Tjokroaminoto adalah seorang tokoh pergerakan dan pejuang, pemimpin utama Sarekat Islam. Ia berasal dari keluarga kiai dan priayi atau bangsawan. Kakeknya (R.M. Adipati Tjokronegoro) adalah seorang bupati di Ponorogo (Jawa Timur), dan ayahnya (Tjokroamiseno) seorang wedana. Sejak kecil ia dididik dalam suasana islami, walaupun ia menempuh pendidikan Barat.
Raden Mas Haji Oemar Said Tjokroaminoto sendiri masuk OSVIA (Opleiding School voor Inlandsche Ambtenaren; Sekolah Pendidikan untuk Pegawai Pribumi) di Magelang (1902). Di OSVIA, pendidikan berlangsung selama 5 tahun dan menggunakan bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar. Sekolah ini tidak saja terbuka bagi anak-anak golongan priayi, tetapi terbuka juga bagi anak-anak golongan biasa yang ingin memasuki dinas pangreh praja.
Pada 1902–1905 ia menjadi juru tulis patih di Ngawi (Jawa Timur), kemudian menjadi patih (pejabat dalam lingkungan pegawai negeri pribumi), pembantu utama pada seorang bupati (regent). Pada September 1905 ia minta berhenti dari jabatan. Alasannya, karena ia merasa tidak puas dalam kehidupan kepegawaian, tidak banyak menggembirakan hati dan terus-menerus berjongkok dan menyembah.
Ia pindah ke Surabaya dan memperoleh pekerjaan pada sebuah peru-sahaan swasta sambil belajar di BAS (Burgerlijke Avond School), yaitu sejenis sekolah lanjutan yang dilaksanakan pada sore hari). Istrinya menerima indekos pemuda-pemuda Indonesia yang sekolah. Tahun 1916 pemuda Soekarno menjadi salah seorang anak indekosnya ketika Soekarno bersekolah di HBS Surabaya dan kemudian menjadi pengikutnya dalam berpolitik.
Sesudah menyelesaikan pendidikannya, HOS Tjokroaminoto mendapat pekerjaan pada sebuah pabrik gula (1907–1912) dan menulis di harian Bintang Surabaya. Di pabrik gula ini ia mula-mula magang sebagai masinis dan kemudian diangkat sebagai ahli kimia.
Namun pekerjaannya ditekuni hanya sampai Mei 1912, selanjutnya ia bekerja pada sebuah biro teknik di Surabaya. Dalam periode inilah ia berhubungan dengan beberapa wakil Sarekat Islam Surakarta yang sengaja mendatanginya. Kontraknya yang masih berjalan dengan perusahaan ini ditebus oleh pimpinan SDI (Haji Samanhudi), agar ia dapat memberikan seluruh tenaganya kepada perkumpulan yang baru itu.
Ia kemudian diminta untuk menyusun Anggaran Dasar (Statuten) Sarekat Dagang Islam (SDI) dan duduk sebagai komisaris. Ketika itu ia dikenal dengan sikapnya yang radikal dan menentang kebiasaan yang berlaku bagi anak jajahan. Ia dikenal sebagai seorang yang menuntut persamaan derajat dengan pihak mana pun juga, apakah dengan seorang Belanda atau dengan seorang pejabat pemerintah.
Ia berkeinginan untuk melihat sikap ini dimiliki oleh kawan sebangsanya terutama dalam berhubungan dengan orang asing. Ia mempunyai keberanian untuk duduk di kursi sewaktu menemui seorang Belanda atau seorang pejabat pemerintah. Ia berkata kepada atasannya tanpa menundukkan muka ke bawah. Ia duduk di kursi dengan meletakkan sebelah kakinya di atas kakinya yang lain. Semua ini adalah soal kecil tetapi pada masa itu dianggap pantang dilakukan.
Ia dikenal sebagai seorang orator yang berani dengan suaranya yang lantang Bung Karno adalah salah seorang murid politiknya yang mempunyai kesamaan dalam berpidato, dalam berpolitik, dan dalam mempengaruhi rakyat. Sikap dan pandangannya dibawanya ketika aktif dalam organisasi Sarekat Dagang Islam (SDI) di bawah pimpinan H. Samanhudi.
Di bawah pimpinan HOS Tjokroaminoto, organisasi ini mengubah namanya menjadi Sarekat Islam (SI) sejak 10 September 1912. Tujuannya adalah agar organisasi ini tidak terbatas pada bidang perdagangan saja; juga keanggotaan bukan saja dipenuhi pedagang Islam, tetapi orang Islam yang bukan pedagang pun dapat menjadi anggota SI.
Dengan demikian, masalah yang dihadapi pengurus SI tidak berkisar pada soal upah, sewa-menyewa tanah, buruh perkebunan, dan lain-lain. Sejak itulah SI disebut-sebut sebagai organisasi nasionalis pertama di awal abad ke-20 yang berhasil menghimpun dukungan rakyat luas. Karenanya SI menjadi wahana yang dapat dipakai untuk mencapai tujuan-tujuan nasional.
Dalam kongres SI yang pertama (Januari 1913), ia menjadi wakil ketua Panitia Pusat. Di bawah pimpinannya, gerakan SI dengan cepat meluas ke seluruh Pulau Jawa, bahkan juga meluas ke luar Pulau Jawa. Oleh karena itu, kemajuan pesat dan cepat yang dicapai SI sangat menakutkan bagi kaum penjajah di Hindia-Belanda. Sikap pemerintah Hindia-Belanda itu dapat dilihat pada waktu SI mengajukan pengesahan organisasi SI sebagai badan hukum dengan Anggaran Dasar.
Setelah setengah tahun permohonan SI masih saja belum mendapat jawaban dari pemerintah Hindia-Belanda, maka pada 29 Maret 1913 sebuah panitia yang diketuai HOS Tjokroaminoto sendiri menghadap Gubernur Jenderal Hindia-Belanda yang pada waktu itu dijabat oleh A.W.F. Idenburg (1909–1916). Tiga bulan kemudian, yakni 30 Juni 1913, barulah izin tersebut keluar.
Sekalipun pemerintah Hindia-Belanda telah memberikan izin kepada SI, namun karena menyadari ancaman dari SI maka pihak kolonial mengeluarkan suatu undang-undang pada Maret 1914, yang menyebutkan bahwa ia hanya memberikan pengakuan kepada berbagai cabang SI, tidak kepada SI sebagai satu kesatuan organisasi.
Tindakan ini bertujuan untuk memecah SI menjadi perserikatan kecil, dan masing-masing akan berdiri bebas tanpa ada hubungan satu sama lain. Dengan tindakan ini Belanda berharap bahwa pimpinan SI pusat tidak akan berwibawa terhadap cabangnya.
HOS Tjokroaminoto dan pemimpin utama lainnya, sekalipun sangat kecewa dengan keputusan pemerintah tersebut, harus mencari jalan keluar dari situasi itu. Itulah sebabnya pada Februari 1915 di Yogyakarta dibentuk Central Sarekat Islam (CSI), dan cabang yang ada dijadikan anggotanya.
Sejak CSI dibentuk, ia selalu menjabat sebagai ketua/anggota Dewan Pimpinan sampai akhir hayatnya. CSI mendapat pengakuan pemerintah pada Maret 1916. Pada waktu itu SI telah mempunyai lebih dari 50 cabang yang tersebar di seluruh kepulauan Indonesia. SI resmi diubah menjadi Partai Sarekat Islam (PSI) pada kongres SI 17–20 Februari 1923 di Madiun.
Dalam Kongres SI 1925 di Yogyakarta, dia mengemukakan konsepnya tentang pendidikan Muslim Nasional Onderwijs (Pendidikan Nasional Muslim) dan pada Kongres SI 1934 di Banjarmasin ia mengemukakan “Reglemen Umum Bagi Umat Islam”.
Ia bersama H. Agus Salim pernah duduk dalam Volksraad (Dewan Rakyat pada masa Hindia-Belanda) sebagai wakil dari SI yang diangkat pemerintah Hindia-Belanda, sedangkan Abdul Muis duduk sebagai wakil SI yang dipilih. Ia duduk dalam fraksi Radicale Consentratie (1918–1927). Pada 18 Mei 1918 ia menyampaikan mosi tidak percaya kepada pemerintah kolonial. Mosi tersebut dikenal dengan Mosi Tjokroaminoto, berisi 3 tuntutan, yaitu
1) hak pilih sepenuhnya harus diakui ada pada rakyat,
2) badan perwakilan mempunyai hak legislatif penuh,
3) parlemen mempunyai kekuasaan tertinggi dan pemerintah bertanggung jawab kepadanya. Karena mosi tersebut tidak mendapat perhatian pemerintah kolonial, di samping karena bersikap nonkooperatif dengan pemerintah kolonial, ia dan kawan-kawannya meninggalkan Volksraad.
HOS Tjokroaminoto bersama A. Muis dan H. Agus Salim memberikan bantuan dalam kepemimpinan buruh. Perjuangan kepemimpinan dalam gerakan buruh dilakukan dalam federasi serikat sekerja, yaitu Persatuan Pergerakan Kaum Buruh Hindia atau disingkat PPKB, yang didirikan 15 Desember 1919. Ia sendiri duduk sebagai ketua pada Persatuan Pegawai Pegadaian Bumi Putera (PPPB).
Ia pernah dipenjarakan selama 9 bulan (Oktober 1921– Juni 1922) karena tuduhan terlibat dalam pembunuhan oleh SI di Garut (1921). Hal tersebut berakibat menurunnya ang-gota secara drastis. Banyak anggota meninggalkan gerakan ini karena takut berurusan dengan kepolisian atau pemerintah kolonial. Kemudian ia dibebaskan dari tuduhan, tanpa melalui proses pengadilan.
Di samping aktif memimpin SI, HOS Tjokroaminoto juga aktif memberikan bantuan kepada organisasi lain yang memang memerlukannya. Misalnya, ia membantu proses penyelesaian pengakuan hukum bagi organisasi Persyarikatan Ulama. HOS Tjokroaminoto bersama rekan-rekannya aktif dalam Indonesische Studie Club (ISC) yang didirikan dr. Sutomo di Surabaya Juli 1924.
Pada 1925 ia bersama Haji Agus Salim menggerakkan Jong Islamieten Bond, suatu gerakan di kalangan pemuda dan pelajar serta mahasiswa Islam untuk mencegah jangan sampai mereka terlepas dari ajaran Islam sehubungan dengan pendidikan dan pelajaran Barat yang sedang mereka tuntut.
Pada Muktamar Mekah (1 Juni 1926), ia (mewakili SI) bersama KH Mas Mansur (wakil Muhammadiyah) mewakili Indonesia. Pada kesempatan itu dikemukakan kebangkitan bangsa Indonesia melawan Belanda untuk merebut kemerdekaannya. Bendera yang mereka bawa adalah bendera MAIHS (Mu’tammar al-‘alam al-Islami Far’ al-Hindi asy-Syarqiyyah [Kongres Islam Hindia-Timur]).
Bersama dengan wakil-wakil dari berbagai negara, mereka berdua dapat diterima untuk beraudiensi dengan Raja Ibnu Sa’ud. Sepulang mereka dari Kongres Islam sedunia di Mekah, lahir cabangnya di Indonesia bernama MAIHS.
Bersama H. Agus Salim sewaktu pindah ke Jakarta ia menerbitkan harian Fadjar Asia. Di samping itu, ia juga duduk sebagai pemimpin redaksi harian Oetoesan Hindia yang didirikan Desember 1912. Isi surat kabarnya memuat semangat keislaman dan menyebarluaskan semangat cinta tanah air (nasionalisme).
Menurut kalangan PSII, karya monumental HOS Tjokroaminoto yang sampai masa 1950-an tidak dapat diubah adalah Tafsir Program Asas dan Program Tandhim Partai Syarikat Islam Indonesia, diterbitkan oleh Badan Pekerja PSII 1954. Karya tersebut menetapkan bahwa gerak perlawanan partai adalah:
a) berdasar kepada sebersih-bersih tauhid;
b) bersandar kepada ilmu (wetenschap); dan
c) bersandar kepada siyasah (politik) yang berkenaan dengan bangsa, tumpah darah sendiri, dan politik menuju maksud akan mencapai persatuan atau perhubungan dengan umat Islam di negeri-negeri lain (Pan Islamisme).
Sejak itu, perkataan “siyasah” dipergunakan di kalangan para pejuang bangsa khususnya dan di dalam bangsa Indonesia pada umumnya. Pemakaiannya bergan dengan dengan perkataan “politik” yang diwarisi dari bahasa Belanda-Yunani. Karya tulisnya yang lain di antaranya Islam dan Sosialisme (1924), Tarikh Agama (1954), dan terjemahan Al-Qur’an ke dalam bahasa Indonesia.
HOS Tjokroaminoto mahir dalam seni Jawa, karawitan dan juga tariannya. Ilmu tembang gamelan dikuasainya sekaligus seni musik, olahraga, dan pencak silat. Adakalanya ia menyisihkan waktu untuk mengadakan latihan wayang orang di Taman Seni Panti Harsoyo.
Karena pengaruhnya yang besar, nama HOS Tjokroaminoto dikaitkan dengan “Ratu Adil”. Pihak Belanda menyebutnya “Raja Jawa yang tak dinobatkan” (de ongekvoonde koning van Java).
Daftar Pustaka
Abdulgani, Roeslan. Sejarah Perkembangan Islam di Indonesia. Jakarta: Pustaka Antar Kota, 1983.
Amelz. HOS Tjokroaminoto: Hidup dan Perjuangannya. Jakarta: Bulan Bintang, 1952.
Benda, J. Bulan Sabit dan Matahari Terbit. terj. Jakarta: Pustaka Jaya, 1980.
Hatta, Mohammad. Portrait of a Patriot. Paris: The Hague, 1972.
Kahin, George McTurman. National and Revolution in Indonesia. New York: Cornell Univ. Press, 1963.
Korver, A.P.E. Sarekat Islam Gerakan Ratu Adil. terj. Jakarta: Grafiti Pers, 1985.
Ma’arif, Ahmad Syafi’i. Islam dan Masalah Kenegaraan. Jakarta: LP3ES, 1987.
Niel, Robert van. The Emergence of the Modern Indonesian Elite. The Hague dan Bandung: W. van Hoeve, Ltd., 1960.
Roem, Mohammad. Manusia dalam Kemelut Sejarah. Jakarta: LP3ES, 1978.
__________. Diplomasi: Ujung Tombak Perjuangan RI, Jakarta: Gramedia, 1989.
Smith, Donald Eugene. ed. Religion, Politicas, and Social Changes in the Third World. New York: Cornell Univ. Press, 1963.
Suminto, Aqib. Politik Islam Hindia-Belanda. Jakarta: LP3ES, 1985.
Budi Sulistiono