Qur’an al-‘Azim. Beirut: ‘Alam al-Kitab, 1405 H/1985 M.
al-Maraghi, Ahmad Mustafa. Tafsir al-Maragi. Cairo: Mustafa al-Babi al-Halabi, 1974.
Mahmud, Abdul Halim. Dzu an-Nun al-Misri. Beirut: al-Maktabah al-’Asriyyah, 1980.
Nasution, Harun. Filsafat dan Mistisisme dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1978.
ash-Shiddieqy, T.M. Hasbi. Pedoman Dzikir dan Doa. Jakarta: Bulan Bintang, 1990.
Syukur, Asiwadie. Ilmu Tasawwuf. Surabaya: Bina Ilmu, 1979.
Oman Fathurrahman