Tibi, Bassam

(lahir Damascus, Suriah, 1944)

Bassam Tibi adalah seorang antropolog politik Islam yang masyhur dan penulis produktif. Ia berasal dari dunia Arab (Suriah) namun berkewarganegaraan Jerman. Pada 1997 ia terpilih sebagai Man of the Year oleh The American Biographical Institute.

Ia mengajar di Jerman dan menjadi dosen tamu di beberapa universitas di Timur Tengah, Afrika, dan Amerika Serikat. Ia pernah dianugerahi Medali Kelas Satu (1995) oleh presiden Jerman, Roman Herzog. Setelah menyelesaikan pendidikan tingkat sarjananya dalam bidang antropologi sosial-budaya di The University of Frankfurt, Jerman, ia aktif menulis. Sejumlah artikelnya terbit dalam majalah Dirasat ‘Arabiyyah, al-adab, al-‘Ulum, ath-thali‘ah, dan al-Mawaqif pada pasca 1967.

Namun kekalahan negara Arab pada perang Juni 1967 mengubah jalan hidup dan pemikirannya. Menurutnya, pada pascaperang 1967 itu, Timur Tengah mengalami cobaan berat akibat kalah perang, dan Tibi menyebut masa itu sebagai “masa krisis”. Pada mulanya karena ada upaya dan keinginan belajar menghadapi realitas, maka masih ada harapan di kalangan orang Arab akan munculnya pencerahan. Semangat dan gagasan tentang pencerahan itu dituangkannya dalam beberapa artikel.

Akan tetapi menurutnya, upaya untuk mewujudkan harapan pencerahan itu menghadapi banyak kendala fundamental. Sebagian karena faktor budaya dan sebagian lagi karena cara berpikir utopis kebanyakan orang Arab Islam. Hal terakhir inilah yang mendorongnya untuk melanjutkan studi di almamater semula dan memilih untuk menjadi warga negara Jerman. Ia berkata,

“Selama tahun-tahun terakhir dari dekade 1960-an saya belum lagi membuat keputusan untuk menjadi warga negara Jerman. Namun tidak lama setelah berlangsungnya ‘masa krisis’ itu, saya menarik diri dari penulisan politik sebagai aktivis dan memilih mengabdikan diri kepada keilmuan dalam masyarakat akademis Jerman.”

Sebagai konsekuensi dari keputusannya itu, Tibi mengundurkan diri dari berbagai komitmen politik. Pilihannya untuk kembali ke dunia ilmu membawa Tibi kembali ke Jerman. Di tempat baru ini Tibi banyak memiliki waktu luang untuk mendalami ilmu sosial, filsafat, dan sejarah di The University of Frankfurt, Jerman.

Pada institusi ini pula Tibi memperoleh gelar doktor pada 1971. Aktivitas keilmuan dan karya ilmiahnya dengan cepat melambungkan karier intelektualnya. Dia memperoleh Doktor Habil (German Super Ph.D.) dari The University of Hamburg pada 1981, dan menjadi guru besar (profesor) dalam bidang Hubungan Internasional di The University of Gottingen.

Sejalan dengan posisinya di The University of Gottingen, dia juga merupakan ilmuwan tamu (visiting scholar) dan kemudian menjadi anggota Research Associate di Harvard University (1982–1993).

Pada 1986–1988 Tibi menjadi guru besar tamu (visiting proffesors) The German Academic Exchange Service pada beberapa universitas di Asia dan Afrika (termasuk Khartoum/Sudan, Yaound/Cameroun). Dia juga memiliki fellowship di Harvard, Princeton, Ann Arbor/Michigan, dan di The Rockefeller di Bellagio.

Pada 1989–1993 Tibi menjadi anggota The Fundamentalism Project pada The American Academy of Arts and Sciences, dan bersama rekan ilmuwan sejawatnya mengarang lima volume karya yang diterbitkan oleh University of Chicago Press.

Pada 1994 Tibi menjadi guru besar tamu Kajian Perdamaian dan Konflik di The University of California di Berkeley, kemudian pada 1995 dan 1998 menjadi guru besar pada kajian yang sama di Bilkent University di Ankoro. Di sela-sela kesibukannya itu Tibi masih juga meluangkan waktu untuk menjadi peserta aktif dan bahkan narasumber dalam beberapa seminar internasional.

Sebagai penulis produktif, karya tulisnya sangat banyak; sebagian besar dalam bahasa Jerman dan sebagian lagi dalam bahasa Inggris. Dari kedua bahasa itu, karyanya juga diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa, termasuk bahasa Indonesia.

Sejak dekade 1990-an saja, Tibi telah meluncurkan beberapa karya ilmiah, antara lain karya berbahasa Jerman sebagai berikut:

(1) Im Schatten Allahs. Der Islam und die Menschenrechte (1994, 1996, 1999);

(2) Krieg der Zivilisationen (1995, 1998);

(3) Der wahre Imam. Der Islam von Mohammed bis zur Gegenwart (1996, 1997, 1998);

(4) Aufbruch am Bosporus. Die Turkei zwischen Europa und dem Islamismus (1998, 2000 [dalam bahasa Turki]);

(5) Europa ohne Identitat? Die Krise der multikulturellen Gesellschaft (1998, 2000 [dalam bahasa Belanda];

(6) Kreuzzug und Djihad. Der Islam und die christliche Welt (1999);

(7) Der Islam und Deutschland, Muslime in Deutschland (2000);

(8) Einladung in die islamische Geschichte (2001); dan

(9) Islamische Zuwanderung. Die gescheiterte Integration (2002).

Adapun karya penting Tibi yang diterbitkan dalam bahasa Inggris pada periode yang sama mencakup antara lain:

(1) Arab Nationalism, Between Islam and the Nation State (1981, 1990, 1997);

(2) Islam and the Cultural Accomodation of Social Change (1990–1991);

(3) Crisis of Modern Islam (ed., Amerika, 1988);

(4) Conflict and War in the MiddleEast 1967–1991 (1993, 1998);

(5) The Challenge of Fundamentalism, Political Islam and the New World Disorder (1988, terjemahan dari bahasa Jerman [Die neue Weltunordnung. Westliche Dominanz und Islamischer Fundamentalismus, 1999 dan 2001]); dan

(6) Islam between Culture and Politics (2001). Selain menghasilkan karya dalam bentuk buku, dia juga menjadi co-author (pengarang bersama) lebih dari 20 volume karya dalam bahasa Inggris yang diterbitkan oleh berbagai jurnal.

Oleh sebagian kaum muslim, gagasan Tibi yang tertuang dalam karyanya dinilai banyak yang “menyakitkan hati” karena terkesan “menghina dan membuka aib” agama Islam dan kaum muslim. Dalam melihat dunia Islam, dia sering kali memberikan kritik sangat tajam terhadap Islam sebagai sistem budaya, dengan berargumentasi bahwa pola budaya dalam Islam khususnya di bidang hukum, bahasa (Arab), dan pendidikan menghambat kapasitasnya untuk mengakomodasi perubahan sosial yang cepat.

Meskipun demikian, menurut cara pandangnya sendiri, dia pun berupaya memberi jalan keluar dari hal yang dianggapnya sebagai kekurangan yang selama ini melekat pada agama dan kaum muslim. Dia mengatakan, “Saya telah berupaya memahami Islam sebagai suatu simbol budaya yang digunakan oleh kaum muslim untuk memahami realitas serta mengembangkan pandangan dunia mereka.”

Bassam Tibi memang jelas-jelas menyatakan bahwa dibandingkan dengan peradaban Barat, kaum muslimin dewasa ini berada dalam keterbelakangan. Akan tetapi menurutnya, kenyataan dunia serta kultur Islam yang terbelakang dan kultur Barat yang maju dewasa ini muncul sebagai akibat dari situasi historis. Dia juga menyatakan bahwa tidak ada sesuatu yang kurang dalam kultur Islam, yang mencegah mereka mencapai kesamaan derajat dengan Barat.

Sehubungan dengan itu, kekurangan bukanlah sesuatu yang tetap, tetapi dapat diperbaiki; dan dengan demikian perbaikan itu dapat mengantarkan kaum muslim (terutama di Timur Tengah dan Afrika Utara) kepada status kesetaraan dengan Barat. Dalam hal ini Bassam Tibi mengatakan, “Bukankah kaum muslim di Timur Tengah dan Afrika Utara dulu pernah lebih maju ketimbang Barat.”

Atas dasar itu, menurutnya, tidak ada alasan inheren untuk berpendapat bahwa kultur Islam tidak dapat bangkit kembali. Namun, untuk itu secara prinsipil dia menuntut diadakan dan dibangkitkannya kembali tradisi kesamaan derajat sebagaimana pernah dominan pada masa Renaisans, yaitu pengakuan terhadap kesamaan inheren kultur.

Namun, cara pandangnya terhadap Islam dan kaum muslim berbeda dengan cara pandang sebagian tokoh dan ulama Islam. Sebagaimana diakuinya sendiri, dalam memahami agama ia sangat dipengaruhi teori sosiologi agama Durkheim dan filsafat Ernst Bloch. Ia berkata, “Saya bermaksud untuk memahami agama dalam proses sosial sebagaimana ia menjadi bagian dari fakta sosial.” Apalagi, dia memang mengaku sebagai seorang “sekuler” untuk ukuran orang sezamannya. Katanya,

“Hasil dari krisis identitas (Timur Tengah pascaperang Juni 1967) adalah keinginan yang meningkat untuk memegang agama secara lebih sungguh-sungguh, tetapi tanpa komitmen kepadanya sebagai suatu keimanan. Komitmen yang tidak goyah kepada keilmuan dalam pengertian Eropa, yaitu pencarian kebenaran secara terus-menerus, lebih berarti bagi saya ketimbang iman. Saya belum pernah menghentikan keyakinan saya bahwa setiap kondisi manusia, termasuk agama, dapat ditundukkan pada penelitian.”

Sejalan dengan cara pandang Tibi yang “sekuler” itu, menurutnya, satu-satunya jalan agar negara Islam dapat berpartisipasi pada pijakan yang sama dengan negara industri Barat adalah Islam harus didepolitisasi dan harus menerima konsep pluralisme dan sekularisme intelektual. Tuntutan untuk sekularisasi agama, teologi, dan kultur Islam dimaksudkannya sebagai upaya pembaruan menuju hal yang dia sebut “teologi sipil Timur Tengah”.

Karena itu pulalah, dia memprihatinkan perkembangan kontemporer kaum muslim yang menampilkan besarnya gejala neofundamentalisme Islam. Menurutnya, gejala neo-fundamentalisme Islam merupakan cermin dari defensive cultural response terhadap perubahan struktural dalam tatanan politik dan ekonomi global.

Daftar Pustaka

Tibi, Bassam. “Between Global Outlooks and Cultural Self Assertion: Muslims in Europe between Cultural Assimilation, Political Integration and Communitarian Ghettoization,” Global Village Lecture Delivered at the Stiftelsen Abrahams Barn and Spronsores by the Swedish Ministry of Foreign Affairs. Stockholm: April 25, 1997.
__________. Islam, Kebudayaan, dan Perubahan Sosial, terj. Yogyakarta: PT Tiara Wacana, 1999.
__________. Krisis-Krisis Peradaban Islam Modern: Sebuah Kultur Pra-industri dalam Era Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, terj. Yogyakarta: PT Tiara Wacana, 1994.

Badri Yatim